You are on page 1of 38

STUDI BIOFARMASETIK OBAT YANG

DIBERIKAN MELALUI PARU

Kelas :B
Nama Anggota :
1. Rini Purwaningsih (2007210177)
2. Risma Desriani (2007210179)
3. Riyanie S. (2007210181)
4. Rosa Laila (2007210188)
5. Sera Medya (2007210196)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
2010
Aerosol digunakan untuk memasukan obat ke dalam alveolus pulmonary melalui saluran napas
bagian atas tanpa disertai hambatan yang berarti saat melewati saluran napas. (1) Bentuk sediaan
aerosol telah dikenal dan digunakan sejak beberapa abad yang telah lalu. Dahulu, baik farmasis
maupun dokter menggunakan istilah pengasapan (furnigasi), penghirupan (inhalasi) dan rokok
obat untuk sediaan aerosol. Selama bertahun-tahun penggunaan aerosol hanya didasarkan atas
data empiric dan hal itulah yang menimbulkan berbagai keraguan para dokter.

Seiring dengan meningkatnya pencemaran udara, para ahli kesehatan menyadari perlunya suatu
bentuk terapi spesifik melalui saluran napas. Hal tersebut melahirkan suatu generasi baru dalam
pengobatan yang disebut dengan “aerosol” (aer= udara dan sol= larutan, jadiaerosol merupakan
larutan dalam udara).

Kini istilah aerosol lebih dikenal dengan pengertian kabut yang dibentuk oleh partikel-partikel
padat atau cairan yang terdispersi dalam udara atau dalam gas, dan partikeltersebut cukup halus
hingga tetap tersuspensi dalam waktu singkat. Definisi sederhana tersebut menimbulkan
beberapa kesulitan dalam evaluasi biofarmasetika dari sediaan aerosol.

Seperti diketahui, saluran napas merupakan satu-satunya organ tubuh yang berhubungan
langsung dengan lingkungan luar dan lingkungan dalam tubuh. Oleh sebab itulah saluran napas
dapat dan harus mempunyai system pertahanan terhadap pengaruh luar, termasuk obat. Jika
senyawa yang terhirup tidak atau kurang bersih, maka senyawa kan tertahan dan selanjutnya bila
senyawa tersebut toksik maka akan timbul efek patogenik atau bila senyawa tersebut merupakan
bahan obat, akan timbul efek setempat dan jika senyawa memasuki peredaran darah maka
selanjutnya akan memberikan efek sisitemik.

Keuntungan dari pemberian oabat melalui saluran napas adalah terhindarnya obat dari pengaruh
cairan lambung uyang kadang dapat menyebabkan perurain bahan aktif yang peka dan untuk
obat yang khusus bekerja pada saluran napas maka oabat dapat bekerja langsung.

Bahkan senyawa-senyawa tertentu yang diberikan lewat saluran napas dapt memasuki system
perderan darah dengan sangat cepat, sehingga kadang-kadang aerosol memberikan kesetaraan
yang sama dengan bila bahan tersebut diberikan secara injeksi intravena.
I. ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN NAPAS

I.I ANATOMI

Sebagian pintu masuk saluran napas adalah hidung dan mulut.Saluran napas dapat berbagi
dalam dua daerah yang berbeda yaitu daerah konduksi dan daerah pertukaran.

I.I.I Daerah Konduksi

Daerah konduksi merupakan saluran uadar dari trakea sampai bronchioles terminalis, yang
berperan pada transfer gas ke daerah pertukaran. Daimeter bronkus akan menciut kea rah
distal dan selanjutnya secara berurutan terbagi atas:

• Bronkus besar yang bergabung dua yaitu segmentum extrapulmonari dan berdiameter
lebih dari 1,5 cm.
• Bronkus distribusi, berdiameter antara 1,5-0,5 cm.

• Bronkus interlobular, berdiameter anatar 5 dan 1,5 mm yang terakhir pada bronkus
sub-lobulairdi pusat lobuler.

I.I.2 Daerah pertukaran

Daerah pertukaran secara anatomis berhubungan dengan struktur acinus pulmonalis yang
sebagian atau seluruh strukturnya beraveoli. Daerah pertukaran tersebut berupa kanal-kanal
(bronkiolus respiratorius BR1, BR2, BR3 dan kantong alveolar SA). Sesuai dengan namanya,
struktur tersebut bertugas melaksanakan pertukaran udara antara alveolus dan pembuluh
darah.

I.2 FISIOLOGI

I.2.I. Daerah konduksi

1.2.1.1. Hidung

Hidung menjamin proses pelembaban, penyaringan, dan penghirupan udara. Lubang hidung
berhubungan dengan nasopharynx dan dibatasi oleh membrane mukosa.Pada jalan masuk
epitelnya tebal, berlapis-lapis dan mengandung kelenjar sebaseus dan bulu-bulu yang keras.
Pada pusat lubang terdapat epitel yang menyerupai kanal bertumpuk rambut getar ( silia) dan
sel-sel goblet.Struktur yang berbeda ini sangat penting untuk pertahanan saluran napas: bulu
dan epitel rambut getar berfungsi menyaring partikel-partikel yang masuk kedalam hidung
sedangkan mukosa kan menahan partikel-partikel tersebut melalui tumbukan atau
pengendapan sehingga alveolus selalu berada dalm keadaan steril. Penolakan cemaran yang
dilakukan oleh gerakan hidung terjadi spontan dengan kecepatan 7 mm/detik atau dengan cara
bersin, pembuangan ingus atau dengan penelanan, dan hal tersebut dapat diperburuk oleh
adanya kongesti mukosa,

misalnya akibat reaksi alergi.Udara yang dihirup dipengaruhi oleh perpindahan panas dan uap
air. Pada hidung bagian superior yang menyempit dan peranannya didukung oleh adanya
pengaliran darah yang cukup. Sementara itu pada keadaan yang kuarang menguntungkan ,
misalnya cuaca yang dingin atau kering terjadi dehidrasi pada saluran napas.

1.2.1.2. Mulut
Mulut merupakan tempat persimpangan pharyngolarynx dan merupakan jalur kedua yang
digunakan untuk proses penghirupan. Penghirupan melalui mulut mempunyai efek samping
terutama bila udara mengandung partikel, sebab dimulut tidak ada penyaringan partikel-
partikel baik secara tumbukan atau pengendepan.

1.2.1.3. Trakea

Trakea terdiri dari 16 atau 20 cartilago hyaline, yang pada permukaannya terdapat banyak sel
kelenjar dan selanjutnya trakea bercabang dua menjadi bronkus kanan dan kiri.

1.2.1.4. Bronkus

Bronkus tertutup oleh lapisan epitel yang terdiri dari:

• Lapisan mukosa

• Silia (bulu getar)

• Cairan berair yang membasahi silia

• Sel silia yang dipisahkan oleh sel-sel goblet pada mukosa

• Sel basal

• Membrane
Ketebalan tiap bagian tersebut beragam tergantung pada letak, usia, dan keadaan individu.Jika
perlu ditekankan peranan fisiologi saluran napas pada gerakan silia dan pengeluaran getah.

1.2.1.5 Silia

Silia epitel berperan dalam pertahanan saluran napas dan silia tersebut bertugas mengeluarkan
getah bronkus dan cairan alveoler, secara keseluruhan sel epitel menyerupai tangga berjalan atau
permadani mukosilier yang berombak.

Gerakan silia terdiri atas gerakan aplastis yang diikuti dengan gerakan tiba-tiba kemabali ke
posisi tegak lurus sel dan silia memebelok ke permukaan sel. Selanjutnya terjadi gerakan yang
tiba-tiba kembali ke posisi tegak lurus, hal tersebut merupakan denyutan silier yang efektif
sehingga memungkinkan terjadinya penggeseran lapisan suferfisial mukosa yang kental.
Sifat getah yang elastic diperlukan untuk aktivitas silier. Perubahan sifat visko-elastik akan
mengubah sifat aliran, sehingga pengeringan atau pelembaban yang tidak cukup akan
menyebabkan kerja bulu getar menjadi tidak efektif.

Adanya iritasi akibat menghisap temabakan, gas beracun dank arena virus dapat mengganggu
fungsi bulu getar. Pada penderita bronchitis kronis terjadi degenerasi system silia.

Dalam lubang hidung, aksi bulu getar akan menghasilkan gerakan dari depan mundur
kebelakang menuju pharynx pada tracheo-bronchus, perpinadahan dari bronchus menuju
pharynx terjadi secara spiral dan searah jarum jam. Diperkirakan terjadi 600 denyutan per
menitnya.

Proses perpindahan berlangsung dengan cepat, misalnya debu memerlukan waktu 10-30 menit
untuk pindah dari alveolus ke larynx. Sementara itu, pembersihan dalam trakea dan saluran besar
bronkus memerlukan waktu 3-4 jam dan pada saluran napas yang lebih dalam memerlukan
waktu 30 jam. Gerakan silia tersebut sangat peka terhadap suhu dan ph.

Gerakan lapisan silia juga menyebabkan pengeluaran secret normal. Aliran udara pernapasan
juga merupakan pernapasan juga merupakan gerakan untuk pengeluaran.Mekanisme ini terjadi
tanpa disadari dan hal ini terlibat dari adanya gerakan pada kerongkongan, pengeluaran udara
napas yang akan mendorong tumpukan mucus untuk dibawa serta ke persimpangan aeropharynx
atau tertelan.

Exspektoran yang baik dapat merupakan penyegar dan ini merupakan dasar latihan pengeluaran
dahak pada program pelatihan napas. Bila mekanisme tersebut tersebut tidak cukup, batuk
merupakan salah satu mekanisme pengeluaran benda asing.

1.2.1.6.Getah bronkus

Pada subyek sehat, studi tentang getah bronkus relative tidak memungkinkan.Pada keadaan
normal, setiap lapisan mukosa mengeluarkan 100ml getah. Terdapat banyak factor (termasuk
iritasi karena pengambilan cuplikan pada endoskopi) yang dapat menyebabkan timbulnya
hipersekresi bronkus.

Secara anatomic sumber getah bronkus adalah kelenjar bronkus yang terdapat pada trakea dan
bronkus besar. Disini terdapat sel-sel mucus yang tegang dan menggelembung serta sel serosa
yang lebih kecil dan mengandung bentukan golgi yang berisi banyak granul getah (sel serosa).

Pengeluaran getah oleh kelenjar bronkus terjadi bila ada rangsangan vague akibat reflex akson
(antara epitel dan kelenjar sub-junction),dan sel-sel goblet akan mengeluarkan getah bila terjadi
iritasi langsung.

1.3 VASKULARISASI DAN INVERVASI PARU

1.3.1. Vaskularisasi

Pada jalan masuk lobule, aeteriol paru terbagi menjadi 2 sesuai dengan
percabangan bronkus. Percabangan tersebut semakin lama semakin menyatu
dengan jaringan kapiler pada permukaan dinding alveoli. Jaringan tersebut terdiri
dari 200 – 300 unit (dengan luas permukaan 60 – 80 m2, mengandung 100 – 200 ml
darah), berperan pada transport senyawa untuk menerobos sawar sangat besar
karena pelarutannya yang sempurna. Waktu-lewat darah dalam jaringan ini hanya
beberapa detik dan peredaran balik terjadi di lobule perifer.

Vaskularisasi getah bening sering dengan arteriole intralobulairis, tetapi tidak


sampai ke dinding alveoli. Vaskularisasi terdiri dari 2 jaringan sub-pleural dan intra
parenkimatik, satelit arteri pulmonalis dan bronkhus sampai ke kanal alveoli.

1.3.2. Persarafan

Persarafan dalam paru meliputi :

- Serabut-serabut saraf simpatik dan parasimpatik menuju otot polos dari


pembuluh darah dan bronkus seperti kelenjar bronkus;

- Serabut-serabut saraf afferent, terutama peka pada permukaan selaput dada


dan bronkus.

1.4. KELAINAN DAN KERUSAKAN SALURAN NAFAS

Banyak senyawa sintetis atau senyawa metabolit normal yang mempunyai


pernapasan aksi tertentu pada paru (terutama senyawa amina).
Telah dibuktikan bahwa beberapa hal yang mempengaruhi pernapasan dapat
mengganggu anatomi dan fisiologi paru, sehingga menyebabkan terjadinya
perubahan aktivitas obat dalam sediaan aerosol. Obat-obat tersebut misalnya yang
digunakan dalam pengobatan mikroba, tuberkulosa, kanker, tumor, penyakit
obstruktif, alergi, dan lain-lain.

2. DEFINISI DAN SIFAT SEDIAAN AEROSOL

Seperti yang tercantum dalam Farmakope Perancis edisi IX, aerosol merupakan
disperse butiran cairan yang sangat halus di dalam udara dan berdiameter rata-rata
5 µm.

Terdapat pula aerosol alami, misalnya awan atmosfer yang berdiameter partikelnya
0,2-15 µm.

Aerosol larutan obat diperoleh dengan disperse mekanik menggunakan alat


generator yang terdiri dari elemen-elemen :

- Sumber gas (kompresor atau gas mampat);

- Generator pendispersi larutan dalam gas dan alat pencegah pembentukan


partikel yang sangat voluminous;

- Pemanas untuk memberikan keadaan isotherm pada partikel, partikel karena


pelepasan gas dapat menyebabkan pendinginan sebagian.

Terdapat 2 jenis alat pendispersi sediaan yaitu: alat aerosol klinis (dalam
farmakope disebut aerosol obat), dan alat yang berisi gas pendorong atau
pseudoaerosol atau yang disebut juga bentuk sediaan farmasetik bertekanan.

Walaupun kedua jenis alat tersebut mempunyai elemen-elemen yang sejenis,


namun disperse yang dihasilkan mempunyai sifat fidiko-kimia dan efektivitas klinis
yang berbeda.

Ditinjau dari sudut sistemnya,aerosol merupakan seuatu system disperse yang


terdiri dari 2 fase, yaitu:

- Fase pendispersi (fase penyebar), berupa campuran udara dan gas.

- Fase terdispersi (fase yang tersebat), umumnya berupa larutan dalam air dan
kadang-kadang berupa serbuk, walau tidak tercantum dalam Farmakope.

Seperti pada semua system dispersi, sediaan aerosol harus stabil, partikel-partikel
tidak boleh membasahi dinding dan tidak boleh melarut secara tak beraturan dalam
cairan pendukungnya.

Stabilitas sediaan aerosol dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu:


- Muatan partikel : tiap partikel aerosol memiliki muatan listrik yang bertanda
sama, dengan demikian partikel-partikel tersebut akan saling tolak menolak;

- Kehalusan partikel : aerosol harus berbentuk kabut halus yang kering dan
memiliki gerak brown;

- Penyebaran ukuran partikel;

- Perbandingan bobot jenis gas/cairan.

Terdapat dua tipe aerosol yaitu:

- Aerosol sejati atau aerosol monodispersi, terdiri dari partikel-partikel yang


sangat halus, berdiameter sekitar 1 µm, dengan penyebaran ukuran partikel
yang merata. Karena adanya gerak Brown maka aerosol jenis monodispersi
sangat homogen. Jumlah zat aktif yang terkandung dalam aerosol tersebut
sangat kecil untuk dapat memberikan egek sistemik setelah penyerapan
melalui paru, tetapi karena penyebaran dan penebusan partikel segera
terjadi maka efek pada organ yang bersangkutan segera terjadi.

- Aerosol polidispersi, terdiri dari partikel-partikel dengan ukuran yang lebih


besar dan beragam. Aerosol tipe ini lebih kurang stabil karena partikelnya
berat dank arena fenomena koalesen antara partikel-partikel kecil dengan
yang besar. Penebusan dan penahanan partikel ini hanya terjadi pada
saluran napas bagian atas, dan dalam hal ini jumlah pembawa zat aktif
sangat berpengaruh, dan setelah terjadi penyerapan setempat maka obat
dapat memberikan efek sistemik.

Aerosol sejati dilengkapi dengan alat penyemprot klinis, sedangkan aerosol


polidispersi dikemas dalam wadah gelas dengan bahan pendorong gas.

3. EVALUASI BIOFARMASETIK SEDIAAN AEROSOL

3.1 PERJALANAN AEROSOL DALAM TUBUH

Dengan alat penyemprot, partikel-partikel aerosol akan menempuh jalur tertentu


yang berbeda dengan jalur perjalanan zat aktif yang diberikan dengan cara lainnya
dan jalur tersbut tergantung pada cara pemberian aerosol (partikel yang dihirup).
Zat aktif akan bergerak menuju tempat aksi (bersama dengan aliran udara yang
dihirup), dan beraksi selama ada kontak (kadang sangat terbatas) dan dengan dosis
yang umumnya sangat kecil.

Oleh sebab itu penelitian sediaan aerosol terdiri atas 2 jenis yaitu: penelitian
pertama berkaitan dengan perjalanan partikel-partikel dari alat generator sampai
tempat fiksasi di dalam saluran napas (dengan kemungkinan kembali ke lingkungan
luar), dan penelitian kedua meneliti transfer zat aktif yang terkandung dalam
partikel aerosol sejak dari tempat depo sampai dikeluarkan dari tubuh.

Keseluruhan proses ersebut dirangkuam dalam diagram berikut yang dikutip dari
Gormann.

Jalur perjalanan Perjalanan partikel aerosol Keadaan zat aktif

K1
K2p
Hancur di udara atmofer dan
Aktivitas
di dalam alat
setempat
K2
K3p K3D
Depo di dalam mulut dan
dalam hidung

K3
K4p K4D Aktivitas
Depo setelah terjadi tumbukan setempat setelah
dan pengendapan penyerapan
K4 setempat
K5D
K5p
Depo setelah terjadi tumbukan
dan pengendapan
K5
K6D Perlintasan di
K6p Pembersihan
Depo di dalam alveoli saluran cerna
mukosilia atau getah
bening
K6 K7
K8D
Aktivitas setempat di
daerah alveoli
K87
K9D
Aktivitas di dinding
kapiler
K9
K10D
Aktivitas Sistemik

Kolom pertama menunjukkan jalur utama yang dilewati partikel setelah


penghirupan. Tetapan K1 sampai K5 menyatakan kecepatan dan jumlah partikel
yang melewati permukaan atau komparteman paru. Tetapan K7 sampai K9 lebih
mencerminkan jalur perpindahan zat aktif yang terlarut daripada perpindahan
partikel itu sendiri. Tetapan K6 menyatakan jumlah partikel tersuspensi yang tidak
tertinggal dalam alveoli dan dikeluarkan melalui hembusan udara ekspirasi.
Amplitude nilai ini tercermin pada tetapan bolak-balik K5, K4, K3. Sedangkan jumlah
partikel yang tertahan di saluran napas dinyatakan dalam tetapan depa K5p, K4p, dan
K3p.
Kolom kedua menggambarkan berbagai kemungkinan jalur perjalanan yang
ditempuh oleh partikel aerosol. Tetapan K2p dampai K6p menyatakan jumlah zat aktif
yang mengendap di permukaan kompartemen tertentu.

Kolom ketiga menyatakan keadaan zat aktif yang terkandung dalam partikel dan ini
dinyatakan oleh tetapan KD.

Perjalanan sediaan aerosol yang panjang tersebut dapat diringkas menjadi 4 tahap
yaitu:

- Transit atau penghirupan

- Penangkapan atau depo

- Penahanan dan pembersihan

- Penyerapan

3.1.1. Penghirupan dan Perpindahan

Aerosol memulai perjalanan dari alat generator sampai titik fiksasinya di epitel
pernafasan. Tetesan aerosol mula-mula mencapai cavum bucallis, kemudian
menuju trakea, bronkus, bronkiolus, kanal alveoli dan akhirnya ke alveoli paru.
Factor-faktor yang mempengaruhi perpindahan partikel adalah ukuran partikel,
pernafasan dan laju pengaliran udara, jenis aliran, kelembaban, suhu dan tekanan.

3.1.1.1. Ukuran partikel

Skema di bawah ini menunjukkan jalur penembusan partikel pada berbagai tahap
yang berbeda di percabangan saluran napas berdasarkan ukuran partikel.
Partikel-partikel yang ukurannya lebih kecil dari 1,2 µm tidak mengalami hambatan
di dalam saluran bronkus, dan yang berdiameter kurang dari 0,2 µm dapat
mencapai daerah alveoli.

Partikel-partikel yang memiliki koefisien difusi rendah dan yang keterendapan


gravitasinya rendah akan mengikuri perjalanan udara pensuspensinya. Partikel
semacam ini dapat menembus bagian paru yang lebih dalam dan penembusan ini
tergantung pada volume udara yang beredar. Tetapi tidak pada setiap inspirasi
partikel tersebut dapat mencapai alveoli yang lebih jauh dan hal itu dijelaskan
dengan mekanisme difusi yang mengatur pertukaran antara udara inspirasi dan
udara residu dalam di paru. Partikel yang mempunyai koefisien difusi rendah
mampu menembus paru sampai daerah volume edar yang mnengalir dan volume
kumulasi lairan udaranya sama.

Dalam satu inspirasi tunggal, alveoli yang terletak setelah daerah tersebut (dimana
volume udara yang mengalir dan volume kumulasi aliran udaranya sama) tidak
menerima satu partikel pun, selain itu volume udara yang dihirup dan dihembuskan
selama 1 daur pernapasan tidaklah sama. Altshuler dkk. membuktikan bahwa
sekitar 25 % volume udara yang dihirup dipindahkan ke udara intrapulmoner dalam
satu daur pernapasan, dan udara intrapulmoner dalam jumlah yang sama
dipindahkan ke volume edar untuk mencapai tempat tujuan. Pada akhir satu daur
pernapasan sederhana, udara intrapulmoner akan terisi lagi oleh sejumlah partikel-
partikel yang sudah masuk selama inspirasi sebelumnya. Pada inspirasi berikutnya,
partikel memasuki bagian paru yang lebih dalam dan selama repirasi stabil, partikel
tersebut akan menembus sampai alveoli yang paling jauh dan ditimbun secara
difusi. Di dalam paru, partikel-partikel tersebut tidak sepenuhnya mengikuti aliran
gas dan sejumlah senyawa berkurang karena terjadi penimbunan di eprmukaan
paru dan jarang ada konsentrasi yang sama di setiap permukaan unit paru terminal.

3.1.1.2. Cara pernapasan dan laju pengaliran udara

Pernapasan normal terjadi antara 12-15 daur per menit dan volume udara inspirasi
dan ekspirasi adalah sekitar 500 ml dengan laju pengaliran 22-25 liter/menit.
Peningkatan laju inspirasi dapat membawa serta partikel-partikel berukuran besar
ke dalam alveoli pulmoner yang secara normal telah dihentikan dalam saluran
napas bagian atas, dan hal itu terjadi akibat perubahan turbulensi arus dan gerak
partikel. Sebaliknya perlambatan ritme napas akan memperbesar waktu tinggal
partikel dan akibatnya terjadi peningkatan retensi aerosol.

3.1.1.3. Aliran gas : laminar atau turbulen

Aliran gas yang melalui saluran napas mungkin berbentuk laminar atau turbulen.
Aliran laminar dari suatu cairan dalam tabung berdiameter kecil dapat dinyatakan
dengan persamaan hokum POISEUILLE yaitu:

Pada persamaan ini, t merupakan waktu (detik) yang diperlukan sejumlah volume V
(ml) dengan kekentalan cairan η (pada Po) untuk mengalir melalui tabung yang
panjangnya 1 (cm), jari-jari r (cm) dan dengan tekanan P (dyne.cm-2).

Jika ukuran tabung dianggap tetap maka laju pengaliran cairan akan berbanding
lurus dengan kekentala. Pada keadaan aliran laminar, semua cairan bergerak
seperti gerakan piston dalam silinder. Dengan laju pengaliran yang sedang,
partikel-partikel aerosol dalam aliran laminar dikendalikan dengan mengatur laju
pengaliran dan mengurangi pengendapan partikel.

Jika cairan diberi gaya yang cukup untuk melewati saluran yang penuh dengan
kelokan dan rintangan, maka aliran laminar akan berubah menjadi aliran turbulen,
cairan akan berputar, dan arah gerakan molekuler akan selalu berubah. Dalam
silinder terpisah, aliran cairan merupakan fungsi dari bilangan Reynolds seperti
pada persamaan berikut ini :

d adalah diameter tabung (cm), v laju pengaliran (cm/detik)

bobot jenis (g/cm-3) dan η kekentalan (cm2/detik).


Jika harga bilangan Reynold lebih dari 2000, maka aliran bersifat turbulen. Mead
menyatakan bahwa bilangan Reynold selama respirasi tenang (v = 0,33 l/detik)
ternyata lebih rendah dari 2000 pada sebagian besar permukaan saluran. Selama
pernapasan degang atau denga kekuatan ( v = 3,3 l/detik), bilangan Reynolds lebih
dari 2000 dalam lubang hidung, pharynx, glotis, trakea dan sebagian besar
bronkus, tapi tidak dalam bronkiolus. Untuk melewati dareah ini, aliran udara harus
bersifat turbulen, dan pada kondisi ini bobot jeins sediaan lebih berpengaruh
dibandingkan kekentalannya. Suatu turbulensi yang kuat akan memperlambat
pengaliran gas baik di bagian dalam maupun bagian luar paru, dengan demikian
terjadi penimbunan partikel yang lebih dini di dalam saluran napas bagian atas.
Turbulensi pada percabangan bronkus tidak sama dengan turbulensi dalam saluran
napas (dapat berisi mucus, eksudat, tumor bahan asing), pada bagian penutup
glottis dapat terjadi suatu kombinasi aliran laminar dan turbulen. Sebaliknya
dimungkinkan meningkatkan penembusan aerosol untuk mengurangi keadaan
turbulansi yaitu dengan melakuakn irama pernapasan yang perlahan.

3.1.1.4. Kelembaban

Udara di bagian paru yang lebih dalam umumnya mengandung air sejumlah 44
g/m3. Udara atau aerosol dalam paru memiliki derajat kelembaban yang setara
dengan kejenuhan pada suhu tubuh. Udara ekspirasi normal pada 32°C mempunyai
kejenuhan air (34 g/m3). Aerosol mengandung kurang dari 44 g/m3 air dan jumlah
ini akan bertambah saat penghirupan dan akan menguap sesampainya di mukosa
hingga tercapati keseimbangan. Alat aerosol pada umumnya, kecuali nebulizer
ultrason, akan membawa partikel-partikel yang kadar airnya kurang dari 30 g/m3,
partikel selanjutnya akan menyerap air dalam jumlah yang dipengaruhi oleh suhu,
kelembaban akan menyerap air dalam jumlah yang dipengaruhi oleh suhu,
kelembaban relative dan sifat senyawa. Sejumlah persamaan dibuat untuk
menerangkan pertumbuhan partikel sebagai fungsi dari kelembaban dan dari
persamaan tersebut terlihat bahwa peningkatan partikel secara maksimal terjadi
pada senyawa dengan bobot molekul dan bobot jenis yang kecil.
Partikel-partikel yang berdiameter lebih kecil dari 0,2 µm dapat melintasi trakea
lebih cepat disbanding partikel-partikel berdiameter 0,5 – 0,8 µm. Porstendorfer
mengamati pengaruh perubahan ukuran partikel aerosol pada 20-22°C dan dengan
suatu kelembaban relative antara 40-100%. Hasil penelitian membuktikan bahwa
aerosol dengan partikel yang tidak larut (SiO2 misalnya) tidak dipengaruhi oleh
kelembaban, sedangkan aerosol dengan partikel yang sedikit larut (lateks atau asap
rokok) diameternya dapat membesar menjadi 1,35-1,55 kali, dan aerosol yang larut
(NaCl) diameternya membesar 3-7 kali.

3.1.1.5. Suhu

Dalam suatu system yang dapat mengalami perubahan suhu, maka partikel akan
bergerak dari bagian yang lebih panas ke bagian yang dingin. Gerakan tersebut
berbanding lurus dengan perubahan suhu dan diameter partikel; bila system
memiliki amplitude yang lemah, maka dalam waktu singkat partikel tidak dapat
terhirup karena suhu paru lebih panas dibanfingkan suhu aerosol.

Bahasan yang terakhir ini adalah penting karena aerosol yang dihirup pada suhu
lebih rendah dibandingkan suhu tubuh maka terlebih dahulu partikel harus
dipanaskan dan dilembabkan oleh tubuh, degnan akibat makin besarnya ukuran
partikel. Sebaiknya, jika suhu aerosol dihirup pada suhu yang lebih tinggi dibanding
suhu tubuh, maka partikel akan didinginkan dulu dan air yang terkandung akan
terkondensasi pada permukaan epitel.

3.1.1.6. Tekanan

Aliran turbulen atau laminar dari suatu cairan yang melweati saluran napas
tergantung pada tekanan pada setiap bagian saluran yang dilewati aerosol.
Tekanan total pada permukaan trakea sama degnan tekanan atmosfer. Selama
inspirasi tekanan pernapasan maksimal dalam paru turun menjadi 60-100 mm Hg di
bawah tekanan atmosfer hingga menyebabkan masuknya aliran udara atau aerosol.

Penggunaan tekanan buatan, baik positif atau negatif dapat memperbesar


perbedaan tekanan terseubt yang berakibat pada aliran dan penembusan partikel
aerosol. Pemakaian tekanan positif pada bagian alat aerosol dapat memperbesar
perbedaan tekanan inspirasi hingga 4-22 mm Hg. Pada pengamatan yang lebih teliti
yaitu saat pernapasan yang dalam akan terlihat dilatasi bronkus dengan
penembusan udara atau aerosol ke tempat yang secara normal terhalang atau
berkontraksi.

Dengan tujuan yang sama, dimungkinkan menghindari efek tekanan intrapulmoner


dengan memanfaatkan sifat vibrasi suara. Difusi gas atau partikel-partikel yang
sangat halus (lebih kecil daripada 3 µm) dipercepat oleh vibrasi ultrasonic yang
menyusup dalam lintasan, seperti yang ditempatkan pada alat aerosol tertentu
(aerosol manosonik).
Sediaan aerosol dibuat sedemikian rupa agar saat dihirup tidak menyebabkan
perubahan tekanan pada permukaan paru. Semantara itu, terlihat pula adanya efek
setempat tertentu jika gas dihirup sebelum penguapan total dosis yang diberikan.

Seperti yang telah diteliti, banyak factor-faktor yang dapat memperngaruhi


perjalanan partikel, namun yang lebih penting adalah ukuran partikel. Ukuran
partikel dapat dievaluasi dengan berbagai metoda yang diteliti.

3.1.2 Penahanan atau depo

Pada tahap kedua terjadi penahanan atau depo, partikel aerosol ditahan oleh
epitel broncho-alveoli. Hanya sebagian partikel yang diteruskan sebagian lagi
ditolak. Sekali pertikel tertahan, maka zat aktif yang terlarut akan memberikan
efek. Tahap ini merupakan hal yang paling penting ditinjau dari sudut penggunaan
praktis aerosol obat, dan terdapat banyak mekanisme cara penahanan.

3.1.2.1 Cara Penahanan

Mekanisme yang mengatur penahan atau depo partikel pada daerah


konduksi dan daerah pertukaran terdiri dari tiga cara yaitu :

a) Tumbukan karena kelembaman.

Tumbukan karena kelembaman terjadi pada partikel-partikel yang


bergerak,Berdiameter 0,5 – 50 µm dan peka terhadap perubahan arah dan
kecepatan aliran. Dikotomi ( percabangan dua ) yang berurutan dari saluran
napas menyebabkan terjadinya perubahan mendadak dari aliran udara yang
dihirup. Karena kelembaman partikel-partikelnya cenderung mengikuti arah
lintasan semula dan selanjutnya membentur dinding saluran napas.
Tumbukan terutama terjadi di permukaan hidung, pharynx, dan segmen
trakea-bronkus yang banyak percabangannya. Kemungkinan terjadi depo
akibat tumbukan yang dinyatakan oleh persamaan berikut :

Keterangan :

U = Laju pengaliran udara

Ut = Laju partikel

Ѳ = sudut bengkokan bronkus

R = Jari-jari bronkus

g = gaya tarik bumi

b) Pengendapan karena gaya tarik bumi.

Depo yang terjadi karena pengendapan akibat gaya tarik bumi terjadi
pada bagian akhir dari bronkus ( dimana laju pengaliran gas tinggal beberapa
ml sampai satu atau dua cm tiap detik ). Keadaan ini sangata berarti bila
debit antara inspirasi dan ekspirasi menjadi nol.

Proses penahanan bekerja dibawah rangsangan yang merupakan


fungsi dari laju perpindahan pertikel, lamanya melewati saluran dan inklinasi
sudut saluran. Laju pengendapan partikel dapat dihitung melalui persamaan
berikut ini :

Keterangan :

g = gaya tarik bumi

d = diameter partikel

σ = bobot jenis udara

η = kekentalan udara

c) Difusi ( gerakan Brown )

Aerosol dapat dipengaruhi oleh gerak Brown yang ditimbulkan


tumbukan molekul gas dengan partikel yang tersuspensi dalam udara.
Gerakan ini akan mendorong partikel untuk melintasi aliran gas dan hal itu
akan memperbesar deponya.

Fenomena khusus ini terjadi di bronchiolus terminalis dan alveoli


terhadap partikel yang berukuran submikron ( 0,002 – 0,5 µm ). Laju
penahanan atau depo karena difusi yang disebakan oleh gerak Brown
sebanding dengan jumlah pertikel yang trersuspensi dalam udara, luas
permukaan, muatan ion, perubahan suhu dan waktu istirahat antara gerakan-
gerakan pernafasan.

Efektivitas difusi berbanding terbalik dengan ukuran partikel dan


volume penghirupan. Laju penahanan partikel karena difusi mengikuti
persamaan :

1/2

Keterangan :

Δ = laju perpindahan partikel

R = tetapan gas murni

T = suhu mutlak

N = bilangan avogadro
C = faktor pembetulan Cunningham

η = kekentalan udara

d = diameter partikel

3.1.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penahanan partikel

Berbagai cara penahanan partikel dapat dipengaruhi oleh berbagai


faktor yaitu :

A. Faktor anatomi dan fisiologi saluran napas.

Ditinjau dari sudut anatomi, penahanan partikel tersebut berkaitan


dengan ukuran saluran napas yang secara bertahap semakin mengecil,
frekuensi pembagian , jumlah dan besarnya sudut percabangan yang dapat
mempengaruhi depo.

Ditinjau dari sudut fisiologi, perubahan irama pernafasan, kapasitas vital,


volume aliran, atau adanya halangan bronkus merupakan parameter yang
berpengaruh pada pembentukan depo. Jika peningkatan volume disertai
peningkatan irama pernafasan maka depo akan mengecil karena waktu
dipersingkat.

Pentingnya waktu istirahat pada peningkatan depo dalam saluran napas


bagian bawah terlihat secara klinik. Pemberian beberapa bentuk sediaan
farmasetik di saat pernapasan tenang akan menunjukkan efekivitas yang lebi
baik. Selain itu, pernapasan yang perlahan akan meningkatkan secara nyata
waktu istirahat pada saluran napas bagain bawah.

B. Sifat fisiko-kimia partikel

i. Ukuran partikel

Ukuran partikel merupakan faktor yang sangat penting. Pada aerosol monodispersi,
parikel dengan ukuran 1-5 µm dapat menembus dan mengendap dalam alveoli
( dengan ruang maksimum untuk partikel kurang dari 3 µm ). Partikel yang lebih
kecil dari 1 µm tidak akan mengendap dan keluar saat ekspirasi.

Depo karena kelembaman terjadi maksimal pada partikel dengan ukuran tertentu
( kemungkinan 3% untuk partikel dengan ukuran 7 µm, 20% untuk yang berukuran
5 µm, 10% untuk yang berukuran 3 µm dan 1% untuk yang berukuran 1 µm ).

Difusi atau gerak Brown relatif tidak bermakna pada partikel yang berdiameter lebih
dari 1 µm, tapi sangat bermakna untuk partikel yang berdiameter antara 0,002 - 0,1
µm, dimana tidak terjadi depo karena pengendapan. Depo karena difusi akan
meningkat seiring dengan pengecilan ukuran saluran nafas, karenanyajarak tempuh
partikel ke permukaan menurun secara nyata pada permukaan bronkus dan alveoli.

ii. Muatan partikel

Dalam paru tidak terdapat medan listrik, kecuali bila sediaan aerosol bermuatan.
Partikel-partikel kecil yang tidak bermuatan jarang mengendap di permukaan
hidung dan pharynx , namun bila partikel tersebut bermuatan akan menyebabkan
terjadinya depo pada lubang hidung dan hidung.

iii. Bobot jenis partikel

Stabilitas sediaan aerosol berkaitan erat dengan pengaruh bobot jenis terhadap laju
pengendapan. Morrow membuktikan bahwa suatu partikel dengan diameter 0,5 µm
dan bobot jenis 10 gcm-3, memilki laju pengendapan yang sama dengan laju
pengendapan partikel berdiameter 2 µm dan bobot jenis 1g/cm3.

iv. Bobot jenis gas pendorong

Sediaan farmasi bentuk aerosol gas pendorongnya mempunyai bobot jenis tinggi.
Semakin tinggi bobot jenisnya maka semakin nyata pengaruh “ pembawa “ gas
terhadap pertikel yang tersuspensi, dan hal ini mengakibatkan penetrasiyang jauh
ke dalam saluran. Partikel-partikel ini kemudian menjadi pusat kondensasi
kelembaman sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya depo.

3.1.3. Penahanan dan Pembersihan.

Setelah penangkapan zat aktif yang dihirup dari aerosol maka partikel akan
tertahan di permukaan depo. Penangkapan partikel ke dalam mucus diikuti dengan
perjalan menuju saluran napas bagian atas. Pada mekanisme pembersihan paru,
maka peniadaan partikel oleh mukosilia adalh lebih penting.

Mekanisme pembersihan berbeda-beda tergantung pada sistem aerosol yaitu


aerosol yang larut dalam air atau cairan biologis atau aerosol yang tidak laru dalam
air atau cairan biologis.

Dalam mekanisme yang pertama, cara pembersihan yang terjadi dengan


penyerapan oleh mukosa saluran napas. Dalam hal yang kedua cara pembersihan
dinyatakan sebagai fungsi tempat fiksasi : pada saluran napas bagian atas,
pembersihan terjadi lebih awal dan cepat, dan ditampung pada mukosikier. Untuk
aerosol yang tidak larut maka partikel tersimpan dalam saluran napas bagain
bawah, pembersihan terjadi lwbih lambat dan diperpanjang oleh penahanan partikel
dalam waktu yang sangat berbeda-beda sesuai daeranya.

3.1.4 Penyerapan

Sebagian bahan yang dihirup dalam bentuk aerosol akan terikat dalam saluran
napas dan selanjutnya diserap dalam bentuk aerosol yang akan terikat dalam
saluran napas dan selanjutnya diserap oleh mukosa saluran.

3.1.4.1 Penyerapan di hidung

Aerosol yang diberikan melalui hidung sebagian ditahan oleh bulu-bulu hidung dan
mukosa permukaan. Pembersihan pada daerah tersebut terjadi dengan pencucian
mukosa dan penelanan, semua terjadi dengan sangat cepat. Jika zat aktif dapat
diserap maka ia harus dapat terlarut dan terdifusi dengan cepat melintasi selaput
mukosa.

3.1.4.2 Penyerapan di mulut

Sebagian partikel aerosol yang tertinggal di dalam mult dapat tertelan ( dan masuk
ke dalam saluran cerna ), atau diserap melalui bukal setelah terlarut dalam saliva.
Penyerapan zat akitf terjadi dengan difusi dalam bentuk tak terionkan , misalnya
nitrogliserin, testoteron, desoksi-kortikosteron, isoproterenol, alkaloid, yang dapat
diserap dengan baik. Sebalikny, barbiturat, protein bermolekul besar dan heparin
sedikit sekali diserap.

3.1.4.3 Penyerapan di udara

Baik air maupun larutan garam ( saline ) tidak diserap pada daerah trakea demikian
pula beberapa bahan larut lemak seperti barbital, tiopental, striknin, dan kurare.

3.1.4.4 Penyerapan di bronkus

Apabila pada permukaan bronkus banyak terdapat otot polos yang sangat peka
terhadap beberapa senyawa iritab, sehingga dapat menyebabkan aktivitas lokal
bronkodilator. Saat pemberian senyawa vasodilator, bronkus akan mengalami
dilatasi sehingga efek sistemik dapat dihindari.

3.1.4.2. Penyerapan di mulut

Luas permukaan penyerapan pada bagian dalam dari mulut dan pharynx adalah
sekitar 75 cm2. Sebagian partikel aerosol yang tertinggal di dalam mulut dapat
tertelan (dan masuk ke dalam saluran cerna), atau diserap melalui bukal setelah
terlarut dalam saliva. Mulut yang mempunyai mukosa berciri lipoid, penyerapan zat
aktif terjadi dengan difusi dalam bentuk tak terionkan: misalnya nitrogliserin,
testosterone, desoksi-kortikosteron, isoproterenol, alkaloid dapat diserap dengan
baik. Sebaliknya, barbiturate, protein bermolekul besar (insulin) dan heparin sedikit
sekali diserap.

3.1.4.3. Penyerapan di trakea

Baik air maupun larutan garam (saline) tidak diserap pada daerah trakea, demikian
pula beberapa bahan larut lemak seperti barbital, thiopental, striknin, kurare.

Efek pemberian aerosol suksinilkolin ternyata secara bermakna lebih lambat tetapi
lebih lama dibandingkan penyuntikan intravena; pemberian aerosol larutan
methoxamin 1-2 ml dengan kadar 20 mg/ml menghasilkan efek yang sama
dibandingkan dengan pemberian 1 mg melalui intra-vena. Pemberian penisilina
dengan penetesan pada trakea menghasilkan kadar dalam darah pada daerah
terapetik dua kali lebih lama dibandingkan pemberian intramuskuler dan juga
tampak efek depo. Pembiusan setempat seperti tetrakaina diserap dengan cepat di
trakea dan sedikit diserap di daerah esophagus dan lambung.

3.1.4.4. Penyerapan di bronkus

Sejumlah penelitian tentang fenomena penyerapan di bronkus belum dapat


dikuantifikasi dengan tepat. Hal tersebut disebabkan oleh sukarnya memisahkan
dengan tepat daerah yang diteliti dan sulitnya mencegah di percabangan saluran
napas lainnya (trakea, saluran napas bagian bawah, dll) atau saluran cerna setelah
penelanan.

Apalagi pada permukaan bronkus banyak terdapat otot polos yang sangat peka
terhadap beberapa senyawa iritan, sehingga dapat menyebabkan aktivitas local
bronkodilator. Saat pemberian senyawa vasodilator, btonkus akan mengalami
dilatasi sehingga egek sistemik dapat dihindari.

Hal ini dapat diterangkan bahwa system btonkus-paru memiliki 2 tipe reseptor
adrenergic yaitu reseptor α yang terdapat pada pembuluh darah bronkus dan
reseptor β yang terdapat dalam otot bronkus. Kedua reseptor ini dapat diaktifkan
langsung oleh parasimpatomimetik dan secara tidak langsung oleh pelepasan
katekolamina. Kedua rangsangan tersebut terjadi setiap ada “hambatan” saluran
udara, dengan rangsangan reseptor α akan terjadi vasokonstriksi bronkus dan
dekongesti mukosa bronkus, sedangkan rangsangan β menyebabkan relaksasi otot
polos saluran udara. Obat bronkodilator terutama bekerja terhadap reseptor β,
kecuali epinefrina dan efedrina yang merangsang kedua reseptor tersebut, atau
fenilefrina yang hanya bekerja pada reseptor α.

3.1.4.5. Penyerapan alveoier

Penggunaan aerosol lebih disukai untuk pengobatan setempat di daerah alveoli


namun perlu dipertimbangkan keadaan tempat penyerapan. Kadang-kadang
teramati adanya efek sistemik yang tidak diinginkan dan hal ini justru digunakan
untuk tujuan aktivitas sistemiknya.

Alveoli merupakan suatu tempat penyerapan yang sangat istimewa karena


permukaannya yang luas dan letaknya yang sangat dekat denganjraingan yang
penuh kapiler. Sementara itu tidak mungkin untuk menentukan koefisien
permeabilitas zat aktig karena luar permukaan total dari saluran napas tidak
diketahui secara pasti, jumlah total aliran alveoli dan nilai kedua parameter
tersebut selalu berubah-ubah tergantung subjek.

Mekanisme perlintasan melalui dinding alveoli tidak dapat ditentukan dengan pasti.
Kini telah diketahui dengan baik adalah hal-hal sebagai berikut:

1. Gas bius dan gas pernapasan melintasi sawar alveoli dengan sangat cepat;
2. Air juga dapat melintasi dinding alveoli dengan sangat cepat dan dalam
jumlah besar (hal ini dapat menimbulkan kecelakaan), larutan fisiologi NaCl
diserap sangat perlahan;

3. Membrane alveoli agak permeable terhadap sebagian besar senyawa yang


terlarut. Ion-ion dan molekul kecil yang larut diserap lebih lambat
dibandingkan air. Urea dan kalium diserap lebih baik dibandingkan natrium.

4. Amida dan alkilamina dengan bobot molekul yang besar lewat lebih cepat
dibandingkan dengan senyawa yang bobot molekulnya kecil;

5. Tipe dan laju penyerapan protein kurang diketahui, walau demikian diketahui
bahwa albumin, globulin diserap dengan baik, sedangkan vaksin para-
influenza tipe 2 ternyata lebih efektif jika diberikan dalam bentuk aerosol
daripada pemberian sub-kutan.

6. Aerosol antibiotika juga digunakan untuk tujuan efek sistemik atau efek
setempat (misalnya penisilina). Kanamisina sedikit lebih diserap pada daerah
alveoli, sehingga efeknya sangat terbatas.

7. Perlintasan zat aktif yang terkandung dalam partikel aerosol terjadi dengan
beberapa cara berbeda tergantung pada keadaan tetasan bahan yang
terlarut, partikel terlarut atau tak terlarut.

Senyawa terlarut

Terdapat dua kemungkinan untuk senyawa yang terlarut:

a. Komponen-komponennya dapat berupa ion atau molekul dengan ukuran


tertentu dan penembusan sekat yang terjadi relative spesifik tergantung
pada jalur pertukaran hidrat (tentu saja melweati junctions inter-epitel), atau
karena mekanisme transport aktif atau transport sederhana.

b. Bahan yang dihirup dapat terikat pada komponen surfaktan alveoli. Dalam
hal ini, penembusan interstisiel mencerminkan perubahan molekul di antara
kutub endo-alveoli dan cairan sekitarnya. Suatu contoh adalah senyawa
golongan alkali tanah jarang yang dihirup dalam bentuk aerosol asam,
selanjutnya elemen ini akan berikatan dengan protein surfaktan. Waktu-
tinggal partikel yang larut di dalam alveoli akan lebih singkat dibandingkan
partikel yang tidak larut. Ramalan yang tepat tentang waktu peniadaan
komponen yang ditentukan melalui makrofag alveoli harus dilakuan dalam
waktu kurang dari 1 minggu pada tikus putih. Mekanisme transport ini terjadi
dengan dua cara yaitu melaui saluran getah bening di lobulus perifer atau
lobulus pusat dan melalui jalur septal atau pembuluh darah pada permukaan
alveoli. Mekanisme ini didukung oleh pneumosit I secara mikropinositosis.
Hambatan mekanisme ini dipengaruhi oleh proses “pencucian” alveoli,
aktivitas membrane pneumosit I dan aktivitas pneumosit II.
Partikel yang larut

Partikel yang larut menimbulkan masalah yang sama dalam hal integritas
penyelimutan alveoli yang rusak akibat pelepasan protease makrofag yang
berkaitan dengan daya sitotoksik. Dalam hal kegagalan pembersihan oleh makrofag
dengan integritas pelapisan relative, maka transfer sekat dianggap sebagai
senyawa yang terlarut akibat aksi surfaktan dan perlintasan melalui sel oleh
fenomena pinositosis. Fungsi fagositosis dari pneumositosit dibatasi: bernilai nol
untuk pneumosit II, sedikit untuk pneumosit I yang tampaknya hanya berperan
penting dalam transfer partikel.

Kenyataannya pelarutan partikel menyebabkan perubahan pelapisan sehingga


mempermudah perlintasan saat fungsi epurasi makrofag telah melemah.

Partikel yang tidak larut

Hasil berbagai pengamatan menunjukkan bahwa perjalanan melalui sekat cukup


misterius. Tahap yang sangat tidak jelas adalah tahap perlintasan melalui alveoli
dan bronkiolus. Dua penjelasan yang dapat dikemukakan, yang pertama adalah
terjadinya migrasi seluler (melalui pertukaran septal makrofag alveolar yang dapat
dibuktikan pada spesies tertentu) dan kedua adalah karena penembusan partiekl
“murni”, khususnya melalui lapisan protease. Hipotesa ini didukung oleh
peningkatan transfer interstitial yang ternyata seiring dengan peningkatan
toksisitas dari partikel yang dihirup. Tentunya kedua mekanisme ini tidak
mengesampingkan adanya migrasi seluler yang dipermudah oleh pelarutan pelapis.
Timbulnya toksisitas akan meningkat dengan bertambahnya waktu tinggal dalam
alveoli dan kebolehjadian statistic perlintasan interstitial. Demikian pula debu-debu
yang tidak toksik dapat melintasi interstitial bila terjadi peningkatan muatan dan
menimbulkan retensi alveoli. Sifat lapisan alveoli mempengaruhi transfer ini.
Proliferasi pneumosit II akan menggantukan lapisan pneumosit I yang rusak dan
selanjutnya bersifat sebagai membrane permeable dan pada umumnya disertai
dengan penebalan interstitial, disini seharusnya terjadi perjalanan seluler. Kondisi
tersebut hanya terjadi bila terdapat kerusakan pada kanal alveoli. Dari pengamatan
ini perlu diperhatikan factor-faktor penting yang berpengaruh pada epurasi
interstitial yang berhubungan dengan sitogenesis pneumosit I dan pneumosit II,
serta kemungkinan perbaikan membrane. Fenomena ini dapat terjadi baik pada
keadaan fisiologik atau patologik.

Perlu dipahami semua hipotesa tentang transfer partikel interstitial yang


mekanismenya berkaitan dengan 3 hal yang masih dapat berubah:

1. Proses elaborasi, komposisi dan peremajaan surfaktan;

2. Keadaan peremajaan sel epitel alveoli;

3. Sitogenesis komponen.
Keseluruhan proses pertukaran transmukosal-cairan yang sangat kompleks dapat
disederhanakan dalam skema berikut ini.

3.1.4.6. Penyerapan di saluran cerna

Partikel yang berhenti di permukaan hidung atau mulut cenderung menembus ke


dalam saluran cerna setelah penelanan pertama atau penelanan kedua pada tahap
epurasi paru.

Penyerapan ini terutama penting untuk aerosol tanpa air. Senyawa tertentu
[isoproterenol atau kromoglikat] akan dimetabolisme dan ditiadakan dengan cara
yang sama, baik bila disemprotkan atau ditelan. Hal ini memperlihatkan pentingnya
penelanan partikel. Sebaliknya penyerapan isoproterenol melaui trakea lebih
bermakna dibandingkan penyerapan melalui saluran cerna.

Terkadang sulit diramalkan jumlah total yang diserap melaui saluran cerna setelah
pemakaian aerosol, dan sulit meniadakan kemungkinan adanya penyerapan melalui
saluran cerna. Tergantung pada tempat penyerapan, diameter partikel aerosol
sangat berperan pada proses penyerapan tersebut.
Untuk memberikan aktivitas pengobatan yang sama, dosis zat katif dalam aerosol
kecil sekali dibandingkan dosis dalam bentuk sediaan lainnya. Perbedaan ini sangat
jelas pada aerosol murni.

Dautrebande membuktikan bahwa aerosol murni dengan partikel yang sangat


halus dapat mengangkut bahan obat 30 – 40 kali lebih banyak daripada aerosol
polidispersi, dan hanya sejumlah kecil yang dapat menimbulkan efek sitemik
setelah perlintasan melalui paru. Sebaliknya, efek pengobatan pada permukaan
yang ditimbulkan oleh aerosol murni adalah 5 kali lebih kecil dibandingkan aerosol
larutan dengan volume 10 lebih besar.

Aerosol monodispersi yang partikelnya berukuran micrometer, memberikan aksi


pada permukaan paru yang lebih dalam; aerosol polidispersi dapat menyebabkan
aksi setempat dan aksi sistemik pada tubuh. Hal ini telah dibuktikan pada
percobaan dari Dautrebande.

Subyek yang menghirup aerosol murni lalu aerosol polidispersi yang masing-masing
mengandung campuran simpatomimetik secara bergantian dalam jumlah
pernapasan yang sama, maka cukup dengan beberapa hidupan aerosol murni dapat
segera menghasilkan bronkodilatasi dan segera mencapai efek maksimal tanpa
disertai perubahan tekanan arteri atau irama jantung. Sebaliknya volume yang
sama dari aerosol polidispers memberikan suatu manifestasi kardiovaskuler yang
nyata dengan intensitas, sebanding dengan volume yang dihirup, dengan jumlah
bahan yang diserap oleh mukosa saluran napas.

Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan aerosol murni dimungkinkan untuk


mempelajari paru hewan atau manusia secara in situ seperti pada organ terpisah.

3.2 EVALUASI KETERSEDIAA HAYATI

Dengan memperhatikan definisi ketersediaanhayati, maka segera disadari bahwa


untuk sediaan aerosol definisi tersebut belum jelas.

Mungkinkah dibahas ketersediaanhayati mutlak, atau penyerapan mutlak suatu


sediaan farmasi yang suatu ketika menunjukkan efek sistemik setelah melewati
peredaran darah dan di saat lain berefek setempat pada tempat ia sampai dan
partikelnya di depo.

Pada aerosol dengan efek sistemik, adalah mungkin untuk memprakirakan aktivitas
farmakologik atau terapetik, atau menentukan kadar obat dalam darah dan
membandingkannya dengan kadar yang didapat dari cara pemberian intravena
atau jika mungkin cara pemberian lainnnya.

Tetapi pada aerosol dengan efek setempat masalah ayng kedua di mana ukuran
partikel sangat memperngaruhi kerja obat pada permukaan alveoli atau bronchioles
terminalis maka tidak mungkin untuk memberikan suatu keputusan (sebgaimana
jika zat aktif tidak dapat melewati dinding alveoli).

Mengenai hipotesa kedua ini, sangat diperlukan atau bahkan suatu keharusan,
untuk melaksanakan studi ketersediaanhayati relative dengan membandingkan
berbagai formulasi yang berbeda untuk memilih formula yang lebih aktif secara
setempat, efeknya lebih lama, lebih spesifik, lebih cepat sebagai fungsi dari ukuran
partikel yang harus sehomogen mungkin.

Sebelum melakukan penilaian yang tepat tentang ketersediaanhayati sediaan


aerosol, perlu diketahui dengan pasti beberapa parameter zat aktif yaitu:

1. Stabilitas fisiko-kimia dan stabilitas terapetik dari partikel aerosol yang halus.

2. Daerah depo dan perannya untuk menghasilkan efek terapetik yang sesuai
dan terukur.

3. Laju penyerapan, metabolism dan atau pembersihan untuk menghindari efek


sekunder.

4. Pengaruh bahan tambahan dalam sediaan terhadap partikel.

Sebelumnya perlu diketahui beberapa hal yang mempengaruhi penilainan hasil


penelitian:

- Percobaan pada hewan atau manusia dapat mengganggu fungsi pernapasan


normal, dan mungkin memberikan resiko perubahan data.

- Metoda pembuatan aerosol, waktu-kontak dan teknik deteksi partikel yang


diekspirasi merupakan factor-faktor yang kritis, yang besar pengaruhnya
pada percobaan. Selanjutnya, jika hasil tidak sesuai dengan pustaka, maka
hal tersebut juga dapat disebabkan oleh factor-faktor tersebut dibandingkan
factor lainnya yang berbeda dan telah ditetapkan.

- Ukuran partikel harus sehomogen mungkin, teknik pengukuran harus jelas


dan cepat dalam hal ini berkaitan dengan metodologi penelitian.

- Selain ukuran partikel, sifat-sifat fisiko-kimia zat aktif seperti


kehigroskopisan, walaupun generator aerosol dapat membuat partikel yang
sangat halus namun akan sia-sia bila terjadi peningkatan ukuran partikel
selam perjalanan di dalam saluran.

- Pemahaman irama pernapasan manusia atau hewan dan elemen-elemen


yang terkait.

3.2.1. Jaringan Organ Terpisah


Efek sediaan aerosol telah dipelajari pada berbagai jaringan dan organ terpisah dari
saluran napas:

- Sel-sel jaringan paru terpisah, dalam keadaan sehat atau sakit (penelitian
terhadap gas atau aerosol pencemar);

- Hancuran jaringan;

- Cincin trakea, kantong trakea;

- Paru terpisah (katak);

- Jaringan silia (paru atau bukan paru, misalnya palatum katak);

- Getah bronkus, setelah ispirasi in situ atau setelah pengeluaran lender, atau
musin lambung dari babi yang digunakan sebagai subjek;

- Surfaktan alveolar.

Penggunaan model apapun dalam penelitian harus dibatasi untuk mengurangi


toksisitas dan dilakukan pada senyawa yang aktivitasnya jelas, (misalnya pada
mucus) dari sediaan aerosol.

3.2.2. Subjek Hewan

Pembuktian aktivitas bahan obat yang terbagi halus dalam sediaan aerosol pada
tahun 1863 merupakan hasil penelitan dengan subyek kelinci dari suatu larutan feri
klorida yang terbagi halus yang dapat diidentifikasi dalam bronkus kecil melalui
reaksi kalium ferosianat.

Penelitian pertama tersebut dilanjutkan dengan percobaan lainnya yang


mempelajari ketahanan saluran udara, tekanan internal, dan juga pembuktian
toksisitas dari bahan obat tertentu (SO2) yang digunakan untuk mengencerkan
secret bronkus.

Pada penelitian yang menggunakan subyek hewan harus hati-hati dalam menarik
kesimpulan dan menghubungkannya dengan manusia karena perbedaan anatomi
fisiologi antar dua spesies, walaupn pengarang menunjukkan adanya persamaan
kurva depo antara hewan pengerat kecil dan manusia.

Pada akhirnya, bila manusia digunakan sebagai subjek percobaan maka terlebih
dahulu harus diuji keadaan subyek percobaan. Cukup mudah untuk mempelajari
kadar obat dalam darah dari subyek sehat, namun penelitian aktivitas setempat
dari sediaan aerosol pada kenyataannya sulit dilaksanakan. Sebagai contoh yang
tepat adalah pengukuran sifat reologi lapisan mukosa normal yang hamper tidak
dapat dilaksanakan karena pada kenyataannya tidak mungkin mengambil sejumlah
cuplikan yang cukup untuk pengukuran. Sebaliknya pada penderita bronchitis
kronis, lapisan mukosanya sangat tebal sehingga menghambat gerakan silia dan
cuplikan mukosa dapat diambil untuk selanjutnya diteliti. Aktivitas setempat dari
cairan getah (yang dapat mengubah sifat alir) tidak dapat dilihat pada penderita
bronchitis, dan subjek itu sendiri yang tanpa mengalami perlakuan merupakan
pembanding. Hal ini selalu dilakukan pada penelitian ketersediaanhayati.

3.2.3. Subyek Manusia

Berbagai masalah timbul pada penelitian dengan subyek manusia yang berkaitan
dengan penentuan aktivitas setempat atau sistemik zat aktif dalam sediaan aerosol
dan masalah tersebut selanjutnya berpengaruh pada protocol percobaan,

Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:

- Jumlah aerosol yang dihirup

- Jumlah zat aktif yang terikat dan atau terserap

Untuk menaksir jumlah aerosol yang dihirup, maka diukur volume larutan
pendispersi P dan debit udara V pada waktu yang sama; jadi konsentrasi C per
menit dalam volume udara V menjadi:

Penentuan konsentrasi tersebut hanya bersifat prakiraan karena sebagian aerosol


ada yang tertinggal di dalam alat. Penentuan kadar secara kimia lebih sahih, tetapi
partikel-partikel perlu dijerat terlebih dahulu dan penjeratan ini dapat dilakuan
dengan barbotage atau dalam wadah tertutup, tetapi lebih baik bila dilakukan
dengan ruang elektrostatik.

Penentuan jumlah aerosol yang terikat dan atau terserap dapat dilakukan dengan
beberapa cara, antara lain:

- Pengukuran konsentrasi zat aktif dalam aerosol, juga konsentrasi yang


terdapat dalam udara ekspirasi serta yang tertahan dalam tubuh penderita.

- Studi radiologi pencacahan zat aktig yang kedap cahaya atau yang berlabel
(tetapi hanya berkaitan dengan percobaan tentang pernapasan dinamik).

- Evaluasi kadar obat dalam darah atau efek farmakologi,

- Evaluasi perubahan sifat alir getah bronkus secara in situ, atau lender. Hal ini
merupakan uji yang baik tetapi sulit dilaksanakan bila dimaksudkan untuk
meneliti aktivitas setempat dari aerosol, kekentalan cairan bronkus yang
dikeluarkan, aktivitas enzimatik atau malahan beberapa antibiotik.

Untuk menafsirkan setiap hasil penelitian yang berkaitan dengan farmakokinetika


digunakan beberapa model saluran napas yang dapat menggambarkan dpo,
pembersihan dan model yang khusus digunakan untuk bahan toksik (pencemar)
atau bahan radioaktif. Yang lebih sederhana adalah model satu kompartemen yang
mengabaikan adanya partikel dalam saluran dan partikel yang tertinggal pada
saluran napas, tergantung pada jenis aerosol yang dibersihkan.

Bial diperlukan dapat dibuat model saluran napas dengan mempertimbangkan


pengaruh ukuran partikel terhadap nasib aerosol dalam tubuh. Di antara model-
model tersebut yang paling dikenal adalah model dari TASK GROUP dan LUNG
DYNAMICS. Partikel aerosol yang tertimbun merupakan fungsi dari diameter
aerodinamik dari bobot rerata (DMM).
Saluran napas dibagi menjadi 3 kompartemen yaitu:

- Kompartemen nasopharynx (NP)

- Kompartemen percabangan trakea-bronkus (TB) yang keduanya mempunyai


ruang-rugi.

- Kompartemen paru (btonkiolus, kanal alveoli, kantong alveoli, dan alveoli)

Masing-masing memiliki laju p

embersihan tertentu.

Model skematik saluran napas

Untuk
elemen radioaktif dari atmosfer dan partikel padat, model ini tidak selalu sama
hasilnya dengan yang diperoleh oleh peneliti lain, terutama untuk partikel kecil atau
yang pengudaraan dan penyebarannya beragam. Penggunaan simulator dengan
mekanisme serupa dan dengan berbagai ketepatan hanya dapat membantu para
peneliti menyederhanakan model percobaan dan lebih dapat diterapkan untuk
mengendalikan kondisi lingkungan.

Proses Evaluasi Biofarmasetik

Evaluasi ketersediaanhayati aerosol pada manusia mempunyai beberapa kesulitan


yang berkaitan dengan :

 Pemilihan subjek percobaan (sakit atau sehat ),

 Efek partikel aerosol (sistemik atau setempat ),

 Pembuatan partikel yang homogen diameternya.

Adapun tahap – tahap evaluasi biofarmasetik yaitu :

Tahap pertama adalah pemilihan bagian saluran nafas yang akan dicapai oleh zat aktif
untuk memberikan aksi setempat atau untuk diserap dan selanjutnya menghasilkan
efek sistemik.

Pemilihannya tergantung pada :

• Sifat pengobatan dari zat aktif

• Diameter partikel aerosol

Tahap kedua adalah pemilihan alat untuk pembuatan sediaan aerosol hingga diperoleh
diameter partikel yang diinginkan yang harus dilengkapi dengan cara pemberian
( tujuan bukal, nasal, masker wajah )untuk menghindari terjadinya depo yang tidak
dikehendaki dalam saluran nafas.

Tahap ketiga adalah penelitian in vivo pada hewan untuk meramalkan toksisitas dan
reaksi samping yang mungkin terjadi setelah pemberiaan zat aktif dalam aerosol dan
dilakukan setelah pemilihan alat dan konduksi partikel melalui pipa khusus ke berbagai
tempat da saluran nafas untuk mengamati adanya reaksi-reaksi tertentu termasuk
reaksi sistemik

Tahap keeempat adalah evaluasi pada subjek manusia. Dalam hal ini keadaan
pemberiaan dan penghirupan partikel harus tepat, serta penentuan ritme parnafasan.

Tahap akhir adalah studi ketercampuran-obat dan stabilitas zat aktif dalam bentuk
terpilih (larutan, serbuk, bentuk sediaan farmasi bertekanan. )

Pengaruh Formulasi Terhadap Ketersediaanhayati Aerosol

1) Larutan

Palarut yang sering digunakan dalam sediaan aerosol adalah:

 air suling steril, didapar atau tidak, hal ini dapat mengubah sifat reologi
mukus, mengubah aksi setempat

 larutan NaCl isotonikatau larutan glukose isotonik untuk menghindari


terjadinya atelektasis ( pengerutan )

 air mineral yang mengandung Natrium atau Sulfur

 beberapa minyak atsiri alam ( terebintina, gomenol ) yang dapat


meningkatkan aksi bakteriostatik senyawa antibiotik

 alkohol yang dengan cepat menguap dapat membagi partikel dan


memperkecil ukurannya

 propilenglikol

Untuk memperlambat proses penyerapan, penembusan partikel aerosol melintasi


alveoli dan untuk memperpanjang efek setempat dapat digunakan pelarut senyawa:
 Minyak tumbuhan untuk mengurangi efek sistemik yang merugikan atau tidak
berguna.

 Polivinilpirolidon

 Asamp-aminobenzoat

Sebaliknya untuk meningkatkan atau mempercepat penyerapan dapat ditambah bahan-


bahan antara lain:

 Hialuronidase

 Surfaktan

Untuk memperbaiki homogenitas aerosol polidispersi, kedalam pelarut dapat


ditambahkan bahan higroskopis seperti propilenglikol atau gliserin terbentuk misel yang
akan meningkatkan volume uap air yang mengembin dipermukaan selama perjalannya
dalam saluran nafas

Dan untuk mengurangi iritasi bahan obat tertentu dapat ditambahkan novocaine,
propilenglikol atau trietilen-glikol karena sifat bronkodilatasinya.

2) Aerosol tak larut atau aerosol serbuk

Aerosol tak larut adalah bahan obat padat atau serbuk yang diberikan dalam bentuk
aerosol.

Serbuk harus dilindungi dari kelembaban dengan penambahan bahan pelindung,


sekaligus bahan pengencer yang diameternya mendekati diameter zat aktif. Dan perlu
dipertinbangkan adanya penyerapan zat aktif oleh bahan pengencer.

Teknik pembuatan aerosol serbuk adalah:

I. Larutan padat zat aktif dalam klorofluoro hidrokarbondan disebarkan dengan


pemercik khusus, misalnya yang digunakan untuk mikrokristal isoprenalin
dalam generator aerosol.
II. Serbuk berada dalm suatu gel, sehingga memungkinkan penderita dapat
menghirup partikel halus tanpa kesulitan.

3) Bentuk sediaan bertekanan

Sejumlah faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi aktivitas sediaan


bertekanan adalah:

 Jenis gas pendorong ( gas padat N2, gas cair CHCIF )

 Tetapan dielektrik gas pendorong ( terutama klorofluro hidrokarbon )

 Tekanan dan jumlah gas pendorong

 Kekentalan sediaan

 Tegangan permukaan

 Bobot jenis campuran yang disemprotkan ( gas dan atau larutan zat aktif )

 Pelarut yang digunakan untuk larutan atau susensi zat aktif ( alkohol, glikol,
hindari minyak )

 Keadaaan zat aktif dalam campuran ( kristal tersuspensi atau terlarut dalam
gas atau pelarut )

 Ukuran partikel zat aktif dan kecendrungannya menggumpal selama


penyimpanan

 Surfaktan dalam campuran

 Bahan tambahan dalam sediaan ( pelincir, anti penggumpalan )

 Lama pemakaian ( perubahan dosis perlu diketahui )


Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi pembagiaan zat aktif dalam larutan atau
suspensiyang mengandung partikel zat aktif partikel yang halus. Pada sediaan yang
mengandung bahan tambahan dalam sediaan akan meningkatkan ukuran partikel
secara bertahap dan mengubah depotnya dalam mukosa.

Efektifitas pengobatan aerosol merupakan fungsi dari jumlah zat aktif yang tertahan dan
jumlah tersebut yang berhubungan langsung dengan irama pernapasan subjek.
Seorang penderita dalam keaadaan kritis sulit melakukan pernapasan yang dalam,
sehingga merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan lama
aktivitas sediaan dengan aerosol.

Pada pemberiaan aerosol obat, seluruh kompartemen saluran paru dapat menjadi
jenuh oleh partikel obat, yang disebabkan oleh kontak yang kurang dari se[uluh menit
dan di sisi lain karena jumlah yang diberikan jauh lebih berperan, walaupun ritme
pernapasan subjek tidak sesuai dengan irama normal.

4) Zat aktif dalam sediaan aerosol

Pemilihan obat didasarkan atas prinsip berikut ini:

 Penggunaan bentuk aerosol hanya menguntungkan bila konsentrasi zat aktif


saat kontak lebih besar dari konsentrasi setelah pemberiaan lewat jalur
pemberiaan lainnya.

 Zat aktif harus benar-benar bereaksi pada saluran napas .

Oleh sebab itu zat aktif harus memenuhi dua syarat utama yaitu:

• Pelarutan zat aktif dalam cairan pembawa harus setinggi mungkin.

• Aktivitas terapetik harus tampak pada dosis kecil

Obat dalam posologi 24 jam dalam jumlah miligram atau sentigram dapat
diberikan dalam bentuk sedian aerosol yang memungkinkan tercapainya
konsentrasi pada titik tangkap yang lebih besar dibandingkan kosentrasi yang
dicapai bila obat diberikan melalui cara pemberian yang lainnya. Untuk bronko
dilator, dosis efektif dengan aerosol adalah 1/200 kali dibandingkan dengan
dosis per oral.

3.3.4. Zat aktif dalam sediaan aerosol.

Pemilihan bahan obat didasarkan atas prinsip berikut ini:

• Penggunaan bentuk aerosol hanya menguntungkanbila konsentrasi zat aktif saat


kontak lebih besar dari konsentrasi setalah pemberian lewat jalur pemberian lainnya.

• Zat aktif harus benar-benar beraksi pada permukaan saluran napas.

Oleh sebab itu zat aktif harus memenuhi 2 syarat utama yaitu:

• Pelarutan zat aktif dalam cairan pembawa harus setinggi mungkin.

• Aktivitas terapetik harus tampak pada dosis kecil,dengan kata lain dosis per oral juga
kecil.

Zat aktif dengan posologi 24 jam dalam jumlah berbilang gram, bila diberikan dalam
bentuk aerosol maka efektivitasnya lebih rendah dibandingkan bila diberikan lewat oral,
karena tidak mungkin untuk menyerbuk halus sejumlah besar bahan obat hingga
mencapai ukuran aktif.

Sebaliknya, obat dengan posologi 24 jam dalam jumlah milligram atau sentigram dapat
diberikan dalam bentuk sediaan aerosol. Dengan cara pemberian aerosol memungkinkan
dicapainya konsentrasi pada titik tangkap yang lebih besar dibandingkan konsentrasi
yang dicapai bila obat diberikan melalui cara pemberian lainnya. Untuk bronkodilator,
dosis efektif dengan aerosol adalah 1/200 kali bandingkan dengan dosis per oral.
(isoprenalin).

Tidak adanya toksisitas zat aktif juga harus dipastikan, karena dalam banyak hal
pemakaian berulang dapat dilakukan tanpa resiko toksisitas.Jumlah larutan yang
diberikan untuk seluruh permukaan saluran napas umumnya 1,5x108 mikroliter/cm (luas
total permukaan saluran napas adalah 80-100m2.

Zat aktif dapat diberikan dalam bentuk aerosol dan dapat dibedakan menurut tujuan
pemakaiannya terhadap penyakit paru atau untuk aksi sistemik.

Bahan aktif yang digunakan dalam sediaan aerosol pada pengobatan penyakit
bronkopulmonar
1. Bahan aktif Infeksi

a. Antibiotik

-Betalaktam -
penisilin,penisilinaG,ampisilin,metisilina,oksasalina

1. Bahan anti infeksi


a. Antibiotik
-Betalaktam,penisilin,penisilana
-betalkatam G,ampisilin,metisilina,oksasalina.
-Sefalosporina,sefalotina,sefaloridina.
-oligosakarida -gentamisin,kenamisina,framisetina,neomisina.
-tetrasiklina -oksitetrasiklina
-khloramfenikol -khloramfenikol,khoramfenikol,hemisuksinat,tiamfenikol
glisinat
-makrolida -Linkomisina
-antibiotika lain -kolistina, polimiksina B,rifamisina.
b. sulfamida
-sulfamida -natrium sulfamerazina, sulfatiasol
-vaksin - vaksin: CCB,MRV

2. anti radang
a. pirasolon - fenil butazon
-hidrokortison hemisuksinat,triamsinolon,hidrokortison
asetat,beklometason.

You might also like