You are on page 1of 7

Secara kelembagaan tidak dibawa ke dunia politik praktis, atau daam memimpin

atau berada di Muhammadiyah pun jangan melakukan politisasi atau skap-


perilaku dan tindakan yang bersifat politik sebagai perangai politisi yang
menggunakan cara-cara berpolitik.
Demikian pula dengan kelahiran Khittah Muhammadiyah. Khittah
Ponorogo tahun 1969 dan Khittah Ujung Pandang tahun 1971 yang
disempurnakan dengan Khittah Surabaya tahun 1978, secara substansi
mengandung makna dan fungsi pembatasan diri Muhammadiyah agar tidak
berafiliasi dan terlibat hubungan dengan partai politik mana pun. Sebenarnya
masih ada Khittah Palembang 1956tetapi lebih merupakan garis kerja tau
kebijakan program, bukan strategi gerakan. Berdasarkan Khttah 1971 dan 1978
Muhmammadiyah dalam menentukan pilihan politik Muhammadiyah
menyerahkan pada setiap anggota melakukannya sesuai kebebasan politik yang
dimiliki. Pembatasan tersebut sebenarnya bukan sekedar formalitas, tetapi
sekaligus membatasi perilaku politik (political behavior) artinya Muhammadiyah
jangan diposisikan dan difungsikan sebagai partai politik, yang membuat dirinya
sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjalankan misi dan berkarakter
dakwah seolah tidak ada bedanyah dengan partai politik. Namun, Khittah tersebut
sering dianggap Muhammadiyah alergi dan anti politik, yang sebenarnya tidak
karena bagi mereka yang ingin berpolitik diserahkan berkiprah dalam dan melalui
partai politik dengan syarat tidak melibatkan Muhammadiyah secara
kelembagaan. Selain itu melalui khittah Denpasar tahun 2002 diberi pula jalan
keluar, pertama pandangan Muhammadiyah yang mendudukan politik sebagai al-
umur al-dunyawiyyah (wilayah keduniaan) yang harusnya diurus dengan benar
dan baik sesuai akhlak Isslami. Sedangkan yang menyangkut peran politik
kebangsaan secara luas Muhammadiyah dapat memainkan fungsi kelompok
kepentingan (interest group) melalui opini, lobi, dan sebagainya tetapi tetap dalam
posisi sebagai organisasi dakwah dan bukan berperangani seperti organissi politik.
Jadi Khittah tidaklah alergi dan antipolitik, apalagi munafik terhadap politik,
namun membatasi

13
Jalur dan perilaku berpolitik secara elegan untuk tidak melibatkan organisasi.
Sikap tersebut sudah teruji karena pengalaman sejarah, bukan karena kekerdilan
dan ketidak mampuan berpolitik, yang intinya sekali menghimpitkan diri dan
melakukan langkah-langkah politikpraktis madharatnya lenih besar ketimbang
masalahnya selaku organisasi kemasyarakatan, yang bereda dari organisasi atau
partai politik.
Kelahiran pedoman hidup islami warga Muhammadiyah (PHIWW) tahun
2000 dalam Muktamar ke-44 di Jkarta, memliki latar belkang sendiri.
Muhammadiyah memerlukan pedoman khusus dalam mengatur periilaku berbasis
nilai-nilai ajaran Islam yang dipahaminya secara mendalam dan luas dalam
seluruh bidang kehidupa. Islam bukan sekedar pada tataran lisan dan norma, tetapi
harus dilaksanakan dan ditunjukkan dalam perilaku maupun tindakan sehari-hari
yang bersifat actual atau nyta.konsep PHIWW pada awalnya terkait dengan
rencana menyusun konsep filosofis sebagai penjelasan dan memiliki kaitan
dengan MKCHM dalam bentuk keyakinan Hidup Islami menurut Muhammadiyah
hasil Tanwir tahun 1992 di Jakarta. Tapi konsep filosofis tersebut tidak
membuahkan hasil, maka diperlukan trobosan yang bersifat praktis atau bersifat
norma-norma actual yang akan menjadi model bagi tingkah laku (mode for action)
warga Muhammadiyah dalam berperilaku dan bertindak secara Islami dalam
kehidupan. Pada saat itu PHIMW pun jangan hanya dieramahkandengan garang,
tetapi tidak kalah pentingnya dijalankan dan dicontohka menjadi teladan (uswah
hasanah) dalam kehidupan bermuhammadiyah, sehingga islam itu sejalan antara
lisan dan tindakan.
Seiring dengan pentingnya menjalankan niali-nilai islam dalam kehidupan
Muhammadiyah secara keseluruha, Muhammadiyah juga menetapkan langkah
Revitalisasi Ideologi hasil Tanwir 2007 di Yokyakarta. Sejak reformasi dirasakan
banyak aliran dan gerakan Islam lain masuk ke dalam Muhammadiyahyang
memikat hati sebagian

14
anggota, bahkan melakukan aktivitas ditubuh organisasi dan amal usaha
Muhammadiyah. Sebagian anggota, kader atau pemimpin Muhammadiyah selain
ada yang membela bahkan terlibat aktif maupun mendukung gerakan-gerakan
islam yang berbeda paham dengan Muhammadiyah tersebut, karena menganggap
“sepaham” dengan Muhammadiyah dan sama-sama “memperjuangkan” islam.
akibatnya, Muhammadiyah itu seperti pasar-bebas yang berbagai gerakan leluasa
masuk kedalam rumah Muhammadiyah, yang dibelakang hari diketahui secara
nyata bahwa gerakan-gerakan ini membawa misi,paham, dan kepentingan sendiri-
sendiri yang tidak menyatu dengan misi, paham, dan kepentingan
Muhammadiyah. Hingga batas tertentu bahkan menegasikan dan menggerogoti
misi, paham dan kepentingan Muhammadiyah. Berdasarkan pada kenyataan
tersebut agar tidak menimbulkan dampak luas dan merugikan masa depan
muhammadiyah,maka dikeluarkan kebijakan Revitalisasi Ideologi, termasuk
melalui SK PP Muhammadiyahnomor 149/2006tetang konsolidasi organisasi dan
Amal Usaha Muhammadiyah.
Sikap ideologis ini bukan berarti Muhammadiyah antiukhuwah dan
memusuhi gerakan islam lain, tetapi sebaliknya agar ukhuwah tercipta, maka
sesame organisasi islam jangan saling mengintervensi dan saling mengganggu.
Segenap gerakan Islam lebih baik beramal Islami secara maksimal ditempat
masing-masing dengan sikap salingtoleran dan menghormati untuk kejayaan umat
dan bangsa. Bagi pemimpin Muhammadiyah di seluruh tingkatan juga diperlukan
sikap yang tegas dan tidak abu-abu dalam Muhammadiyah, sehingga dengan tetap
mampu menunjukan ukhuwah Islam tetapi benar-benar bersikap tegas dalam
membela paham, misi, dan kepentingn Muhammadiyah. Kini setelah proses
konsolidasi ideologis relative selesai atau setidak-tidaknya cukup memadai
dengan berhasil mencegah Muhammadiyah dari masukan paham dan gerakan lain,
maka yang diperlukan ialah melakukan penguatan ideology diseluruh lingkungan
dan tingkatan kelembagaan Muhammadiyah. Jika tidak ingin masjid-masjid dan
amal

15
Usaha Muhammadiyah dimasuki orang lain, maka uruslah masjid dan amal usaha
dengan sebaik-baiknya dengan komitmen, integritas dan kesungguhan yang
konkret dan optimal serta melakukan berbagai langkah yang jauh lebih unggul
ketimbang yang dilakukan oleh gerakan-gerakan lain.
Adapun pernyataan pemikiran Muhammadiyah Abad Kedua hasil
Muktamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta. Pernyataan pikiran tersebut lahir
sebagai deklarasi atau manifesto Muhammadiyah dalam mensyukuri perjalanan
satu abad yang telah dilaluinya sekaligus memasuki abad kedua yang penuh
tantangan kedepan. Kandungan isinya selain menggambarkan kiprah
Muhammadiyah satu abad, secara substansi berisi pandangan keagamaan yang
esensinya mendeklarasikan islam yang berkemajuan, pandangan Muhammadiyah
tentangkebangsaan yang mengandung makna integrasi keislaman dan
keindonesiaan dengan menjadikan NKRI sebagai final hasil consensus nasional,
pandangan Muhammadiyah dalam meghadapidinamika global dengan
mengedepankan kosmopolitanisme Islam, dan deklarasi langkah strategi abad
kedua dengan melakukan gerakan pencerahan. Jikka diperas ini pernyataan
pikiran MUhammadiyah Abad kedua tersebut mengandung manifesto pandangan
Islam yang Berkemajuandan strategi gerakan pencerahan dalam memasuki abad
kedua.manifesto Islam yang berkeajuandan Gerakan pencerahan inilah yang harus
menjadi isu utama sekaligus bingkai, acuan, dan orientasi gerakan
Muhammadiyah pada era baru abad kedua.
B. Ideologi Modernis-Reformis
Ideology Muhammadiyah dalam pandangan akademik sering disebut
dengan ideology kaum modermis atau reformis. Pada ahli dari luar sering
mengkategorikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam reformis atau modermis.
Meski menggunakan ternologi asing dalam kajian ilmu-ilmu social, sebagai cara
memperjelas perbedaan satu gerakan dengan gerakan yang lain, maka tidak perlu
alergi terhadap pelabelan

16
atau kategori sejauh tetap bersikap kritis dan tidak menjadikan absolute.
Kategorisasi tersebut tentu bersifat relative tetapi bermanfaat untuk
mengidentifikasi suatu corak pemikiran atau gerakan Islam. Kini, Muhammadiyah
sendiri seperti melalui penyataan Pemikiran Abad Kedua hasil Muktamar ke-46
tahun 2010 di Yogyakarta lebih menggunakan istilah islam yang berkemajuan,
yang secara substantive mengandung unsur-unsur penting darireformisme atau
modermisme Islam, sedangkan secara relative sama dengan gerakan islam
progresif.
Alfian(1989) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan reformis. Deliar
Noer (1996) menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan modern Islam, aynng
tampil lebih moderat ketimbang persatuan Islam. Soekarno member predikat
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam progresif, meski dikririt juga ketika
Muhammadiyahmenggunakan hijab. Sedangkan William Shepard (2004)
mengkategoroikan Muhammadiyah sebagai kelompok Islamic-Modernism,yang
lebih terfokus bergerak membangun Islamic society (masyarakat Islam)dari pada
perhatian terhadap Islamic state ( Negara islam); yang focus gerakannya pada
bidang pendidikan, kesejahteraan social, serta tidak menjadi organisasi politik
kendati para anggotanya tersebar diberbagai bidang politik. Ideology Islam
modernis dibedakan secara tajam dengan Islam tradisional, islam radikal, islam
liberal, dan islam sekunder dalam banyak rujukan studi Islam atau studi ilmu
social tentang gerakan-gerakan islam. Sekali lagi, dengan sudut pandang keilmuan
yang bersifat kategorisasi untuk lebih memperjelas karakter sebuah gerakan atau
ideology gerakan keagamaan.
Sedangkan Charles Kurzman (2003) mengkategorikan pemikiran kiai
Dahlan dan Muhammadiyah sebagai Islam liberal seperti halnya Aligarh di India
dan gerakan-gerakan Islam serupa dibelahan dunia Islam ainnya. Islam liberal
(liberal islam) yang dimaksudkan kurzman adalah suatu gerakan Islam yang
“menghadirkan kembali masa lalu untuk kepentingan modernitas”, yang berbeda
dengan islam revivalis yang sekadar kembali pada masa lalu ( periode islam
generasi awal) dan

17
Menolak praktik-praktik adat dalam keagamaan (Kurzman, 2003:xvii). Dengan
demikian Kurzman lebih mengguunakan kata islam liberal dengan substansi sama
dengan modern, bukan pengertian liberal dalam pandangan mutakhir yang
merujuk pada ideology “liberal-sekunder”.
Dalam pandangan Jainuri (2004), orientasi ideology keagamaan reformis-
modernis ditandai oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa islam
merupakan nilai ajaran yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan
karenanya harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kaum reformis-
modernis, pengalaman ini tiddak hanya terbatas pada persoalan-persoalan ritual-
ubdiyah, tetapi juga meliputi semua aspek kehidupan social kemayarakatan.
Selain itu, kaum reformis-modernis menerima perubahan terkait dengan
persoalan-persoalan social; memiliki orientasi waktu kedepan serta menekannkan
program jangka panjang;bersifat rasional dalam melihat persoalan;mudah
menerima pengalaman barub; memiliki mobilitas tinggi; toleran; mudah
menyesuaikan dengan lingkungan baru. Pada awal abad keduapuluh sikap ini
terlihat pada kaum modermis muslim yang menerima sebagai unsure budaya barat
modern dalam budaya social dan pendidikan mereka. Mereka ini berkeyakinan
bahwa dari mana pun asalnya idea tau gagasan iyu, selama tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam, adalah diperbolehkan.
Ideology reformisme-modermisme memandang islam mengandung aspek-
aspek struktur tetapi sekaligus substansi, ada ranah yang qath’iy tetapi sekaligus
yang dhanniy, Negara juga dipandang penting tetapi perhatian utama lebih pada
pembangunan masyarakat. Dalam pandangan modermisme islam, bahwa islam
mengandung ajaran tunggal. Bahwa aspek-aspek ajaran islam perlu diinterpretasi
ulang unuk dihadapkan dan dalam rangka menjawab tantangan jaman yang
bersifat kekinian, dengan tetap berada dalam formasi islam. Islam tidak
mengisyaratkan paham tentang Negara secara tegas, tetapi nila-nilai

Quotes: Khittah tidaklah alergi dan antipolitik, apalagi munafik terhadap politik,
namun membatasi Jalur dan perilaku berpolitik.

18
19

You might also like