Professional Documents
Culture Documents
Wawancara adalah teknik pengambilan data melalui pertanyaan yang diajukan secara
lisan kepada responden. Umumnya teknik pengambilan data dengan cara ini dilakukan jika
peneliti bermaksud melakukan analisis kualitatif atas penelitiannya. Wawancara bisa dilakukan
secara tatap muka di antara peneliti dengan responden dan bisa juga melalui telepon .
1. Cost. Biaya supervisi lapangan, biaya latihan pewawancara, biaya perjalanan serta
pemondokan, imbalan bagi responden, dan lain sebagainya Di Amerika dan Eropa
khususnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk seorang responden bisa sampai
dengan 100 dolar pada tahun 1995 (Cooper dan Emory). Artinya kalau respondennya
100 orang peneliti harus menyediakan uang sekitar 75 juta rupiah. Di Indonesia
belum ada tarif yang bisa diterima umum ketika seorang peneliti mewawancarai
responden
2. Time. Waktu wawancara tidak dapat dilakukan kapan saja. Kadang responden hanya
punya waktu sedikit, sehingga untuk menjawab seluruh pertanyaan diperlukan
beberapa kali wawancara. Berdasarkan pengalaman, penelitian yang sampelnya
banyak dan secara geografis berbeda domisilinya, bisa memakan waktu sekitar enam
bulan .
3. Interview bias. Walau telah dilakukan tatap muka, namun kesalahan bertanya dan
juga kesalahan mentafsirkan jawaban, masih bisa terjadi. Sering terjadi atribut (jenis
kelamin, etnik, status sosial, jabatan, usia, pakaian, penampilan fisik, dsb) responden
dan juga pewawancara mempengaruhi jawaban.
4. Inconvenience.. Karena kesibukan atau alasan lainnya, tidak sedikit responden mau
diwawancarai. Namjun, karena sudah janji, responden tetap mau menjawab
pertanyaan walau dalam kondisi tertekan, sakit, atau mengalami gangguan lainnya.
Dan hal tersebut berpengaruh pada kualitas jawaban Berdasarkan banyak penelitian
di bidang manajemen sumber daya manusia, pimpinan perusahaan lebih sering
melarang peneliti mewawancari pegawainya. Kalau wawancara dilakukan di rumah
juga sama. Mungkin mereka tidak punya waktu atau bisa juga karena mereka takut
didatangi oleh orang asing.
5. Less anonymity. Dibanding melalui kuesioner, melalui wawancara responden sulit
menyembunyikan identitas dirinya . Artinya pewawancara bisa dipandang
mempunyai potensi yang bisa mengancam dirinya, sehingga jawaban harus
dilakukan secara ekstra hati-hati. Apalagi jika jawabannya direkam melalui pita
perekam.
6. Less standardized question wording. Pertanyaan sering kali kurang baku. Responden
yang berbeda bisa ditanyakan dengan kalimat yang berbeda bahkan isinya berbeda
pula. Fleksibilitas ternyata bisa merupakan kekuatan namun dapat pula merupakan
kelemahan tenik wawancara.
Jenis-jenis kuesioner
Pertama adalah kuesioner yang diisi sendiri (personnaly administered questionnaire) oleh peneliti
atau anggota tim penelitian (pencacah), dan kedia adalah kuesioner yang dikirim (mailed
questionnaire) oleh peneliti kepada responden, dan responden mengisi sendiri kuesioner tersebut.
Jenis kuesioner pertama dapat dengan baik dilakukan jika penelti atau pencacah mempunyai
waktu cukup untuk menuliskan jawaban responden pada kuesioner. Responden membacakan isi
kuesioner, responden menjawabnya. Jika responden kurang mengerti isi kuesioner, dapat segera
dijelaskan. Peneliti juga dapat mendorong responden untuk mau menjawab dengan benar dan
jujur. Jika respondennya banyak, sebaiknya tenaga pencacah diperbanyak. Jika sedikit, peneliti
sendiri yang bisa menjadi pencacah. Gunakan pinsil untuk mengisi jawaban responden.
Mail questionnaire diedarkan manakala responden secara tempat tinggalnya geografis jauh
dengan peneliti, atau untuk melakukan “personnaly administered” tidak dimungkinkan. Misalnya
penelitian terhadap karyawan di tempat kerjanya. Kuesioner di bagikan dan jawabannya diambil
lain waktu. Kelemahan umum kuesioner jenis ini adalah jumlah yang kembali hampir selalu
lebih sedikit daripada jumlah yang diedarkan. Jika terlalu banyak yang tidak kembali, akbibatnya
akan mengganggu hasil penelitian.