You are on page 1of 5

SEJUMLAH MASALAH DALAM APRESIASI PUISI

Posted by PuJa on February 1, 2009


Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Karya-karya agung dalam banyak kesusastraan dunia selalu memberi pencerahan. Ia
mengajak kita untuk senantiasa bersikap kritis dalam menanggapi dunia sekitar ki
ta atau merangsang pembacanya agar tumbuh kepekaan emosional ketika hakikat kebe
radaan manusia dilecehkan. Di sebalik itu, ia juga menyodorkan kenikmatan esteti
k. Meski ia berbicara tentang manusia tertentu dengan identitas dan warna lokaln
ya yang khas, sangat mungkin ia berlaku universal mengingat masalahnya manyangku
t keberadaan manusia dan hakikat kemanusiaan.
Puisi, mengingat bentuknya yang lebih padat dan ekspresif, konon paling mewakili
kegelisahan emosional. Konon juga, manusia sering kali merasa lebih mudah mengu
ngkap-kan kegalauan perasaan dan pikirannya lewat puisi daripada ragam sastra ya
ng lain. Meski-pun persoalan itu masih dapat diperdebatkan, setidak-tidaknya fak
ta menunjukkan bahwa puisi lebih banyak ditulis orang daripada cerpen, novel ata
u drama. Lagu dolanan anak-anak, senandung timang-timang para ibu dalam meninabo
bokan bayinya, panggilan kepada angin ketika anak-anak bermain layang-layang, at
au berbalas pantun para orang tua dalam upacara pelamaran, dan entah apalagi, ad
alah pola puisi yang diungkapkan secara spontan.
Meskipun hampir setiap orang dapat membuat puisi, niscaya tidak semua orang dapa
t menjadi penyair. Lalu, bagaimanakah seseorang dapat dikatakan sebagai penyair?
Pertama-tama tentu saja predikat itu datang lantaran karya-karyanya dipandang b
erkualitas dan bukan sekadar menulis puisi. Kuantitas bukanlah yang menjadi ukur
annya. Oleh sebab itu, banyak-tidaknya seseorang menulis puisi, belum menjadi ja
minan untuk menyebutnya sebagai seorang penyair. Kepenyairan seseorang semata-ma
ta ditentukan oleh kualitas kar-yanya yang mampu memberi pencerahan kepada pemba
canya.
***
Puisi yang baik lazimnya menawarkan serangkaian makna kepada pembacanya. Untuk m
enangkap rangkaian makna itu, tentu saja pembaca perlu masuk ke dalamnya dan men
coba memberi penafsiran terhadapnya. Langkah dasar yang dapat dilakukan untuk pe
-mahaman itu adalah ikhtiar untuk mencari tahu makna teks. Sebagai sebuah teks,
puisi menyodorkan makna eksplisit dan implisit. Makna eksplisit dapat kita tarik
dari perwu-judan teks itu sendiri; pilihan katanya, rangkaian sintaksisnya, dan
makna semantisnya. Pilihan kata atau diksi menyodorkan kekayaan nuansa makna; r
angkaian sintaksis berhu-bungan dengan maksud yang hendak disampaikan, logika ya
ng digunakan berkaitan de-ngan pemikiran atau ekspresi yang ditawarkan; makna se
mantis berkaitan dengan keda-laman makna setiap kata dan acuan-acuan yang disara
nkannya. Adapun makna implisit berkaitan dengan interpretasi dan makna yang meny
ertai di belakang puisi bersangkutan.
Apapun jenis puisi yang menjadi objek apresiasi atau kajian kritis terhadapnya,
langkah-langkah sebagai usaha pemahaman itu sangat mungkin dapat membantu pembac
a menyelam ke dalam dunia puisi yang bersangkutan dan kemudian muncul kembali de
ngan membawa pemahaman tekstual dan kontekstualnya. Pemahaman tekstual atau makn
a teks tersurat dapat dilakukan lewat dua tahapan. Sebelum kita memasuki langkah
-langkah apre-siasi puisi, perlu kiranya kita memahami dahulu pengertian apresia
si itu sendiri, agar tidak terjadi pencampuradukan antara apresiasi puisi dan pe
ngetahuan tentang puisi.
***
Apresiasi puisi atau apresiasi sastra pada umumnya merupakan salah satu bentuk p
enghargaan terhadap karya sastra (puisi). Sebagai penghargaan, maka langkah pert
ama yang mesti dilakukan adalah pembacaan teks sastra (puisi) itu sendiri. Jika
apresiasi dilaku-kan dengan cara pembacaan penggalan-penggalan teks, maka itu bu
kanlah apresiasi. Seba-gai pelajaran sastra atau sebagai usaha menyampaikan peng
etahuan tentang sastra, hal itu boleh saja dilakukan. Tetapi sebagai sebuah apre
siasi, tindakan itu justru keliru dan meren-dahkan kekayaan nilai-nilai yang ter
kandung di dalam karya yang bersangkutan. Masalah-nya, bagaimana mungkin penghar
gaan terhadap karya sastra (puisi) dapat dilakukan jika membaca karyanya itu sen
diri secara utuh tidak dilakukan. Dengan demikian, langkah pa-ling awal yang mes
ti dilakukan dalam apresiasi adalah pembacaan teks sastra.
Langkah kedua dalam apresiasi sastra (puisi) adalah penyisihan teori-teori atau
konsep-konsep baku mengenai pengertian, rumusan atau definisi. Definisi pada hak
ikatnya dimaksudkan untuk memberikan pemahaman abstrak mengenai apa yang didefin
isikan. Apresiasi justru penghargaan terhadap wujud konkret karyanya itu sendiri
. Dengan demi-kian, apresiasi yang diawali dengan pemberian apalagi jika kemudian
dijadikan sebagai hapalan mati definisi, justru tidak hanya melanggar hakikat ka
rya sastra itu sendiri, me-lainkan juga memulainya dengan langkah yang dapat men
yesatkan. Sebagai contoh, per-hatikan definisi puisi yang saya kutip dari bebera
pa buku pelajaran sastra: Puisi adalah ka-rangan yang terikat oleh: 1) banyaknya
baris dalam tiap bait, 2) banyaknya kata dalam tiap baris, 3) banyaknya suku ka
ta dalam tiap baris, 4) adanya rima, dan 5) irama.
Jika definisi ini dijadikan sebagai landasan dalam apresiasi puisi, maka bagaima
na dengan puisi yang mungkin tidak sesuai dengan rumusan definisi tersebut? Perh
atikan salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul Air Selokan berik
ut ini:
AIR SELOKAN
Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit, katamu pada suatu hari minggu p
agi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung ia hamp
ir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu wak-tu k
au lahir: campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mandi.
+
Senja itu ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang
tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di ai
r itu alangkah indahnya! Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilau
an hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
Apakah puisi Air Selokan itu memenuhi syarat sebagai puisi seperti yang menjadi kr
iteria definisi puisi tersebut di atas? Jika begitu, lalu apakah secara serta-me
rta kita me-masukkan puisi karya Sapardi Djoko Damono itu sebagai prosa atau cer
pen? Tentu saja tidak. Hal yang sama berlaku juga bagi definisi dalam ragam sast
ra yang lainnya. Sebagai contoh, perhatikan definisi alur dalam cerita rekaan (p
rosa) berikut ini: Alur adalah rang-kaian peristiwa di dalam cerita rekaan yang
mensyaratkan adanya hubungan sebab-aki-bat. Definisi ini memang berlaku bagi pros
a yang konvensional, tetapi bagaimana dengan novel atau cerpen karya-karya Iwan
Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma atau Danarto? Perhatikan kutipan berikut yan
g diambil dari cerpen Dinding Waktu karya Danarto.
Saya yang telah memfosil, tua renta, dengan sisa-sisa tenaga dalam usia 1350 tah
un, berlindung di balik batu besar itu dari tembakan, semburan api, maupun ledak
an bom. Saya bukan tentara, bukan pula wartawan, melainkan penonton biasa. Penon
ton perang .
He! Jangan lupa, medan perang masih berkobar! Inilah berita tentang batu. Wartawa
n perang Anda siap mewawancarainya, celetuk wartawan yang lain sambil mengarahkan
mike-nya ke arah bongkahan batu besar di depannya itu.
Siapa Anda dan kenapa teronggok di sini? Kamera-kamera pun berebutan tempat.
Sesungguhnya saya seorang ibu , jawab batu itu.
Di dalam logika formal, logiskah tokoh Saya berusia 1350 tahun? Bagaimanakah pasal
nya sehingga tokoh Saya yang mengaku seorang ibu itu, ternyata sesungguhnya sebuah
batu? Demikianlah, dari dua kutipan di atas, terbukti bahwa apresiasi yang dimu
lai dari definisi akan mendatangkan bahaya penyesatan. Mengapa demikian? Di sini
lah unik-nya karya sastra. Sebagai bahan pelajaran, definisi memang diperlukan.
Tetapi manakala kita berhadapan dengan karya konkret sebagai bahan apresiasi ata
u kritik, maka definisi untuk sementara waktu mesti ditanggalkan dahulu. Apresia
tor atau kritikus harus membu-ka diri dari berbagai macam kemungkinan. Masalahny
a, seperti yang dikatakan Prof. A. Teeuw, Sastra senantiasa berada dalam ketegang
an antara konvensi dan inovasi. Artinya, di satu pihak sastra mengikuti konvensi
sastra, dan di lain pihak, ia berusaha terus-menerus menampilkan pembaruan. Dan
untuk menampilkan pembaruan inilah, ia harus memberontak dari konvensi yang berl
aku. Itulah yang dimaksudkan sebagai inovasi; pemberontakan terhadap konvensi da
n tradisi.
Dengan mempertimbangkan bahwa sastra selalu berada dalam ketegangan itu, maka de
finisi janganlah dijadikan sebagai landasan absolut. Ia mesti ditempatkan sebaga
i rumusan yang masih mungkin diperbarui jika ada karya sastra yang tidak sesuai
dengan definisi itu. Dalam hal ini, apresiator atau kritikus harus selalu meliha
t berbagai perspektif yang memungkinkannya dapat menguak kekayaan karya yang ber
sangkutan. Di sini, yang dipentingkan dalam apresiasi bukanlah penghapalan defin
isi dan konsep-konsep, melainkan hubungan komunikasi antara teks dan pembaca. Le
wat cara ini pula, setiap kita melakukan apresiasi, setiap itu pula sangat mungk
in makna baru akan muncul.
Lalu, bagaimanakah jika terjadi pemaknaan yang berbeda-beda terhadap karya sas-t
ra yang sama? Justru dalam hal itulah tujuan apresiasi dilakukan. Setiap pembaca
boleh memberi pemaknaan apapun. Tak ada keharusan bahwa hasil apresiasi itu ser
agam. Dalam hal ini, pemaknaan dari tindak apresiasi tidaklah menyangkut benar a
tau salah, melainkan logis atau tidak logis. Alasannya dapat diterima dan masuk
akal atau tidak. Jika alasannya tidak meyakinkan, maka hasil apresiasinya meragu
kan, tidak terterima. Jadi, apresiasi sesungguhnya berkaitan pula dengan persoal
an argumentasi yang logis atau tidak logis.
***
Dibandingkan apresiasi terhadap novel, cerpen atau drama, apresiasi puisi lebih
memberi peluang pada terjadinya penafsiran yang beragam. Masalahnya, bahasa puis
i lebih padat, langsung, lugas, dan tidak memerlukan deskripsi panjang lebar. Ol
eh karena itu, pada umumnya bahasa dalam puisi bersifat sugestif (penyaranan), a
sosiatif (pertalian), dan imajis (pembayangan). Perhatikanlah sebait puisi yang
berjudul Di Meja Makan karya W.S. Rendra yang dikutip di bawah ini:
DI MEJA MAKAN
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa
Larik pertama, Ruang diributi jerit dada, memberi pembayangan (imaji) kepada kit
a tentang kegelisahan yang tak terperikan. Mungkin hatinya sedang diliputi ketak
utan atau penderitaan, mungkin juga sedang dilanda kemelut yang tak terpecahkan.
Suasana hati yang demikian itu, disugestikan lewat larik berikutnya: Sambal tom
at pada mata yang menyarankan kepedihan luar biasa; bagaimana rasanya jika samba
l yang pedas itu menge-nai mata; perih dan panas. Larik ini juga mengasosiasikan
kepedihan yang dinyatakan lewat perihnya mata yang terkena sambal. Larik beriku
tnya seolah-olah menyimpulkan, bahwa penderitaan dan kegelisahan itu lebih diseb
abkan oleh perbuatan-perbuatan dosa: meleleh air racun dosa. Jadi, ada semacam p
enyesalan yang mendalam.
Mengingat bahasa puisi yang bersifat sugestif, asosiatif, dan imajis inilah, mak
a para ahli sastra mengatakan, bahwa hakikat puisi adalah citraan (imaji); bagai
mana puisi itu mengungkapkan banyak hal melalui bahasa yang padat, lugas, dan be
rnas. Akibatnya, terbuka peluang yang begitu luas kepada pembaca untuk menafsirk
an sendiri puisi yang bersangkutan. Dan semakin banyak tafsiran, semakin tinggi
nilai karya itu.
Sungguhpun ada kebebasan dan keleluasaan dalam mengapresiasikan sebuah puisi, ap
resiator perlu juga membekali diri dengan pemahaman, bagaimana apresiasi itu dil
aku-kan. Tujuannya semata-mata agar hasil apresiasi itu berlandaskan alasan yang
logis, argu-mentatif, dan meyakinkan; juga agar kekayaan makna puisi dapat diun
gkapkan lebih men-dalam. Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang perlu dilaku
kan dalam melakukan tindak apresiasi puisi.
Langka pertama lewat titik pandang (point of view) yang digunakan dengan men-cer
mati beberapa pertanyaan berikut ini::
(1) Siapa yang berbicara; aku liris, engkau liris, dia liris, atau subjek liris.
(2) Kepada siapa berbicara; kepada sesama manusia, alam, Tuhan atau dirinya send
iri.
(3) Apa yang dibicarakan; dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, alam atau apa
pun.
(4) Bagaimana ia berbicara; bersemangat, sedih, datar, marah atau gembira.
Perhatikan bait pertama puisi berjudul Surat dari Ibu karya Asrul Sani berikut ini
:
SURAT DARI IBU
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau
Pertanyaan siapa yang berbicara dan kepada siapa ia berbicara, dalam puisi terse
but kiranya cukup jelas, yaitu seorang ibu yang berbicara kepada anaknya (melalu
i surat). Lalu, apa yang dibicarakannya dan bagaimana ia berbicara. Yang dibicar
akannya adalah nasihat kepada anaknya yang pergi mengembara. Karena nasihat, ten
tu saja ia berbicara dengan nada yang halus dan penuh cinta kasih.
Perhatikan juga puisi berjudul Doa si Kecil karya Taufiq Ismail berikut ini:
DOA SI KECIL
Tuhan Yang Pemurah
Beri mama kasur tebal di surga
Tuhan yang Kaya
Berikan ayah pipa yang indah
Amin.
Yang berbicara dalam puisi Doa si Kecil adalah seorang anak yang berdoa kepa-da Tu
han. Sesuai dengan alam pikiran anak-anak, ia berdoa dalam bahasa yang sederhana
. Adapun suasana yang hadir dalam puisi itu, tentu saja suasana khidmat, sebagai
mana lazimnya ketika seseorang sedang berdoa.
Langkah kedua lewat pemahaman teks denonatif yang dapat ditangkap dari kata-kata
yang digunakannya, termasuk diksi, ungkapan, urutan sintaksis, dan makna semant
is. Larik Beri mama kasur tebal di surga, tentu saja pertama-tama harus dimaknai
secara de-notatif. Kasur tebal di mata si anak adalah tempat yang memungkinkan
ibunya dapat tidur nyenyak. Jika ibunya dapat tidur pulas, maka sangat mungkin m
impi-mimpi indah akan datang melengkapi kenikmatan si ibu. Untuk selanjutnya, da
pat saja larik itu ditafsirkan sebagai kenikmatan atau kebahagiaan. Jadi, si ana
k sesungguhnya berdoa agar ayah-ibunya memperoleh kebahagiaan.
Setelah pemahaman makna teks denotatif, langkah berikutnya adalah pemahaman teks
tersirat (makna konotatif) yang juga dapat dilakukan dalam dua tahapan.
Pertama, pemahaman teks tersirat (makna konotatif) yang pemunculannya berda-sark
an kesan yang dapat kita tangkap dari citraan (imaji), kisahan (narasi) dan gamb
aran peristiwa atau suasana yang mencuat dari dalam puisi yang bersangkutan. Per
gi ke dunia luas, anakku sayang/pergi ke hidup bebas!Selama angin masih angin bu
ritan/dan mata-hari pagi menyinar daun-daunan/dalam rimba dan padang hijau// men
citrakan kerelaan seorang ibu yang melepaskan anaknya untuk pergi mengembara men
yeberangi lautan, panas terik matahari, hutan rimba pegunungan atau padang pesaw
ahan. Kisahannya dapat kita tangkap dari keseluruhan teks puisi bersangkutan. Me
ngenai hal ini, puisi-puisi naratif, sangat kuat memberi kesan yang demikian. Ad
apun gambaran peristiwa atau suasana da-lam puisi, sangat bergantung pada tema d
an pesan puisi itu sendiri. Selepas itu niscaya kita pun tidak akan mengalami ke
sulitan menangkap pesan dan amanat yang hendak disampai-kannya, setidak-tidaknya
membantu pembaca mengarahkan pemahamannya pada tema atau amanat yang terdapat d
alam puisi bersangkutan.
Kedua, penafsiran teks yang tidak dapat lain mesti dilakukan dengan cara memper-
kaitkan makna tersurat dengan makna tersirat, acuan-acuan yang disarankan, dan k
aitan makna tersurat-tersirat dengan tema dan amanat.
Mengapakah cara itu perlu dilakukan dalam apresiasi, analisis atau kajian kritis
ter-hadap puisi? Sesungguhnya.lewat cara itulah berbobot tidaknya sebuah puisi
dapat ditentu-kan. Soalnya sederhana. Bagaimanapun, puisi sebagai salah satu rag
am sastra yang haki-katnya citraan (imaji) menyodorkan persoalan yang diangkatny
a secara tidak langsung. Sa-ngat mungkin cara tidak langsung itu dilakukan lewat
pergantian makna (displacing), pe-nyimpangan makna (distorting) atau penciptaan
makna (creating of meaning).
Sekadar contoh, larik Aku ini binatang jalang, misalnya, merupakan bentuk peng-g
antian arti. Binatang jalang digunakan untuk mengganti makna kegelisahan, keliar
an, atau kegalauan perasaan yang sedang melanda si aku liris. Sedangkan penyimpa
ngan arti, dapat kita perhatikan dari larik berikut: Kalau sampai waktuku. Sampa
i waktuku merupa-kan makna lain dari ajal atau kematian. Adapun penciptaan arti
dapat kita perhatikan dari larik ini: ia hampir muntah karena bau sengit itu. Ka
ta sengit yang mengikuti kata bau merupakan penciptaan makna baru untuk menggamb
arkan bau yang luar biasa.
Demkianlah, mengingat ketiga hal itu, puisi yang baik tidak hanya memberikan pen
cerahan dan nilai estetik, melainkan pemerkayaan makna kata-kata, ungkapan, dan
ba-hasa secara keseluruhan. Oleh karena itu, puisi sering juga dianggap sebagai
karya yang banyak memberikan sumbangannya bagi kekayaan bahasa. Sebaliknya, jika
ada puisi yang tidak memberikan ketiga hal itu, niscaya puisi itu sekadar tampi
l sebagai puisi. Ia sama sekali tidak memberikan apa-apa bagi perkembangan puisi
itu sendiri, bagi kekayaan baha-sa, dan juga tidak menampilkan fungsi sosialnya
. Ia hadir cuma sebagai puisi yang hanya penting bagi penulis puisinya sendiri.
***
Langkah-langkah apresiasi puisi sebagaimana dipaparkan di atas, tentu saja hanya
sekadar pegangan agar apresiasi puisi yang kita lakukan dapat dilakukan secara
sistematis dan logis. Jika dalam pelaksanaannya terjadi perbedaan penafsiran dan
pemaknaan, tentu saja hal itu sah-sah saja, sejauh alasan yang dikemukakannya l
ogis. Jadi, perbedaan penaf-siran dalam apresiasi puisi, bukanlah hal yang tabu,
bahkan justru sangat penting.
Perbedaan-perbedaan itulah yang mestinya dikembangkan dalam setiap kegiatan apre
siasi, agar terbuka peluang kemungkinan pengungkapan makna karya. Dengan cara de
mikian, maka akan lahir berbagai penafsiran dengan argumentasi dan logikanya yan
g beraneka ragam. Oleh karena itu, pintu pertama dalam apresiasi tidak lain adal
ah pemba-caan teks karya itu sendiri untuk membuka jalan terjadinya komunikasi a
ntara pembaca dan teks. Nah, selamat mencoba!
*) Staf Pengajar FSUI, Depok.

You might also like