Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
rakyat, tapi juga menimbulkan kekhawatiran yang cukup besar akan dampak
negatifnya. Lebih dari itu, gerakan netralitas birokrasi juga memunculkan pluralisme
dari kompetisi aktor-aktor ketimbang monopoli negara. Salah satu indikasi penting
yaitu peluang untuk mempengaruhi kebijakan publik lebih dimungkinkan dan juga
tekanan sosial.
Masalah politisasi birokrasi tetap menjadi isu krusial dalam pemilihan umum
khususnya pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kekhawatiran publik
terhadap keberpihakan birokrasi memang tidak berlebihan karena institusi ini sangat
rentan dan mudah menjadi wilayah konflik kepentingan partai politik. Terbukti
masalah netralitas ini kembali marak dipertanyakan ketika muncul isu terjadinya
mobilisasi PNS di Bali dalam rangka kampanye PDI P menjelang pemilu legislatif
bulan April 2004. Bahkan makin mencuat lagi ketika disinyalir adanya kampanye
terselubung birokrat untuk mendukung salah satu calon presiden dalam pemilu
peraturan tentang birokrasi/PNS ternyata masih tidak cukup kuat untuk mencegah
yang efektif untuk mendapatkan dukungan suara dalam pilkada sulit dicegah. Peluang
reformasi birokrasi ke depan bisa jadi terhambat oleh konflik kepentingan yang tidak
masa lalu, kiranya kita telah menyaksikan bersama suatu kontestasi seru persaingan
partai dan politisi yang berlomba untuk dapat merebut kursi atau minimal berusaha
tertarik untuk melakukan suatu penulisan yang Berjudul “Politisi Birokrasi dan
B. Identifikasi Masalah
Atas dasar latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penulisan
C. Metode Penulisan
teori yang ada. Selain itu, penelitian yang nantinya akan dilakukan oleh penulis akan
bersifat deskriptif, dimana penelitian ini nantinya akan dapat memberikan gambaran
D. sistematika Penulisan
BAB I
Bab I terdiri dari enam subbab. Subbab pertama berisi latar belakang
ditulisnya topik Reformasi Birokrasi . Subab kedua adalah pokok permasalahan yaitu
merupakan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan karya tulis ini. Subbab
ketiga adalah metode penulis berkaitan dengan topik yang dipilih. Subbab ke empat
penulisan, yang berupa uraian singkat secara sistematis bab-bab yang akan diuraikan
BAB II
BAB III
Bab III Pembahasan yang dilakukan terhadap Politisi Birokrasi dan Pengembangan
BAB IV
Sebagai penutup dalam bab ini akan disampaikan kesimpulan dari topik yang
dibahas dalam penulisan ini dan saran yang dapat di berikan terhadap permasalahan
yang terjadi.
Penulisan ini dibagi menjadi ke dalam beberapa bab dan sub bab sebagai
berikut :
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Pokok Permasalahan
C. Metode penulisan
D. Sistematika Penulisan
A. SEJARAH BIROKRASI
B. NETRALITAS BIROKRASI
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
5
B. Saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Birokrasi
Birokrasi memiliki asal kata dari Bureau, digunakan pada awal abad ke 18 di
Eropa Barat bukan hanya untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada
kantor, semisal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi
berasal dari bahasa perancis berarti pelapis meja. Kata birokrasi sendiri kemudian
digunakan segera setelah Revolusi Perancis tahun 1789, dan kemudian tersebar ke
negara lain. Kata imbuhan -kratia berasal dari bahasa Yunani atau kratos yang berarti
sentralistis dengan staf berasal dari rakyat jelata yang terdidik. Sistem kepemimpinan
ini kemudian mendorong konsentrasi kekuasaan di dalam tangan kaisar dan birokrasi
istana daripada yang diperoleh oleh dinasti sebelumnya. Teori Karl Marx tentang
birokrasi berasal dari teori mengenai historical materialisme, asal muasal birokrasi
dan teknologi. Kemudian, bentuk birokrasi paling awal terdiri dari tingkatan kasta
aneka ritual, dan tentara yang ditugaskan untuk mentaati perintah. Di dalam transisi
sejarah dari komunitas egaliter primitif ke dalam civil society terbagi kelas-kelas
sosial dan wilayah, muncul sekitar 10.000 tahun yang lalu, dimana kewenangan
5
6
terpusat, dan dipaksakan oleh pegawai pemerintah yang keberadaannya terpisah dari
masyarakat.
terjadi konflik di antara masyarakat dan menjaga konflik agar masih dalam batas
sedikit demi sedikit dibatasi; memaksakan orang lain untuk berbuat sesuatu menjadi
B. Netralitas Birokrasi
dan politik hampir dua abad yang lalu. Konsep itu terpusat pada analisis dan buah
pikiran para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart Mill,
Gaestano Mosca dan Robert Michels (Fischer & Sirriani; 1984) Sekitar abad ke 20,
konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial
politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang berbicara tentang
the world). Berbarengan dengan itu mereka juga ingin tahu sampai di mana peranan
pada era Orde Baru yang berjalan hamipr 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi
sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri.
Ketika Orde Baru lahir, kehidupan kepartaian kita dalam kondisi dan situasi yang
sangat memprihatinkan. Ini disebabkan oleh strategi pembangunan politik orde lama
di mana PKI merupakan satu-satunya partai politik yang tetap eksis dengan
fungsinya. Sedangkan parta-partai lain satu persatu hilang, baik secara alamiah
atupun karena tidak sesuai dengan Bung Karno sebagai Presiden yang sekaligus
sebagai Panglima Tertinggi dan menyatakan dirinya juga sebagai Panglima Besar
Revolusi waktu itu yang mengeluarkan gagasan JAREK (jalannya revolusi kita)
Dalam keadaan seperti itu masyarakat sangat merindukan terciptanya satu situasi
politik. Situasi yang demikian dibaca oleh rejim baru, sehingga begitu orde lama
tumbang, orde baru berusaha untuk memulihkan keadaan dengan mengetrapkan dua
strategi dasar:
kemdali pemerintahan ditopang oleh birokrasi yang kuat dan terlepas dari ikatan
kepartaian konvensional/tradisional.
dalam Anshori :1994) Dua strategi tersebut jelas akan memerlukan stabilitas dengan
segala resikonya yang dalam banyak hal akan merugikan bagi parpol non-pemerintah.
Karya (SEK-BER GOLKAR) pada tahun 1964 sebagai embrio bagi partai pemerintah
(partai pelopor seperti konsep Presiden Soekarno). Dari sini kita melihat bahwa
politik orde baru berusaha menciptakan iklim politik yang mendukung tumbuh
suburnya kembali partai-partai politik, namun tetap berada di bawah kontrol birokrasi
Faktor lain yang juga dapat disebut adalah tulisan Dr. Muhajir Darwin seperti
jaman kerajaan dahulu pernah meletakkan para birokrat (kaum ningrat dan abdi
penjajah atau para kolonial yang mengembangkan birokrasi model Weberian (secara
Anshori :1994) Melihat perjalanan sejarah birokrasi di Indonesia yang seperti di atas
tadi, maka sulit kiranya (bila biorkrasi tidak benar-benar netral) mewujudkan proses
kontrol yang efektif terhadap birokrasi, menciptakan proses check and balance dalam
terhadap hak-hak politik warga negara; sebagai contoh (era orde baru) lembaga
LITSUS paling efektif untuk mengebiri hak-hak politik warga negara dengan
menggunakan justifikasi politis yaitu “stabilitas politik” dan alasan ini adalah paling
tepat dan mudah digunakan karena sejauh itulah yang dipercaya sebagai faktor yang
terakhir ini. Namun memihaknya birokrasi pemerintah kepada kekuatan politik atau
pada golongan yang dominan membuat birokrasi tidak steril (Miftah; 1993). Banyak
virus yang terus menggrogotinya seperti pelayanan yang memihak, jauh dari
pengurus atau anggota partai. Namun demikian, tuntutan itu mendapatkan resistensi
dari parpol dan para politisi atau kader partai yang meraih kekuasaan dalam
Pertama, bahwa tidak ada aturan yang melarang seorang aktivis partai merangkap
bupati/wakil bupati. Kedua, bertahannya mereka sebagai pengurus partai meski telah
menjadi pejabat birokrasi, bukan karena ambisi pribadi namun karena kehendak
partai termasuk konstituen. Ketiga, posisi sebagai aktivis partai dan pejabat
negara/pemerintahan merupakan dua hal yang berbeda, karena itu, katanya, dapat
para politisi yang merangkap sebagai birokrat itu benar-benar dapat melepaskan diri
dari ikatan aspirasi atau kepentingan partai yang mendukungnya? Sulit disangkal
sebagai alat politik, jika tidak akibatnya malah melahirkan conflict of interest.
Mengingat, garis batas aktivitas dan kepentingan antara domain birokrasi dan parpol
bisa amat kabur, jika politisi bersangkutan menjabat pejabat birokrasi tanpa
dalam pos-pos pemerintahan oleh pejabat yang berkuasa yang tidak mengindahkan
10
partai tertentu terutama dalam kasus Pilkada, adanya penetrasi kepentingan parpol
dalam penentuan dan pengelolaan anggaran pembangunan dan banyak lagi lainnya
yang sudah menjadi isu publik, semua itu menunjukkan isyarat kemungkinan
lembaga legislatif mulai dari level pusat hingga ke daerah, untuk menegakkan
profesionalitas dan netralitas kinerja birokrasi. Untuk itu, diperlukan code of conduct
mengefektifkan regulasi yang sudah ada untuk mengontrol dan mengevaluasi masalah
ini. Alternatif lain ialah dengan membentuk sebuah institusi kontrol khusus atau
dengan mengefektifkan lembaga pengawas berwenang yang sudah ada mulai dari
pusat hingga daerah, untuk mengawasi dan mengevaluasi sejauh mana arah
komponen masyarakat sipil (civil society) juga penting dalam mengontrol performa
birokrasi. Mengingat posisinya yang amat strategis sebagai wadah yang lebih mampu
dan parpol (political society). Unsur masyarakat sipil harus menjaga jangan sampai
birokrasi secara melanggar aturan hanya dimanfaatkan sebagai alat politik dan
Birokrasi indonesia tercipta sebagai warisan dari sejarah masa penjajahan dan
pasca penjajahan kolonial. Pola kekuasaan dalam budaya Jawa bercampur dengan
masa reformasi sebagai raja-raja kecil. Belum lagi, di masa pemerintahan Orde Baru,
birokrasi mendapatkan tempat paling tinggi dalam tatanan masyarakat, bukan sebagai
pelayan (pamong) rakyat, namun lebih sebagai dilayani rakyat. Penguatan jajaran
11
birokrasi terutama setelah dilegitimasikannya PNS untuk masuk dalam arena politik,
7 kalinya
perubahan di bidang politik, ekonomi dan sosial yang begitu cepat terjadi sejak paruh
1974 dengan pokok bahasan yang sama tersebut, kemudian diikuti dengan berbagai
tiga peran yang serupa. Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang
telah ditetapkan pemerintah. Untuk mengemban tugas ini, netralitas PNS sangat
dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas atas
pelayanan yang diberikan PNS. Apabila tujuan utama otonomi daerah adalah
terpusat pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, maka PNS pada daerah-
daerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat setempat. Ketiga,
merupakan fungsi utama PNS. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat
dimengerti dan dipahami oleh setiap PNS sehingga dapat dilaksanakan dan
12
disosialisasikan sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut. Dalam hubungan ini maka
manajemen dan administrasi PNS harus dilakukan secara terpusat, meskipun fungsi-
fungsi pemerintahan lain telah diserahkan kepada pemerintah kota dan pemerintah
a. Stabilitas, yang menjamin agar setiap PNS tidak perlu kuatir akan masa depannya
b. Balas jasa yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS beserta keluarganya.
korupsi harta, menjadi berkurang, kalau tidak mungkin dihapuskan sama sekali
dan
c. Promosi dan mutasi yang sistematis dan transparan, sehingga setiap PNS dapat
Ketiga prasyarat ini akan menumbuhkan keyakinan dalam diri setiap PNS,
apabila mereka menerima sesuatu jabatan harus siap pula untuk melepas jabatan yang
didudukinya itu pada suatu waktu tertentu. Bahkan kehilangan jabatan tersebut tidak
perlu dikuatirkan. Apabila sistem penggajian sudah ditata rapih, setiap PNS tidak
bersama keluarganya. Selain itu, sistem kepegawaian yang memenuhi ketiga kreteria
tersebut akan menjaga integritas dan kepribadian setiap PNS yang memang sangat
diperlukan untuk mewujudkan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa
otonomi daerah. Dari berbagai permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai
serta mutasi tidak mengikuti prinsip “merit sistem” tetapi lebih pada
pusat selama ini. Karena sulit meninggalkan paradigma lama yang telah
b) Kualitas PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu
dengan daerah lainnya. Akibat dari kewenangan dalam butir (a) tersebut.
Apalagi kalau mobilitas PNS antar daerah terhambat sebagai akibat dari
dimungkinkan ini, maka pembinaan karier PNS yang selama ini telah
masih perlu banyak pembenahan. Namun sebagai akibat dari butir (b)
yang netral, tidak terimbas pengaruh politik dan tunduk pada salah satu
kekuatan politik. Ditambah dengan daya serap daerah yang masih sangat
BAB III
PEMBAHASAN
Satu hal yang harus dijaga dan menjadi tantangan berat, jika ingin Pemilu
berkualitas dan berjalan LUBER dan JURDIL; adalah mempertahankan atau bahkan
struktur politik yang penting dalam proses demokratisasi. Para birokrat menjadi agen
pemilu, pilpres dan pilkada. Kecenderungan yang terjadi pada era orde baru yang
dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri waktu itu, telah menjadikan birokrasi sebagai
kekuasaan. Jiwa dan semangat “monoloyalitas” telah tertanam di dalam diri setiap
birokrat dan pada tingkat tertentu juga militer, terhadap keberadaan Golkar pada era
itu, menyebabkan pola-pola yang terbentuk, semakin menampakkan warna dan gejala
“birokratik”. Tentu, kita tidak ingin “penyakit lama” para birokrat termasuk di
dalamnya PNS; yakni keberpihakan pada salah satu parpol akan kambuh kembali.
Keluarnya PP No. 5 dan No. 12 tahun 1999, yang membatasi PNS dalam berkiprah di
dunia politik; menjadi “obat” bagi kebuntuan proses demokratisasi yang telah
berjalan puluhan tahun. Untuk menjawab tantangan itu maka diperlukan nitralitas
birokrasi.
15
16
1. Netralitas PNS
politik dari kekuatan partai politik (parpol) dan aktor politik. Jumlahnya yang
negara selalu menjadi incaran tiap parpol untuk menguasai dan memanfaatkan PNS
dalam aktivitas politik. Saat-saat menjelang pemilu, aktivitas politik partisan PNS
satu parpol. Selain itu, di pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak
terdidik, figur dan pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.
Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik (caleg) dan PNS dalam
pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS sendiri. Keberpihakan
PNS dalam pemilu kepada parpol/caleg dibutuhkan untuk promosi dan karier
jabatan. Dalam sistem birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan
tidak ditentukan oleh kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas
PNS sulit ditegakkan. Hal inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder
43/1999 mengatur, (1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara
jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan
pembangunan; (2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat
(1), pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta
pembangunan. Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan
anggaran negara.
dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian
penggunaan fasilitas pemerintah ini juga diatur dalam Pasal 84 Ayat 1 Huruf h
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD serta Pasal 41 Ayat 1 Huruf h Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilu Presiden.
18
d. Stabilitas, yang menjamin agar setiap PNS tidak perlu kuatir akan masa depannya
e. Balas jasa yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS beserta keluarganya.
korupsi harta, menjadi berkurang, kalau tidak mungkin dihapuskan sama sekali
dan
f. Promosi dan mutasi yang sistematis dan transparan, sehingga setiap PNS dapat
Ketiga prasyarat ini akan menumbuhkan keyakinan dalam diri setiap PNS,
apabila mereka menerima sesuatu jabatan harus siap pula untuk melepas jabatan yang
didudukinya itu pada suatu waktu tertentu. Bahkan kehilangan jabatan tersebut tidak
perlu dikuatirkan. Apabila sistem penggajian sudah ditata rapih, setiap PNS tidak
bersama keluarganya. Selain itu, sistem kepegawaian yang memenuhi ketiga kreteria
tersebut akan menjaga integritas dan kepribadian setiap PNS yang memang sangat
diperlukan untuk mewujudkan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa
Masalah Otonomi Dalam perkembangan keadaan saat ini, diperkirakan akan timbul
otonomi daerah. Dari berbagai permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai
serta mutasi tidak mengikuti prinsip “merit sistem” tetapi lebih pada
pusat selama ini. Karena sulit meninggalkan paradigma lama yang telah
b) Kualitas PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu
dengan daerah lainnya. Akibat dari kewenangan dalam butir (a) tersebut.
Apalagi kalau mobilitas PNS antar daerah terhambat sebagai akibat dari
dimungkinkan ini, maka pembinaan karier PNS yang selama ini telah
daerah masih perlu banyak pembenahan. Namun sebagai akibat dari butir
yang netral, tidak terimbas pengaruh politik dan tunduk pada salah satu
kekuatan politik. Ditambah dengan daya serap daerah yang masih sangat
2. Netralitas TNI/POLRI
Salah satu bentuk dukungan Tni terhadap netralitas pemilu adalah embali
menegaskan jaminannya bahwa TNI akan bersikap netral pada Pemilu, Penegasan
TNI untuk netral sudah dicanangkan sejak 2004 dan pada 2008 makin dimantapkan
dengan diterbitkannya buku saku Netralitas TNI. Diantaranya yang menjadi bentuk
2. Netral dengan tidak memihak dan memberikan dukungan kepada salah satu
4. apapun di luar tugas dan fungsi TNI. Prajurit TNI tidak menggunakan hak
5. Khusus bagi prajurit TNI (Istri / Suami / anak prajurit TNI), hak memilih
merupakan hak individu selaku warga Negara, institusi atau satuan dilarang
lokal ; yang tentu saja dikhawatirkan akan mempengaruhi sikap netral para birokrat
lokal, menjelang pemilu. Untuk itu upaya untuk menjaga netralitas harus senantiasa
para birokrat ; menjadi salah satu alternatifnya, dan pelaksanaannya tentu saja bisa
dilakukan oleh KPUD atau KORPRI setempat. Dengan pendidikan ini, diharapkan
mereka akan bebas memilih sesuai hati nuraninya tanpa paksaan atau tekanan dari
atasan.
mangeluarkan aturan yang lebih tegas yang melarang para birokrat untuk terlibat
dalam kegiatan kampanye politik, khususnya pada hari kerja. Hal ini untuk mencegah
penggunaan fasilitas negara oleh parpol dalam kampaye, baik itu pemakaian
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
ini, dimana diharapkan para birokrasi tidak lagi diboncenggi muatan atau pengaruh
Dimana instansi PNS sudah jelas diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 5
dan 12 tahun 1999 tentang pembatasan PNS dalam partai politi. Netralitas birokrasi
B. Saran
untuk mendukung adanya netralitas birokrasi sehingga terdapat suatu kepastian dalam
DAFTAR22PUSTAKA
Jakarta:
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala
kepada pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan makalah ini sehingga
dapat diselesaikan.
kekurangan dan kesalahan sebagaimana halnya manusia biasa yang tidak luput dari
kesalahan dan kekhilafan, untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun dari
April 2011
Penulis
25
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
C. Kesimpulan …………………………………………………… 22
D. Saran …………………………………………………..……… 22
DAFTAR PUSTAKA
26
ii
KARYA TULIS
OLEH
2011