Professional Documents
Culture Documents
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 .................................................................................................................................. 5
Gambar 2 ................................................................................................................................... 5
DAFTAR TABEL
Tabel 1 ...................................................................................................................................... 7
ii
BAB I
PENDAHULUAN
merupakan suatu distrofi kornea yang ditandai dengan kekeruhan difus pada kornea
bilateral yang sejak lahir. CHED pertama pertama kali diperkenalkan oleh seorang dokter
bernama Edward Maumenee pada tahun 1960, yang pada waktu itu melaporkan serangkaian
kasus kekeruhan kornea kongenital yang menetap. Kekeruhan kornea pada CHED mencakup
dari kekeruhan yang ringan sampai kekeruhan yang berat (milky appearance). Kekeruhan ini
bisa berujung pada ambliopia. Ketebalan kornea pada pasien-pasien CHED sekitar 2-3 kali
ketebalan kornea normal. Membran descemet juga mengalami penebalan.
Insidensi kekeruhan kornea kongenital skitar 6 per 100000 penduduk. CHED hanya
menyumbang sedikit kasus kekeruhan kornea kongenital. Namun CHED lebih umum pada
beberapa daerah. Pada beberapa laporan dari daerah Timur Tengan dan India, diagnosis CHED
menyumbang sekitar 21% dari semua keratoplasti pada anak.
Kekeruhan dan penebalan kornea pada CHED terjadi akibat kurangnya sel endotel.
Pada kornea yang sehat, endotelium tersusun atas sel-sel poligonal lapis tunggal, yang berperan
sebagai pompa cairan untuk menjaga stroma tetap berada dalam kondisi dehidrasi dan menjaga
kejernihan kornea. Jumlah sel endotel pada kornea yang sehat pada anak-anak dan dewasa
muda berkirsar 3500 sel/mm2. Sel-sel endotel ini bekerja sebagai pompa ion Na/K ATPase
untuk menyingkirkan air dari stroma ke aqueous humor. Cairan bisa mengganggu susunan
matriks kolagen lamelar yang sangat terorganisir dan berujung pada hilangnya kejernihan
kornea. Pada CHED (dan distrofi endotel lainnya), hilangnya sel endotel menyebabkan cairan
terkumpul pada stroma kornea sehingga terjadi edema. Studi dengan mikroskop elektron
menyingkap pengurangan dan atrofi sel endotel yang berat pada pasien-pasien CHED.
https://www.reviewofophthalmology.com/article/congenital-hereditary-endothelial-dystrophy
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI
Miastenia bisa terjadi pada setiap usia dan tidak menunjukkan predileksi geografik.
Namun
2.1. EPIDEMIOLOGI
Congenital Corneal Opacities (CCO) cukup jarang terjadi, dengan prevalensi 3/100000
kelahiran dan 6/100000 kelahiran jika glaukoma kongenital dimasukkan.
CHED merupakan bagian dari CCO, namun belum ada data pasti tentang prevalensi,
distribusi jenis kelamin dan insidensi khusus untuk CHED. Sebagian besar kasus diidentifikasi
pada anak-anak dari orang tua yang juga menderita CHED pada daerah Arab Saudi, India,
Pakistan, Myanmar dan Irlandia.
are fairly uncommon, with a prevalence of 3/100,000 newborns and 6/100,000 when
Congenital Glaucoma patients are included.[6]
The exact prevalence, sex distribution and incidence of CHED are unknown at the
moment.[7] Most cases have been identified in children of consanguineous parents from Saudi
Arabia, India, Pakistan, Myanmar (Burma) and Ireland.[8]
.4
2.2. ETIOLOGI
CHED diketahui terjadi akibat mutasi genetik. Mutasi yang menyebabkan CHED
berlokasi pada kromosom 20p13. Gen yang terdampak yaitu SLC4A11, yang berperan untuk
mengkode protein transmembran dari kelompok pengangkut bikarbonat. Protein ini berperan
sebagi pompa dan terletak pada sisi stroma dari sel endotel.
2
Protein yang dikode oleh gen SLC4A11 yang sudah bermutasi gagal untuk
melakukan glikosilasi dan pada akhirnya tidak bisa mencapai permukaan sel.
The mutation causing CHED has been located in chromosome 20p13.[3] The affected gene is
SLC4A11, which codes for a transmembrane protein from the bicarbonate transporters family.
This protein works as a “pump” and is located in the stromal side of the endothelial cells. [9]
It has been observed that the protein affected by the SLC4A11 mutation fail to glycosylate and
ultimately never reaches the cell surface.[5]
The function of this protein has not been completely determined yet; there are many theories as
to what is the actual role of this protein, meaning, which ions it transports between the corneal
stroma and the intracellular space of endothelial cells.[9]
Amongst the theories of the role of the channel protein encoded by SLC4A11 is its regulation of
the transport of boron. Boron transport is especially important during fetal life since it’s directly
related to the differentiation of neural crest cells, the precursors of the corneal endothelium.
Dysfunction of the corneal endothelium is a hallmark of CHED.[3]
Another proposed purpose of this protein is the transport of the following substances: H2O,
H+/OH-, NH4+ or Na+. Though promising, it hasn’t been determined which of these substances,
if not all of them are transported by the SLC4A11 coded protein mainly because its in vivo action
hasn’t yet been determined.[9]
Dysfunction of the boron transport protein may also lead to corneal edema from a dysfunctional
osmotic gradient, ultimately clouding the cornea and hampering the patient’s vision.
Para ahli mayakini bahwa konsentrasi intraselular boron memainkan peran kunci
dalam perkembangan dan diferensiasi dari sel crest neural. Oleh karena ini, hilangnya fungsi
dari pengangkut ini menyebabkan sintesis dan diferensiasi abnormal dari endtel kornea.
Pasien dengan Harboyan syndrome juga mengalami mutasi pada gen SLC4A11,
dimana berdasarkan penelitian ditemukan bahwa gen ini diekspresikan pada koklea tikus
dewasa dan diduga memainkan peran penting dalam homeostasis cairan koklea dan sekresi
endolimfatik. Ini menjelaskan tanda edema kornea dan gangguan pendengaran yang hadir
bersamaan pada pasien dengan Harboyan syndrome.
The majority of pedigrees with CHED who have been screened demonstrate coding
region mutations in the SLC4A11 gene.9 It is thought that the intracellular boron
concentration plays a key role in the growth and terminal differentiation of neural
crest cells. Therefore, loss of function of this transporter may result in abnormal
corneal endothelial synthesis and differentiation.
Patients with Harboyan syndrome also have mutations in the SLC4A11 gene. The
gene is expressed in the cochlea of adult mice and thought to play a role in the
3
homeostasis of cochlear fluid and endolymph secretion.18 This may explain the
concomitant corneal edema and hearing loss seen in patients with Harboyan
syndrome. reviewophthalmology
2. Mutations in SLC4A11
The first clue to the origin of CHED came from the use of mapping techniques that enabled
researchers to link autosomal recessive inheritance of CHED to genetic markers within the
20p13 chromosomal locus [5, 22–25]. This assignment eventually led to the identification of
mutations in the SLC4A11 gene as the genetic basis of CHED [5]. SLC4A11 encodes a
membrane protein that was originally termed “BTR1” (Bicarbonate Transporter Related
protein 1): a name that reflects its membership in the SLC4 family of bicarbonate
transporting membrane proteins [26]. Despite the name, the disparate amino acid sequence of
SLC4A11 segregates it from the family. Perhaps, as a consequence, robust HCO3 − transport
is not among the numerous molecular actions that have been attributed to SLC4A11 [17, 27].
At the time of writing, mutations in SLC4A11 have been described in more than one hundred
individuals with CHED (Figure 1) and signs of CHED have been recapitulated in several
strains of slc4a11-null mice [18, 19, 28]. However, there is still much to be learned about the
molecular action and the role of SLC4A11 in the healthy and diseased cornea.
2.3. PATOFISIOLOGI
Mekanisme dasar yang terjadi pada miastenia gravis gravis yaitu proses autoimun yang
menyerang tautan neuromuskular sehingga terjadi gangguan hantaran impuls, sehingga perlu
untuk memahami tentang mekanisme gangguan proses hantaran impuls yang terjadi pada
tautan neuromuskular.
4
Figure 4
Transporters and channels that support corneal pump function. [1] Water is drawn from the aqueous
humor into the stroma. [2] Endothelial cells secrete ions into the aqueous humor creating osmotic
gradient that [3] draws fluid back into the aqueous humor.
Go to:
5
beginning around the 3rd month and continuing through the 8th month of gestation [44]. The
anterior banded zone is absent in conditions such as Peter's anomaly with defects in neural
crest cell migration to form anterior segment structures [45, 46]. In contrast, the anterior
banded zone is present in CHED with either normal or thickened morphology, thus indicating
that the endothelial cells were present and functional during that period of development
[40, 41]. During early postnatal development, the corneal endothelium begins formation of
the posterior nonbanded zone (PNBZ) of Descemet's membrane. The PNBZ continues to
thicken throughout life [47]. In diseases with dysfunctional endothelium, the PNBZ can
merge with an abnormal posterior collagenous layer that is secreted by the endothelial cells.
In humans with CHED, the PNBZ has variable thickness (thin or thick) with or without the
presence of a posterior collagenous layer [40–42]. This variability in thickness of the
posterior portion of Descemet's membrane may reflect the variability in timing of demise of
the corneal endothelial cells.
There are numerous ways a defective membrane transport protein could contribute to a
disease state, the most obvious being loss of transport function. Others include loss of
protein per se (and thence loss of docking sites for dependent interacting-proteins), cell stress
due to the accumulation of misfolded transport protein, and maladaptive compensatory
changes in the expression of other gene products. Many of the CHED mutations recapitulated
in heterologous systems are predicted to generate a misfolded SLC4A11 protein and have
been shown to accumulate in intracellular compartments when expressed in cultured cells [5].
As mentioned above, endothelial cells do exhibit signs of stress with vacuolization and
deposition of the posterior layer of Descemet's membrane. However it does not seem that the
anticipated stress from accumulation of misfolded protein is the sole driving force behind the
manifestation of CHED. One CHED-linked mutation exhibits loss of H2O and
H+/OH− transport in model systems without any deleterious effect upon SLC4A11 protein
expression [20, 21]. Moreover, corneal edema is recapitulated in a strain of slc4a11-null
mouse that is predicted to express no misfolded slc4a11 protein product [31]. Thus, whatever
its molecular action may be, the pathology behind CHED seems to involve a loss of
SLC4A11-mediated support of “pump” function.
2.4. KLASIFIKASI
Kelainan pada endotelium kornea merupakan tanda utama dari CHED, dimaka edema
dan kekeruhan kornea terjadi pada saat lahir atau segera setelah lahir. Derajat kekeruhan
bervariasi dari yang ringan sampai berat (abu-abu kebiruan seperti pada bagian bawah kaca/
bluish-gray ground glass appearance). Kekeruhan yang terjadi difus dan seragam pada
keseluruhan kornea. Kekeruhan bersifat menetap, tidak mengalami progresi maupun regresi.
Kornea mengalami penebalan 2-3 kali ketebalan kornea normal. Nistagmus dengan derajat
yang bervairasi dan ambliopia biasanya didapatkan pada pasien dengan kekeruhan yang
berat. Fotofobia, epifora dan peradangan bukan merupakan karakteristik yang khas (seperti
yang didapatkan pada CHED tipe I, yang sekarang sudah diklasifikasikan sebagai PPCD).
6
Penyakit primer dari endotelium kornea merupakan penyebab utama edema pada CHED.
Mosaik endotelial heksagonal yang normal terganggu atau tidak ada. Pada pemeriksaan
dengan mikroskop spekular atau konfokal, sel endotel tampak tipis dan mengalami fibrotik.
Pada pemeriksaan slit lamp juga ditemukan penebalan dari membran descemet.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4588344/
7
of concomitant CHED and glaucoma.14,15 Some authors consider both CHED and congenital
glaucoma neurocristopathies.16,17 CHED may be secondary to a failure of regression of
primordial endothelium during the development of the anterior chamber and congenital
glaucoma may result from a sheet of primordial endothelium that fails to fenestrate
appropriately within the angle, causing an abnormal insertion of the iris. To diagnose either
condition, a careful exam is paramount, which can be difficult in young children. If necessary,
an exam under anesthesia should be scheduled. Pre-intubation IOP, refraction, corneal
diameter, axial length and gonioscopy should be documented.
Dokter juga harus mengevaluasi adanya gangguan pendengaran, dimana beberapa
pasien dengan CHED memiliki sindrom Harboyan (Corneal Cystrophy and Perceptive
Deafness).
Clinicians should also inquire about hearing loss, as several patients with CHED have
been found to have Harboyan syndrome, also called corneal dystrophy and perceptive deafness.
These patients have progressive post-lingual sensorineural hearing loss. The hearing loss
typically becomes clinically apparent by 10 to 25 years old. Deficits start in the 20 to 25 dB
range (mild to moderate) and occur at higher frequencies.18 More than 50 percent of cases
have been associated with parental consanguinity.
2.5. DIAGNOSIS BANDING
Walaupun kekeruhan kornea kongenital jarang terjadi, namun seorang ahli mata harus
membuat diagnosa yang akurat untuk memprediksi perjalanan alamiah penyakit, untuk melihat
keterkaitan dengan abnormalitas okular maupun sistemik, untuk menyediakan konsultasi
genetik dan untuk memulai terapi yang tepat.buku kornea
Diagnosis banding dari CHED yaitu glaukoma kongenital, PPCD, Peter’s anomaly dan
gangguan metabolisme saat lahir. Baik CHED maupun glaukoma kongenital diawali akibat
defek pada neural crest cell yang berkontribusi pada perkembangan dari segment anterior mata.
Glaukoma kongenital terjadi akibat abnormalitas migrasi sel crest, sedangkan CHED terjadi
akibat abnormalitas diferensiasi sel crest.
8
Semua Congenital Corneal Opacities (Fuch tidak, early onset sekitar 20 tahun)
Congenital Glaucoma
Harboyan Syndrome
buku kornea
2.6. DIAGNOSIS
Diagnosa pasti dibuat berdasarkan anamnesa, beragam pemeriksaan dan tes diagnostik
klinis, farmakologis, serologis dan eleftrofisiologis serta pemeriksaan radiologis. 4
Anamnesis
Mendiagnosis suatu kondisi kekeruhan kornea kongenital dimulai dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Riwayat obtetri, maternal, paternal dan riwayat keluarga yang lengkap bisa
membantu dalam mendiagnosis penyakit.
9
Dalam memeriksa bayi dengan kornea yang keruh, penting untuk mengingat mnemonik
STUMPED (oleh Waring dkk), dimana bisa menjadi panduan dalam diagnosis banding
kekeruhan kornea kongenital.
CHED awalnya dibagi menjadi 2, yaitu Autosomal Dominant (AD) CHED / CHED 1
dan Autosomal Recessive (AR) CHED / CHED 2. Namun, dengan kemajuan pada pencitraan
kornea dan analisa genetik, klasifikasi ini sudah direvisi dan diubah.
Sebuah tinjauan literatur medis mempelajari 5 keluarga dengan pewarisan autosom dominan
CHED. Setelah dilakukan penelitian secara cermat, Aldave dkk menemukan bahwa hanya 1
10
dari 5 keluarga, yang dijelaskan oleh Pearce dkk., yang ternyata bisa
diklasifikasikan/mengikuti pola pewarisan autosom dominan yang sesuai dengan CHED 1.
Pada akhirnya, temuan klinis, histopatologis, dan mikroskopis elektron yang dikumpulkan dari
keluarga ini lebih konsisten dengan diagnosis Posterior Polymorphous Corneal Dystrophy
(PPCD) daripada CHED. Maka, International Committee for Classification of Corneal
Dystrophies (IC3D) mengeliminasi CHED 1, karena dianggap lebih merupakan suatu spektrum
dari PPCD.
[EYEWIKI]
[EYEWIKI] CHED has been traditionally classified as either an Autosomal Dominant (CHED 1)
or an Autosomal Recessive (CHED 2) variant. However, thanks to advances in corneal imaging
and genetic analysis, this classification has recently been revisited and modified.[2]
A review of medical literature rendered a total of 5 families that presented with an autosomal
dominant inheritance of CHED. After careful scrutiny, Aldave et al discovered that only 1 out of
the 5 families, described by Pearce et al presented enough evidence of following an autosomal
dominant pattern of inheritance that concurs with CHED 1. Ultimately, the clinical,
histopathological and electron microscopic findings collected from this family were more
consistent with the diagnosis of Posterior Polymorphous Corneal Dystrophy (PPCD) than
CHED. [3]
In light of this, the International Classification of Corneal Dystrophies (IC3D) has eliminated
CHED 1, as it is believed to be part of the PPCD spectrum. CHED 2 is from now on called simply
CHED.[2]
CHED may also be seen as part of Harboyan syndrome, a sensorineural deafness accompanied
by corneal opacification that is associated with the SLC4A11 mutation characteristic of
CHED. [4] SLC4A11 is not only expressed in the corneal endothelial cells but also in fibrocytes
and stria vascularis of the inner ear, these cell families have a common origin in the neural
crest.[5]
CHED PPCD
stationary Slowly clear
2.7. PENATALAKSANAAN
11
Pasien-pasien CHED memiliki tajam penglihatan yang bervariasi tergantung derajat
kekeruhan kornea. Keputusan harus dibuat apakah perlu untuk dilakukan intervensi
pembedahan atau cukup dengan observasi. Patofisiologi dari CHED yaitu gangguan pada
endotelium, sehingga perlu dilakukan penggantian endotelium. Penggantian endotelium bisa
dilakukan baik dengan full-thickness transplant (penetrating keratoplasty) maupun dengan
partial-thickness transplant, dimana hanya endotelium saja yang diganti (Descemet’s stripping
endothelial keratoplasty). Pada semua kasus, perlu untuk dilakukan pemeriksaan berkala dan
ambliopia harus ditangani.
Penetrating Keratoplasty
PK pada anak-anak merupakan suatu hal yang cukup menantang. Anak-anak memiliki
tingkat penolakan graft yang lebih tinggi dibanding pada dewasa. Pembedahan juga tidak
semudah pada dewasa, dimana anak-anak memiliki rigiditas sklera yang lebih rendah,
peningkatan reaksi fibrin dan tekanan positif vitreus. Anak-anak mungkin sulit untuk diperiksa
dan penyesuaian jahitan mungkin memerlukan beberapa pemeriksaan dengan anestesi, sambil
mempertimbangkan perubahan refraksi dan mengelola ambliopia.
Jika dibandingkan dengan PK, DSEK memiliki lebih banyak keunggulan. Pada DSEK,
penyembuhan lebih cepat, operasi relatif dalam suatu sistem yang tertutup dan lebih sedikit
jahitan, astigmatisma kornea yang lebih rendah dan lebih kurangnnya kemungkinan
penyesuaian/pengangkatan jahitan pasca operasi, serta risiko penolakan graft yang lebih
rendah. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang juga lebih kurang dibandingkan pada
PK.wikieye([1][17][18]) Salah satu tantangan DSEK di CHED adalah penilaian Descemet dan proses
mengupas endotel kornea. Visibilitas seringkali terganggu akibat kekeruhan kornea.
12
Endotelium pada CHED tampaknya lebih melekat dibanding pada kasus disfungsi endotel
lainnya (mis. Fuchs’ dystrophy). Tantangan lainnya yaitu pada pasien-pasien CHED
kebanyakan memiliki lensa yang normal, sehingga prosedur DSEK memiliki risiko yang cukup
signifikan menyebabkan katarak. Penelitian yang dilakukan oleh Jatin N. Ashar et al pada L.V.
Prasad Eye Institute, membandingkan perbandingan berpasangan, dimana pada pasien CHED
dilakuka intervensi dengan PK pada mata yang satu dan DESK pada mata kontralateral. Setelah
satu tahun ditemukan semua graft jernih. Pada kelompok DSEK, astigmatisma secara
signifikan lebih rendah dan refraksi yang stabil lebih cepat dicapai. Pada kelompok PK, graft
secara umum lebih jernih, walaupun tajam penglihatan akhir ekuivalen antara kedua kelompok.
Beberapa seri kasus telah melaporkan peningkatan ketajaman visual dan kejernihan kornea
dengan pemulihan visual yang relatif singkat pada pasien yang menjalani DSEK untuk
CHED.reviewophthalmology, eyewiki ([1][17][18])
Pertimbangan khusus
Kesulitan dalam pengupasan Descemet akibat kejernihan kornea yang berkurang dan
endotelium yang lengket membuat beberapa ahli menyelesaikan DSEK pada CHED tanpa
mengupas dan melepas endotelium pasien (non-Descemet's stripping endothelial
keratoplasty). Laporan dari Massimo Busin et al, dimana tidak melakukan pengupasan
Descemet pada pasien berusia kurang dari 1 tahun karena tidak bisa mengidentifikasi
Descemet. Namun, pada semua pasien, jaringan donor akhirnya melekat dan kornea jernih
sempurna satu minggu setelah operasi, meskipun pada empat dari enam mata, diperlukan re-
bubbling. Jatin N. Ashar et al membandingkan pasien CHED dengan nDSEK (non-Descemet's
stripping endothelial keratoplasty) dan DSEK dan menemukan ketajaman visual akhir yang
sebanding antara kedua kelompok, walaupun pada satu pasien nDSEK perlu dilakukan re-
bubbling. Berdasarkan temuan ini maka DSEK tanpa pengupasan endotelium (nDSEK)
menjadi pilihan yang viabel untuk pasien-pasien CHED dengan visibilitas kornea yang buruk,
usia sanagt muda dan/atau Descemet yang sulit untul diidentifikasi maupun dikupas. Beberapa
teknik telah dijelaskan untuk meminimalkan trauma lensa pada pasien DSEK pediatrik phakic.
Mahmoodreza Panahi-Bazaz, MD, dan rekannya menjelaskan metode jahitan pull-through,
untuk meminimalkan manipulasi ruang anterior ketika visibilitas buruk. Selain itu, pilokarpin
topikal digunakan untuk menginduksi miosis. Dr. Busin dan rekannya menganjurkan
menggerakkan sayatan secara superior sehingga metode pull-through dapat dilakukan terhadap
iris superior, yang melindungi lensa kristal yang mendasarinya.
13
2.8. Komplikasi
- Krisis Miastenik
Krisis miastenik merupakan sutau komplikasi dari miastenia gravis yang mengancam jiwa,
ditandai oleh perburukan dari kelemahan otot, yang menyebabkan kegagalan pernapasan
sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik. Miastenia gravis terjadi pada
sekitar 20% pasien dengan miastenia gravis sistemik, namun dengan kemajuan di bidang
kesehatan, angka mortalitas berkurang menjadi sekitar 4,5%. Krisis miastenik biasanya
terjadi akibat eksaserbasi akut. Penyebab utama krisis miastenik yaitu infeksi. Obat-obatan
tertentu juga dapat menyebabkan miastenik krisis, seperti antibiotik, agen antidisritmik,
antipsikotik, obat-obatan kardiovaskular dan beberapa obat-obatan lainnya seperti pelemas
otot, klorpromazin, bahkan kortikosteroid.17
- Krisis Kolinergik
Krisis kolinergik terjadi akibat penggunaan penghambat asetilkolinesterase yang
berlebihan, sehingga menyebabakn asetilkolin berlebihan pada tautan neuromuskular.
Kelebihan asetilkolin ini menstimulasi otot skeletal secara berlebihan dan menyebabkan
paralisis otot yang bersifat flaksid. Baik krisis kolinergik maupun krisis miastenik dapat
menyebabkan bronkospasme, bahkan sampai gagal napas.17
2.9. PROGNOSIS
14
BAB III
PENUTUP
Penegakkan diagnosa pada penyakit ini berdasarkan anamnesa, pemeriksan klinis dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan serologis, pemeriksaan elektrofisiologis dan
15
pemeriksaan radiologis. Penatalaksanaan untuk penyakit meliputi terapi suportif, terapi
medikamentosa dengan (antiasetilkolinesterase, steroid, imunosupresif) dan pembedahan.
Penatalaksanaan penyakit ini perlu melibatkan dokter ahli mata dan dokter ahli saraf. Penyakit
ini berpotensi fatal jika mengenai otot-otot pernapasan dan menelan. Selama terkontrol dengan
baik dan tidak melibatkan otot-otot vital, prognosis cukup baik. Sampai saat ini belum ada
pedoman (guideline) yang ditetapkan dalam penanganan miastenia gravis okular, sehingga
studi-studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk menyediakan suatu skema penatalaksanaan yang
lebih khusus untuk miastenia gravis okular.
DAFTAR PUSTAKA
1. Viegas S, Vincent A. Myasthenia Gravis and Related Disorders. Third Edit. Tarsy D,
editor. Vol. 5, The Autoimmune Diseases: Fifth Edition. USA: Humana Press; 2013.
777-791 p.
16
4. Burkat CN, Marcet MM. Myasthenia Gravis [Internet]. 2018. Available from:
http://eyewiki.aao.org/Myasthenia_Gravis
12. Engstrom JW. Myasthenia Gravis: Diagnostic Mimics. Semin Neurol. 2004;24(2).
13. Neuro-Ophthalmology. In: Basic and Clinical Science Course. San Fransisco: The
Foundation of AAO; 2016.
14. Kline LB, Foroozan R. Neuro-Ophthalmology Review Manual. 7th Editio. Thorofare:
Slack Incorporated; 2013. 186-190 p.
16. Haines SR, Thurtell MJ. Treatment of Ocular Myasthenia Gravis. Curr Treat Options
17
Neurol. 2012;14:103–12.
18