You are on page 1of 15

PUPILLARY REACTION

ANATOMI DAN FISIOLOGI LINTASAN PUPIL Pupil merupakan lubang pada iris dan fisiologinya merupakan indikator (petunjuk) mengenai status fungsional jaringan sekitarnya dan keadaan retina serta keadaan struktur intracranial. Pupil bisa melebar dan mengecil, dan mempunyai fungsi : a) Mengatur jumlah cahaya yang mencapai retina b) Mengurangi aberasi sferis dan aberasi kromatis c) Meningkatkan keadalaman focus Diameter pupil normal pada adaptasi gelap adalah 4,5 - 7 mm, sedangkan pada adaptasi terang adalah 2,5 6 mm. Pupil yang kecil disebut miosis dengan diameter kurang dari 3 mm, dan pupil yang lebar disebut midriasis dengan diameter 6 mm. Ukuran pupil ditentukan oleh beberapa faktor yang meliputi umur, status emosi, tingkat kewaspadaan, tingkat iluminasi retina, jarak melihat jauh atau dekat, dan besarnya usaha akomodasi. Lintasan pupil terdiri dari bagian aferen dan bagian eferen. Bermula dari sel-sel di retina dan berakhir di daerah pretektum, sedangkan bagian eferen dibagi menjadi lintasan parasimpatis dan lintasan simpatis. Pusat pengaturan supranuklear adalah dari lobus frontalis (kewaspadaan) dan lobus oksipitalis (akomodasi). Fungsi pupil tergantung dari integritas lintasan pupillomotor yang terdiri dari : 1) Reseptor retina 2) Akson sel-sel ganglion di nervus opticus 3) Khiasma opticum 4) Traktus opticus 5) Brachium colliculus superior 6) Daerah pretektal mesensefalon 7) Neuron-neuron penghubung dari pretektal ke nucleus Edinger-Wetphal
8) Serabut saraf eferen parasimpatis yang berjalan bersama dengan N III

9) Lintasan simpatis sejak dari hipotalamus posterior sampai muskulus dilator pupil.

Lintasan Aferen Sel-sel reseptor aferen adalah berasal dari sel-sel ganglion kecil di retina, yang mengirim serabut pupil-omotoris aferen bersama serabut visual (20% pupilomotor dan 80% visual). Serabut pupilomotoris juga mengalami hemidikusasio di khiasma opicum, kemudian berjalan di dalam traktus optikus tetapi tidak berakhir di korpus genikulatum laterale. Serabut pupilomotoris aferen ini memisahkan diri dari serabut visual dan memasuki mid brain (otak tengah, mesensefalon), lewat brachium kolikulus superior dan bersinaps di nucleus pretektalis sepihak (ipsilateral). Masing-masing nucleus pretektalis mengirim neuron ke nucleus Edingerwestphal (yang merupakan subnukleus N III), baik ipsilateral maupun kontralateral. Ini penting untuk memahami mekanisme refleks cahaya pupil direk dan indirek. Lintasan Eferen Terdiri atas lintasan eferen parasimpatis dan simpatis Lintasan Eferen Parasimpatis Serabut eferen parasimpatis pupil nerasal dari nucleus Edinger Westphal, dan keluar dari batang otak bersama N III sampai fisura orbitalis superior, kemudian ikut cabang inferior untuk menuju ganglion siliaris dan terjadi pergantian neuron disini, lalu menuju muskulus siliaris (untuk akomodasi), dan muskulus sfingter pupil untuk miosis. Lintasan Eferen Simpatis
2

Lintasan eferen simpatis bermula dari hipotalamus posterolateralis, lalu berakhir di pusat siliospinalis budge di medulla spinalis, berakhir di ganglion servikalis pada bifurcation karotis. Serabut postganglioner darisini berjalan mengikuti arteria karotis interna dan di sinus kavernosus memisahkan diri dari a.carotis interna dan bergabung dengan N V-1 (oftalmicus) masuk ke orbita lewat fissura orbitalis superior, lalu menuju muskulus dilator pupil. Dengan demikian patologi pupil sangat luas dan meliputi keadaan patologi mata, di intracranial, dan daerah dada dan leher. Pada adanya kelainan pupil demikian perlu dicari adanya kelainan lain pada mata serta ada tidaknya tanda dan gejala neurologis yang menyertai. Beberapa patologi pupil yang penting akan di bahas pada referat ini. Patologi pupil yang akan dibahas adalah : 1. Afferent Pupillary Defect (APD) 2. Adies Syndrome 3. Argyll Robertson Pupil 4. Sindrom Horner 5. Anisokoria 1. AFFERENT PUPILLARY DEFECT (APD) Salah satu penilaian terpenting yang harus dilakukan pada pasien yang mengeluhkan penurunan pengelihatan adalah menentukan apakah keluhan tersebut disebabkan oleh masalah pada mata (misalnya katarak) atau oleh masalah nervus opticus yang cenderung lebih serius. Bila terdapat suatu lesi di nervus opticus, refleks pupil terhadap cahaya (baik refleks langsung di mata yang dirangsang dan refleks konsensual di mata sebelahnya) kurang kuat saat mata yang sakit dirangsang dibandingkan saat mata yang normal dirangsang. Fenomena ini disebut defek pupil afferent relative (Relative Afferent Pupillary Defect, RAPD) atau sering dikenal dengan Marcus-Gunn Pupil. Fenomena ini juga akan positif bila terdapat suatu lesi besar di retina atau lesi berat di makula. Katarak yang padat sekalipun tidak mengganggu respon pupil. Penyebab penurunan pengelihatan unilateral tanpa defek pupil aferen termasuk gangguan refraksi, kekeruhan media selain katarak, seperti kekeruhan kornea atau perdarahan
3

vitreus, ambliopia, penurunan pengelihatan fungsional. Pada lesi di brachium colliculus superioris, dapat terjadi defek pupil aferen relative dengan fungsi pengelihatan yang normal. Penyebab Relative Afferent Pupillary Defect (RAPD) dapat terjadi karena berbagai penyebab, namun tidak ada yang menyebabkan hilangnya persepsi pengelihatan secara total :
1) Central Retinal Artery occlusion (CRAO) 2) Central Retinal Vein occlusion (CRVO)

3) Optic Atrophy 4) Marked retinal detachment


5) Anterior Ischemic Optic Neuropathy (AION) 6) Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)

7) Asymmetric Primary Open Angle Glaucoma (POAG)


8) Optic Neuritis

Diagnosis Diagnosis RAPD adalah dengan Tes Ayun Cahaya atau Swinging Flashlight Test. Dilakukan dengan cara memnerikan cahaya pada mata pada ruangan yang agak gelap, menggunakan penlight terang dengan cahaya yang terfokus. Pada saat tes, pasien diharuskan memfiksasi pengelihatan pada satu target untuk menghindari akomodasi. Cahaya yang diberikan harus langsung sesuai pada axis mata untuk mengiluminasi pupil yang satu dengan yang lainnya. Tes ayun cahaya didiamkan selama 3 5 detik tiap mata dan harus dilakukan bergantian.

Hasil Tes Ayun Cahaya Pada Mata Normal :

Hasil Tes Ayun Cahaya pada RAPD :

Misalnya pada adanya neuritis optic mata kanan yang ringan, maka serabut aferen pupilomotor akan mengalami gangguan ringan. Refleks pupil direk mata kanan lebih lemah dibanding refleks indirek (mata kiri disinari dan mata kanan pupilnya menyempit). Jadi mata kanan mengalami defek aferen relative, sedangkan eferen ke mata kanan maupun kiri adalah normal. Pada mata kiri aferennya adalah normal dan eferen kedua mata juga normal. Defek pupil aferen relatif terjadi karena lesi ringan nervus opticus unilateral atau defek kedua nervus opticus tetapi asimetris, artinya yang satu lebih berat dari yang lain. Defek aferen relative dapat ditunjukkan sebagai berikut : Misalnya mata kanan mengalami defek relative (lebih berat) daripada mata kiri. Mula-mula mata kanan disinari sehingga pupil kanan mengecil. Kemudian lampu senter dengan segera dipindahkan ke kiri dan ternyata pupil kiri
5

masih dapat dikecilkan lebih lanjut. Kalau lampu senter dari mata kiri ini segera dipindahkan ke kanan, maka pupil mata kanan mengalami dilatasi. Defek pupil aferen absolut adalah istilah yang digunakan bila tidak ada refleks pupil terhadap cahaya pada mata yang buta total (amaurotik). Penyinaran mata yang normal akan tetap menimbulkan respon langsung di mata tersebut dan respons konsensual di mata yang buta tadi.

Suatu defek pupil aferen tetap dapat diketahui bila satu pupil tidak terlihat, akibat penyakit kornea, atau tidak dapat merespons akibat kerusakan struktural atau kerusakan pada persarafannya, mis., kelumpuhan nervus ketiga, dengan melakukan pemeriksaan pada pupil yang normal.

2. ADIES SYNDROME
6

Definisi Sindrom Adie, kadang-kadang dikenal sebagai sindrom Holmes-Adie atau Adie's Tonik Pupil, adalah gangguan neurologis yang mempengaruhi pupil dan sistem saraf otonom. Hal ini ditandai oleh satu mata dengan pupil yang lebih besar dari normal dan mengalami konstriksi perlahan dalam cahaya terang (pupil tonik), bersama dengan tidak adanya refleks tendon dalam, biasanya pada tendon Achilles. Penyakit ini dinamai sesuai dengan ahli neurologi Inggris William John Adie. Hal ini disebabkan oleh kerusakan serat-serat postganglionik dari persarafan parasimpatis mata, biasanya oleh infeksi virus atau bakteri yang menyebabkan peradangan, dan mempengaruhi pupil dari mata dan sistem saraf otonom. Epidemiologi Kondisi ini terjadi paling sering pada wanita pada dekade kedua atau ketiga (2.6:1 dominan perempuan) dan mungkin berhubungan dengan hilangnya reflex tendo lutut, tetapi tidak ada komplikasi neurologis lainnya. Rata-rata usia onset adalah 32 tahun. Gejala dan Tanda Sindrom Adie hadir dengan tiga gejala ciri khas, yaitu setidaknya satu pupil abnormal melebar (mydriasis), hilangnya refleks tendon dalam dan diaforesis (keringat berlebihan). Tanda-tanda lain mungkin termasuk hyperopia karena paresis akomodatif, fotofobia dan kesulitan membaca. Sindrom ini dimulai secara bertahap pada satu mata, dan sering berkembang untuk melibatkan mata yang lain. Pada awalnya, hanya dapat menyebabkan hilangnya refleks tendon dalam pada satu sisi tubuh, tapi kemudian ke sisi lainnya. Gejala pada mata dan refleks mungkin tidak akan muncul pada waktu yang sama. Orang dengan HAS juga dapat berkeringat berlebihan, kadang-kadang hanya pada satu sisi tubuh. Beberapa individu juga akan memiliki kelainan kardiovaskular. Gejala HAS dapat muncul sendiri, atau dalam hubungan dengan penyakit lain dari sistem saraf, seperti sindrom Sjogren atau migrain.

Karakteristik dari Sindrom pupil tonik


1. Midriasis relative dalam pencahayaan terang 7

2. Reaksi cahaya lemah hingga tidak ada reaksi

3. Konstriksi perlahan terhadap pemberian sinar yang lama


4. Dilatasi yang perlahan setelah pemberian sinar 5. Palsi pada sfingter iris 6. Cacat akomodasi 7. Pupil mengerut dengan Mecholyl 2,5%, pilocarpine 0,125% 8. Berhubungan dengan berkurangnya refleks tendon dalam

Pada sindrom Holmes-Adie pupil, pasien secara tiba-tiba mengalami dilatasi pada satu pupil yang dapat berhubungan dengan penglihatan kabur, sebagian karena dilatasi pupil, tetapi juga karena paresis akomodasi di sisi itu. Lokasi lesi mungkin berada pada ganglion siliary. Serat parasimpatis baik untuk akomodasi dan sfingter pupil terganggu. Ini adalah lesi perifer pada sebagian saraf ketiga yang jinak dan tidak perlu dikhawatirkan. Pada pemeriksaan, pupil ditemukan melebar. Pemeriksaan reaksi pupil biasanya menunjukkan reaksi yang lemah terhadap cahaya. Dilatasi pupil juga jauh lebih lambat dibandingkan dengan mata yang satunya. Hal ini jelas penting untuk membedakan antara sindrom Holmes-Adie yang jinak dan keadaan penekanan saraf ketiga yang lebih serius, misalnya aneurisma pada sirkulus Willisi. Akomodasi dan reaksi pupil terpengaruh dalam kedua kasus tersebut tetapi lesi saraf ketiga biasanya dikaitkan dengan parese dari otot luar mata. Perbedaan penting antara dampak dari kedua keadaan diatas adalah bahwa lesi saraf ketiga mempengaruhi suplai saraf parasimpatis praganglionik sedangkan lesi pada ganglion siliary di postganglionik menyebabkan meningkatnya kepekaan reseptor otot sfingter terhadap asetilkolin. Sensitivitas denervasi dari pupil dapat ditunjukkan dengan memberikan satu tetes dari analog asetilkolin, metacholine klorida 2,5% (Mecholyl), ke dalam konjungtiva, pupil yang myotonik akan mengecil.

Etiologi HAS dianggap hasil dari infeksi virus atau bakteri yang menyebabkan peradangan dan kerusakan neuron di ganglion ciliary, yang merupakan area otak yang mengontrol gerakan mata, dan ganglion tulang belakang, area otak yang terlibat dalam respon sistem saraf otonom. Diagnosis Uji klinis dapat menunjukkan parese sfingter iris atau pergerakan vermiformis iris. Tonik pupil dapat menjadi lebih kecil (miotik) dari waktu ke waktu yang disebut sebagai "little old Adie's". Pengujian dengan dosis rendah (1/8%) pilocarpine dapat menyempitkan pupil tonik karena supersensitivity denervasi kolinergik. Pupil yang normal tidak akan mengalami konstriksi dengan dosis encer dari pilocarpine. CT scan dan MRI mungkin berguna dalam pengujian diagnostik fokus refleks hypoactive. Tatalaksana Dokter mungkin meresepkan kacamata baca untuk mengkompensasi gangguan penglihatan di mata yang terkena, dan tetes pilocarpine dipakai 3 kali sehari untuk mengobati pupil yang melebar. simpatektomi Thoracic, adalah pengobatan definitif yang melibatkan gangguan pada saraf simpatik yang berat.
9

Prognosis Sindrom Adie tidak mengancam kehidupan. Dengan demikian, tidak ada angka kematian yang berkaitan dengan kondisi ini, namun hilangnya refleks tendo dalam adalah permanen dan mungkin semakin progresif. Beberapa gejala gangguan tersebut dapat berlanjut. Bagi kebanyakan orang, pilocarpine tetes dan kacamata akan memperbaiki penglihatan. 3. ARGYLL ROBERTSON PUPIL Argyll Robertson pupil, merupakan pupil yang berespon menjadi miosis saat berakomodasi namun gagal bereaksi terhadap cahaya langsung, telah dijelaskan dalam literature medis selama lebih dari satu abad. Reaksi pupil ini merupakan cara sederhana untuk memastikan keutuhan dari jalur saraf optik dan ini adalah tanda dari gangguan neurologis seperti neurosifilis, neurosarcoidosis dan multiple sclerosis. Sejarah Perspektif Douglas Argyll Robertson lahir di Edinburgh, Skotlandia pada tahun 1837. Robertson mendapatkan gelar medisnya dari St. Andrews University pada tahun 1857. Dia belajar ophthalmology di praha, Cekoslovakia, dan bekerja di Berlin, Jerman dengan ophtalmologis Von Graefe. Kontribusi pertama kali Robertson dalam ophtalmologi ditandai pada tahun 1863, saat dia melaporkan efek kacang Calabar pada mata. Zat aktif pada kacang Calabar adalah physostigmine, suati kolinesterase inhibitor. Robertson menunjukkan efek antagonis kacang Calabar terhadap atropine, dan zat aktif ini menjadi obat pertama terhadap glaucoma. Robertson pertama kali menjelaskan tentang Argyll Robertson pupil pada laporan kasus dari pasien dengan penyakit spinal pada tahun 1863. Sepuluh bulan setelah ia mempublikasikan laporan kasus pertamanya, Robertson kembali mempublikasikan empat kasus yang mirip. Meskipun tidak adanya respon pupil terhadap cahaya pada pasien penyakit spinal telah dilaporkan sebelumnya, Robertson adalah orang yang pertama kali menyadari bahwa pupil masih bereaksi dengan stimulus melihat dekat. Robertson yakin hal yang lesi yang menyebabkan hal ini dapat ditemukan di cervival sumsum tulang belakang, dan dia menamakan kelainan ini sebagai spinal miosis. Selama
10

hamper tiga decade setelah Robertson menjelaskan spinal miosis, gangguan seperti tabes dorsalis, paresis umum dan lues susunan saraf pusat akhirnya ditemukan dan terkait dengan spectrum yang menjadi satu yaitu neurosifilis. Pupil Argyll Robertson menjadi penanda umum yang patognomonik terhadap neurosifilis, dan tanda ini telah ditemukan pada penyakit susunan saraf pusat yang lain. Patofisiologi Pada Pupil Argyll Robertson, pupil lebih baik berespon pada akomodasi disbanding dengan stimulus terhadap cahaya, ini dikarenakan lesi yang terjadi terdapat pada lokasi jaras refleks cahaya yang relatif dorsal atau pada lokasi jaras refleks dekat yang relatif lebih ventral. Penyebab paling sering adalah infeksi sifilis tapi dapat juga disebabkan oleh berbagai lesi pada midbrain seperti: neoplasma, vaskuler, inflamasi dan demielinisasi. Gejala Klinis Pupil tidak bereaksi baik terhadap stimulus cahaya tapi reaksi akomodasi baik. Sebagian besar kasus Argyll Robertson bersifat bilateral dan pupil biasanya irregular. Gambaran karakteristik sindrom Argyll Robertson adalah: Fungsi visual utuh Harus ada penyakit sifilis yang menyertai Refleks cahaya menurun Miosis Bentuk pupil irregular Bilateral, asimetrik Atrofi iris

11

4. SINDROM HORNER

Sindrom horner disebabkan oleh suatu lesi di jaras simpatis, bias di bagian sentralnya, yang berjalan dari hipotalamus posterior melalui batang otak ke korda spinalis bagian atas (C8-T2); atau di bagian praganglionnya, yang keluar dari korda spinalis dan bersinaps di ganglion servikalis (stelata) superior; atau di bagian pascaganglionnya, dari ganglion servikalis superior melalui pleksus karotikus dan divisi oftalmikus nervus trigeminus, yang masuk ke dalam orbita. Serat-serat simpatis kemudian mengikuti cabang nasiciliaris divisi oftalmikus nervus trigeminus dan nervus ciliaris longus ke iris dan mempersarafi otot muller dan dilator iris. Kelumpuhan otot dilator iris menyebabkan miosis, yang tampak lebih jelas pada cahaya suram. Pematangan melanosit di iris seorang bayi tergantung pada persarafan simpatis; dengan demikian, bila terdapat lesi simpatis kongenital, iris jadi kurang berpigmen (tampak lebih biru). Kelumpuhan otot Muller menimbulkan proptosis. Pada sindrom yang lengkap dijumpai : 1) Miosis unilateral, 2) Ptosis parsial 3) Enofthalmus karena celah mata yang agak menyempit 4) Tidak adanya keringat di wajah dan leher ipsilateral. Wajah berkeringat normal pada lesi pascaganglion karena serat-serat pascaganglion ke wajah untuk pengeluaran keringat mengikuti arteri karotis eksterna dan bukannya arteri karotis interna. Sindrom Horner sentral dapat disebabkan infark batang otak, khususnya infark medulla lateral (sindrom Wallenberg), siringomielia, atau tumor korda servikalis. Sindrom Horner
12

praganglionik dapat disebabkan oleh servikal rib, fraktur vertebra servikalis, lesi di apeks paru-terutama karsinoma bronkogenik (sindrom pancoast) atau cedar pleksus brachialis. Sindrom Horner pascaganglionik dapat disebabkan oleh diseksi arteri karotis, tumor dasar tengkorak atau sakit kepala cluster. Lokalisasi sindrom horner sentral dan praganglionik umumnya jelas, sesuai ciri-ciri klinis yang menyertainya. Serangan akut sindrom horner yang nyeri dan terisolasi, terutama dengan riwayat trauma leher dalam waktu dekat atau disertai dengan nyeri di leher atau rahang, perlu segera diperiksakan untuk mencari adanya diseksi karotis, yang dapat menyebabkan stroke akibat thrombosis dan emboli. Sindrom Horner yang berkaitan dengan nyeri kronik pada wajah, terutama bila disertai dengan kelumpuhan nervus kranialis kelima, keenam, ketiga, keempat, atau kedua, perlu diperiksakan adanya tumor di dasar tengkorak. Uji farmakologik dengan kokain topical di saccus conjunctivalis dapat membedakan sindrom horner, yang pupilnya tidak berdilatasi, dari anisokor fisiologik. Dapat juga digunakan apraclonidine topical, yang menyebabkan dilatasi pupil mata yang sakit tetapi tidak mendilatasi pupil normal. Uji dengan menggunakan tetes hidroksiamfetamin dapat membedakan lesi sentral dan praganglionik dari pascaganglionik, tetapi zat ini sulit didapat. 5. ANISOKORIA Anisokoria adalah ketidaksamaan lebar pupil antara kedua mata. Anisokosia esensial atau anisokoria simpleks atau anisokoria sentral, yaitu lebar pupil mata kanan dan kiri tidak sama, tetapi perbedaannya hanya kecil (kurang dari 1 mm) dan refleks cahaya maupun refleks melihat dekat adalah normal. Keadaan demikian disebabkan oleh pengendalian yang asimetris pada nucleus Edinger-Westphal. Anisokoria patologis terjadi karena adanya defek eferen parasimpatis atau simpatis pada satu mata. Pada adanya kebutaan satu mata tidak terjadi anisokoria sebab mata yang sehat akan memberikan impuls aferen yang sama kuat ke kedua mata, jadi defek aferen tidak menimbulkan anisokoria dan anisokoria disebabkan oleh defek eferen.

KESIMPULAN
13

Pupil merupakan lubang pada iris dan fisiologinya merupakan indikator (petunjuk) mengenai status fungsional jaringan sekitarnya dan keadaan retina serta keadaan struktur intracranial. Lintasan pupil terdiri dari bagian aferen dan bagian eferen. Bermula dari sel-sel di retina dan berakhir di daerah pretektum, sedangkan bagian eferen dibagi menjadi lintasan parasimpatis dan lintasan simpatis. Pusat pengaturan supranuklear adalah dari lobus frontalis (kewaspadaan) dan lobus oksipitalis (akomodasi). Patologi pupil sangat luas dan meliputi keadaan patologi mata, di intracranial, dan daerah dada dan leher. Pada adanya kelainan pupil demikian perlu dicari adanya kelainan lain pada mata serta ada tidaknya tanda dan gejala neurologis yang menyertai. Beberapa patologi pupil yang penting adalah : Afferent Pupillary Defect (APD), Adies Syndrome, Argyll Robertson Pupil, Sindrom Horner, Anisokoria.

DAFTAR PUSTAKA

14

1. Vaughan, Daniel G, dkk. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: Penerbit Widya Medika.

2010.
2. Hartono. Sari Neurooftalmologi. Yogyakarta: Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2006.


3. Slamovitz,

T. L,MD. Glaser, J.S,MD. Neuro-Oprhtalmology. The Pupils and Accomodation. 2nd Edition. Lippincott Company. Pennsylvania. 1990.

4. Bethesda, MD. 20892. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Office of

Communications

and

Public

Liaison.

September

27,

2010.

http://www.ninds.nih.gov/disorders/holmes_adie/holmes_adie.htm
5. Crick, R.P., Khaw, P.T. A Textbook of Clinical Ophtalmology. Neurology. 3rd Edition.

World Scientific Publishing Co. London. 2003.


6. Gerhard K. Lang, M. D. A Short Textbook of Ophtalmology. Thieme Stuttgart. New

York. 2000.

15

You might also like