You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sebagian besar materi mati di dalam ekosistem (khususnya daun yang telah
gugur dan kayu mati) dimakan oleh detritus Ieeder. Organisme yang memperoleh nutrisi
dengan jalan memecahkan molekul organik kompleks menjadi molekul organik
sederhana dari tumbuhan atau hewan yang telah mati atau kotoran yang dihasilkan
organisme hidup disebut sebagai organisme dekomposer.
Dekomposisi pada kondisi lapang merupakan proses yang sangat kompleks.
Proses dekomposisi ini dikendalikan tiga Iaktor utama yaitu siIat bahan organik atau
kualitas bahan baku, kondisi Iisik dan kimia lingkungan seperti temperatur,
kelembahan, pH, unsur mineral dan potensi redoks, serta komposisi organisme tanah.
Dekomposisi (penguraian) oleh dekomposer di dalam ekosistem merupakan
hasil kerjasama antara kelompok mikroIlora dan invertebrata. Tanpa kehadiran
invertebrata mikroIlora dalam proses dekomposisi sangat lambat (Brayer et al., 1976).
Invertebrata telah diketahui menstimulasi pertumbuhan mikrobia melalui Iragmentasi
substrat, merubah siIat Iisik dan kimia substrat serta melalui grazing (memakan
mikrobia). Dengan kata lain proses dekomposisi secara tidak langsung dapat
dicerminkan oleh komposisi, dinamika populasi dan aktivitas lain invertebrata.
Faktor lingkungan berpengaruh terhadap kehidupan dari dekomposer tanah
(makro Iauna tanah) termasuk tempat hidup, kandungan pH tanah, kelengasan tanah,
temperature, aerasi tanah, suplai nutrisi, intensitas cahaya dan semua hal yang berkaitan
dengan lingkungan dari cacing tanah (dekomposer) tersebut. Menurut HanaIia (2005)
populasi cacing tanah paling banyak dijumpai pada tanah lempung, ringan, pasir ringan,
dan lempung sedang, kemudian juga pada tanah alluvial, liat dan lempung berkerikil
sedangkan paling sedikit dijumpai pada tanah gambut.
Untuk mengetahui Iaktor-Iaktor apa saja yang menyebabkan perbedaan populasi
dekomposer tanah maka dilakukanlah percobaan ini. Selain itu dilakukan perbandingan
jumlah populasi dekomposer tanah (cacing tanah) yang berada di tempat (plot) yang
bervegetasi (di bawah pohon) dan yang non-vegetasi di daerah yang tidak ada naungan
pohon besar.

2

1.2 Tujuan
O Menentukan kualitas tanah dengan bio indikator cacing tanah.
O Mengamati jenis-jenis cacing tanah berdasarkan tempat hidupnya.
O Membandingkan kualitas tanah antara tempat bervegetasi dan tidak bervegetasi.
O Untuk mengetahui pola penyebaran individu (dipersial) cacing tanah.




























3

BAB II
TIN1AUAN PUSTAKA

2.1 Tanah
Tanah diartikan sebagai media tumbuhnya tanaman darat. Tanah berasal dari
hasil pelapukan batuan bercampur dengan sisa-sisa bahan organik dari organisme
(vegetasi atau hewan) yang hidup di atasnya atau di dalamnya (Hardjowigeno 1995).
Tanah tersusun dari empat bahan utama, yaitu bahan mineral, bahan organik, air dan
udara. Bagian-bagian mineral dari tanah dibentuk dari batuan induk oleh proses-proses
pelapukan Iisik, kimia dan biologis. Umumnya tanah dianggap sebagai suatu hasil
kegiatan bersama dari iklim, organisme dan tumbuh-tumbuhan terhadap bahan induk
kulit bumi. Jadi tanah mengandung bahan induk (batu-batuan mineral) dan bahan
organik di mana organisme dan hasilnya bercampur dengan partikel-partikel halus hasil
hancuran bahan induk. Ruang-runag di antara partikel-partikel berisi gas-gas dan air.
Tekstur dan porositas tanah adalah siIat-siIat tanah yang penting dalam menentukan
tersedianya zat-zat makanan bagi tanaman dan hewan-hewan tanah. (Dede setiadi,
1989)

2.2 Populasi Dekomposer
Dalam suatu ekosistem terjadi suatu siklus kehidupan dan kematian. Organisme
yang disebut pengurai (dekomposer) yaitu bakteri, jamur, dan mikroorganisme lainnya
bertanggung jawab terhadap kesempurnaan siklus hidup dan matinya. Organisme
pengurai tersebut menguraikan bahan-bahan organic yang dapat digunakan oleh
organisme produsen, tanpa hadirnya organisme pengurai maka suatu ekosistem akan
dipenuhi oleh sampah, bangkai tanaman dan hewan (Darmono, 2001).
Dekomposer atau pengurai adalah organisme yang berperan menguraikan
organisme lain yang telah mati. Menurut Wardono Makhluk hidup yang berperan
sebagai pengurai diantaranya:
1). Mikroorganisme (Jasad Renik)
Makhluk hidup (organisme yang berukuran mikroskopis (sangat kecil) tidak dapat
dilihat oleh mata. Sehingga untuk melihatnya diperlukan alat yang disebut mikroskop.
Contohnya: bakteri, algae unicellular, Fungi unicellular.
2). Makroorganisme
4

Makhluk hidup yang berukuran lebih besar dari mikroorganisme dan dapat dilihat oleh
mata biasa. Contohnya: Larva, Serangga, Cacing, Kumbang, dan Iung multicelluler.
Kepadatan populasi cacing tanah sangat bergantung pada Iaktor Iisika-kimia
tanah dan tersedianya makanan yang cukup baginya. Pada tanah yang berbeda Iaktor
kimia tentu kepadatan populasi cacing tanahnya berbeda. Demikian juga tumbuhan pada
suatu daerah sangat menentukanjenis cacing tumbuh dan kepadatan populasi di daerah
tesebut. Tersedianya makanan yang sangat menentukan pertumbuhan populasi cacing
tanah sebagai hewan yang ikut beperan dalam proses dekomposisi memakan sisa-sisa
tanaman, sedangkan bagian yang tidak terserap dikeluarkan berupa material yang lumat
(Nurdin,2003).

2.3 Makrofauna Tanah
Cacing tanah termasuk invertebrata, phylum Annelida, ordo Oligochaeta.
Terdapat lebih dari 1800 spesies cacing tanah yang sebagian besar diantaranya termasuk
dalam genus Pheretima dan Lumbrikus.
Cacing tanah merupakan dekomposer utama pada ekosistem tanah. Cacing tanah
sisa-sisa tanaman yang membusuk dan menghasilkan sisa pencernaan (Ieses) yang
merupakan sumber bahan organik tanah. Berdasarkan tempat hidupnya cacing tanah
dibedakan menjadi:
O Tipe epigeik : hidup di permukaan tanah.
O Tipe endogeik : hidup dalam tanah.
O Tipe anecigeik : hidup dalam tanah dan sekresi di permukaan tanah.
Apabila dikaitkan dengan kedalaman perakaran tanaman, tipe epigeik dan anecigeik
berperan pada kesuburan tanaman semusim atau berakar dangkal. Sedangkan tipe
endogeik berpengaruh pada produktiIitas tanaman keras dan tanaman kehutanan yang
beakar dalam.
Tipe epigeik meliputi spesies endrobaena octraeda, Octolasion lacteum,
Allolobofora fonga, dan A. nocturna. Tipe epigeik hidup di permukaan tanah sampai
kedalaman kurang dari 8 cm. Tipe ini mempunyai pergerakan isi perut yang sedikit
lambat, karenanya kurang berperan dalam pembentukan selom tanah, tetapi sangat
beperan dalam penggemburan tanah permukaan.
Tipe endogeik meliputi cacing tanah tanpa pigmen yang membuat terowongan
permanen hingga kedalaman sekitar 45 cm. Tipe ini kebanyakan terdiri atas jenis
3

Lumbrikus terrestris. Tipe endogeik paling rentan terhadap perubahan lingkungan yang
buruk. Tindakan budi daya pertanian yang tidak ramah lingkungan paling berpengaruh
terhadap tipe ini. Karena itu cacing tipe endogeik merupakan bio indikator dari
kerusakan tanah.
Tipe anecigeik mempunyai bobot paling berat serta kebiasaan makan dan sekresi
di permukaan tanah sehingga berperan penting dalam meningkatkan kadar biomassa
serta kesuburan tanah permukaan. Tipe anecigeik meliputi Octolasion cyaneum, serta
Allolobofora fonga dewasa.

2.4 Pola Penyebaran Individu


Kerapatan populasi adalah besarnya populasi dalam hubungannya dengan satuan
ruangan. Umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu, atau biomassa populasi per
satuan areal atau volume, misalnya 200 pohon per hektar, 5 juta diatom perkubik air dan
atau 200 pound ikan pee acre permukaan air. Keanekaragaman siIat yang lebar dapat
digunakan sebagai satuan-satuan biomassa, berkisar dari berat kering hingga ke kadar
DNA atau RNA. Kadang-kadang perlu dibedakan dan dipahami kerapatan kotor (crude
density), yaitu jumlah atau biomassa per satuan areal seluruhnya, dan kerapatan ekologi
atau kerapatan jenis (speciIic atau ecological density), jumlah (biomassa) per satuan
ruang habitat (ruang atau tempat atau volume yang tersedia yang benar-benar dapat
diduduki oleh populasi). (Odum, 1993)
Jadi, di dalam pengkajian suatu populasi, kerapatan populasi sering kali akan
menjadi cirri populasi yang pertama-tama mendapat perhatian. Pengaruh populasi
terhadap komunitas dan ekosistem tidak hanya tergantung kepada jenis apa dari
organism yang terlibat, tetapi juga bergantung kepada jumlahnya dengan ktaa lain
adalah kerapatan populasinya. (Odum, 1993)
Seperti juga ciri-ciri atau siIat-siIat populasi, kerapatan populasi ini juga sangat
berbeda-beda. Walaupus demikian tidak berarti tidak ada batasnya. Ada batas atas dan
batas bawah yang past bagi besarnya populasi jenis yang diamati di alam atau yang
secara teori mungkin ada untuk suatu jangka waktu yang lama. (Odum, 1993)




6

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Praktikum ekologi tentang populasi dekomposer ini dilakukan di area tanah
sekitar Pusat Laboratorium Terpadu UIN SyariI Hidayatullah Jakarta. Pelaksanaan
praktikum ini dilakukan didua tempat, yaitu area tanah yang bervegetasi (di bawah
pohon) dan area tanah yang non vegetasi (daerah terbuka). Untuk area tanah yang
memiliki naungan pohon (vegetasi) diwakili oleh kelompok 1,2, dan 3 sedangkan untuk
area tanah yang tidak memiliki naungan pohon (non vegetasi) diwakili oleh kelompok
4,5,6, dan 7. Waktu penelitian dilaksanakan pada 22 Maret 2011.

3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah penggaris, penggali (sekop,
cangkul, linggis), sling meter, soil tester, termometer, lux meter, plastik sample,
timbangan analitik, dan cawan. Sedangkan bahan yang digunakan adalah aquades.

3.3 Cara Kerja
3.3.1 Pengukuran Suhu Tanah
Pengukuran suhu tanah menggunakan termometer dimulai dengan menancapkan
termomter ke dalam tanah sedalam 5-10 cm. Kemudian dicatat suhu tanahnya.
3.3.2 Pengukuran pH dan Kelembaban Tanah
Pengukuran pH dan kelembaban tanah menggunakan soil tester yang
ditancapkan ke dalam tanah yang sudah digali sedalam 5 cm. Kemudian
ditunggu beberapa waktu sampai konstan dan dicatat pH dan kelembaban yang
tertera pada layar.
3.3.3 Pengukuran Kelembaban Udara
Pengukuran kelembaban udara menggunakan sling psychrometer. Jarak
pengukuran 2 m di atas permukaan tanah. Dicatat kelembaban udaranya.
3.3.4 Pengukuran Intensitas Cahaya Matahari
Intensitas cahaya matahari diukur dengan lux meter. Lux meter diletakkan di atas
tanah kemudian ditunggu beberapa waktu sampai konstan dan dicatat intensitas
cahaya mataharinya.
7

3.3.5 Pengumpulan Cacing Tanah


Pengumpulan cacing tanah dengan menggunakan metode hand sorting. Pertama
diibersihkan serasah penutup tanah pada petakan yang akan diamati. Dibuat plot
dengan ukuran 25x25 cm. Kemudian digali dengan sekop/sejenis alat penggali
lainnya dan tanah pada setiap kedalaman dikumpulkan di atas koran untuk
dilakukan penyortiran cacing tanah. Cacing yang didapat dimasukkan ke dalam
plastik sampel berdasarkna kedalaman penggaliannya.

3.4 Analisis Data
Kandungan air tanah secara kuantitatiI dapat ditentukan dngan menghitung
jumlah air yang terkandung di dalam tanah dengan berat segat tertentu. Kandungan air
dapat dinyatakan sebagai persentase air terhadap berat segar tanah.
Kandungan air tanah ()
bcut scgu tunuh-bcut kcng tunuh
bcut scgu tunuh
x 100

Kandungan organik dan mineral total tanah dihitung dengan rumus berikut:
Kandungan organik tanah ()
bcut kcng tunuh-bcut ubu tunuh
bcut kcng tunuh
x 100

Kandungan mineral tanah ()
bcut ubu tunuh
bcut kcng tunuh
x 100

Bobot isi adalah perbandinga antara massa tanah pada keadaan kering konstan
dengan volumenya. Satuan bobot isi dengan dalam g/cm. Bobt isi digunakan untuk
menentukan porositas tanah, yang dapat dijadikan sebagai indikator penetrasi akar dan
aerasi tanah pada lapisan tanah yang berbeda.

Bulk density
bcut kcng tunuh
oIumc coc sumpIc



8

Berdasarkan total berat cacing tanah dan luas kuadrat dilakukan perhitungan
kerapatan biomassa dengan menggunakan persamaan :

Kepadatan Biomassa (x)
otuI bcut cucng tunuh duIum kuudut
Luus kuudut



Untuk mengetahui pola penyebaran individu (dispersal), digunakan persamaan
berikut:


X
_x
N

Keterangan :
X Nilai rata-rata Kerapatan biomassa
x kerapatan biomassa
N Jumlah cuplikan (plot)


S
2

_(x2)-((_x2)2N)
N-1

Keterangan :
X Nilai rata-rata Kerapatan biomassa
x kerapatan biomassa
N Jumlah cuplikan (plot)
S
2
Nilai Variensi



9


Apabila sudah didapatkan hasilnya maka dapat diabil kesimpulan ;
Jika nilai s
2
/X 1 menunjukan penyebaran acak
Jika nilai s
2
/X ~ 1 menunjukan penyebaran mengelompok
Jika nilai s
2
/X 1 menunjukan penyebaran yang seragam



























BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Faktor Lingkungan abiotik Vegetasi

Tabel 2. Faktor lingkungan abiotik Non-vegetasi


Faktor Fisik Kel. 1 Kel. 2 Kel. 3 Rata-Rata
Kelembaban Tanah 1 8 2 3,66
pH Tanah 7 7 7 7
Suhu Tanah 26
0
C 22
0
C 25
0
C 24,33
0
C
Kelembaban Udara 67 70
0
C 73 70
Intens. Cahaya 2,41 Klux 7,24 Klux 1,33 Klux 3,66 Klux
Kand. Air Tanah 27,504 34,327 27,88 29,90
Kand. Organik 13,9 15,17 14,54 14,53
Kand. Mineral Tanah 86,09 84,83 85,45 85,45
Bulk Density 0,7767 gr 0,8935 gr 1,25 gr 0,9734 gr
Porositas 70,68 66,28 52,75 63,23
Faktor Fisik Kel. 4 Kel. 5 Kel. 6 Kel. 7 Rata-
Rata
Kelembaban Tanah 1 1 2 3 1,75
pH Tanah 7 7 6,8 6,8 6,9
Suhu Tanah 26
0
C 24
0
C 28
0
C 26
0
C 26
0
C
Kelembaban Udara 76,33 55
0
C 76,33 72 69,915
Intens. Cahaya 17,3
Klux
19,16
Klux
9,056
Klux
16,67
Klux
15,546
Klux
Kand. Air Tanah 27,504 28,99 24,155 23,08 25,932
Kand. Organik 13,9 14,5464 13,3179 12,4181

13,54
Kand. Mineral Tanah 86,09 85,4536 86,6820 87,982 86,55
Bulk Density 0,431gr 1,25 gr 0,955 gr
Porositas 83,739 52,75 63,962

Tabel di atas menunjukan perbedaan kondisi Iisik anatar bervegetasi dan non-
vegetasi. Pada lokasi bervegetasi, kelembaban tanahnya mencapai 3,66. Sedangkan
untuk daerah yang non-vegetasi kelembaban tanahnya yaitu 1,75. Hal ini menandakan
bahwa tanah untuk daerah yang bervegetasi lebih lembab daripada yang non-vegetasi.
Kondisi tersebut tidak terlalu baik bagi cacing tanah untuk dapat hidup karena cacing
tanah dapat hidup baik pada kelembaban 12,517,5 . Tubuh cacing mempunyai
mekanisme untuk menjaga keseimbangan air dengan mempertahankan kelembaban di
permukan tubuh dan mencegah kehilangan air yang berlebihan. Kelembaban sangat
diperlukan untuk menjaga agar kulit cacing tanah berIungsi normal. Bila udara terlalu
kering, akan merusak keadaan kulit. Untuk menghindarinya cacing tanah segera masuk
kedalam lubang dalam tanah, berhenti mencari makan dan akhirnya akan mati. Bila
kelembaban terlalu tinggi atau terlalu banyak air, cacing tanah segera lari untuk mencari
tempat yang pertukaran udaranya (aerasinya) baik. Hal ini terjadi karena cacing tanah
mengambil oksigen dari udara bebas untuk pernaIasannya melalui kulit.
Selain dipengaruhi oleh kelembaban suhu, keberadaan cacing tanah juga
dipengaruhi oleh pH. pH tanah pada lokasi yang bervegetasi diperoleh 7, sedangkan
untuk lokasi non-vegetasi yaitu 6,9. Hal ini menunjukkan bahwa tanah yang di lokasi
non-vegetasi lebih asam dari pada vegetasi. Tanah yang memiliki pH lebih asam dapat
mempengaruhi keberadaan cacing tanah pada wilayah tersebut. Karena pada tanah-
tanah masam banyak ditemukan ion-ion yang sering mengandung garam yang lebih
tinggi di dalam tanah dapat menjadi racun bagi tanaman. Sehingga pada daerah tidak
bervegetasi tidak banyak ditumbuhi oleh tanaman yang juga menyebabkan sedikitnya
populasi dekomposer yang ditemukan pada daerah tersebut. Suhu tanah juga
berpengaruh pada keberadaan cacing tanah. Suhu tanah pada daerah yang bervegetasi
sebesar 24,
0
C dan suhu tanah pada daerah non-vegetasi sebesar 26
0
C. Kondisi suhu
tersebut merupakan kondisi yang baik bagi cacing tanah untuk dapat hidup karena
berdasarkan teori diketahui bahwa cacing tanah dapat hidup pada suhu 15-31
0
C.
Kandungan air tanah, bahan organik dan mineral dalam tanah sangat penting
perannya. Semakin tinggi kandungannya maka semakin subur pula tanah tersebut.
Bahan organik tanah dihasilkan dari proses biologis bagian tanaman / mahluk hidup
yang mati kemudian di urai oleh bakteri (mikroorganisme tanah) untuk menjadi unsur
yang dapat di pergunakan oleh tanaman tanpa mencermari tanah dan air. Tanah yang
baik adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih tinggi dari anorganik.
2

Porositas tanah juga merupakan salah satu Iaktor yang mempengaruhi keberadaan
cacing tanah karena porositas tanah dapat mempengaruhi aerasi, aliran air dan penetrasi
akar di dalam tanah. Pada hasil pengamatan diketahui bahwa porositas tanah di daerah
bervegetasi yaitu 63,23 dan daerah non-vegetasi yaitu . Porositas tanah adalah
kemampuan tanah dalam menyerap air. Porositas tanah erat kaitanya dengan tingkat
kepadatan tanah (Bulk Density). Semakin padat tanah berarti semakin sulit untuk
menyerap air, maka porositas tanah semakin kecil. Sebaliknya semakin mudah tanah
menyerap air maka tanah tersebut memiliki porositas yang besar (Hardjowigeno 1995).
Pada daerah vegetasi memiliki kepadatan yang lebih besar daripada tanah di daerah
non-vegetasi hal tersebut berarti bahwa tanah tersebut memiliki porositas yang kecil
sehingga tanah yang padat menyebabkan sulit dalam melakukan penyerapan air dan
menyebabkan populasi cacing tanah yang hidup pada daerah yang memiliki kepadatan
tinggi tidak terlalu banyak karena kurangnya air pada daerah tersebut. Sedangkan pada
daerah yang tidak bervegetasi, kepadatan tanahnya tidak trlalu padat (lebih kecil)
sehingga memudahkan dalam penyerapan air dan merupakan tempat yang cukup baik
untuk cacing tanah dapat hidup.

Tabel 3. Populasi Dekomposer Daerah Vegetasi
Kelompok
Berat
cacing
(gr)
Kepadatan
Biomassa (gr/m
2
)
Rata-rata Kualitas
Tanah
Keterangan
1 0,1957 gr 3,1312 gr/m
2
1,674
gr/m
2
Tercemar
Berat
Mengelompok
2 0,1183 gr 1,8928 gr/m
2
3 0 gr 0
Nilai Variansi 2,4867
Indeks Dispersal 1,4854





3

Tabel 4. Populasi Dekomposer Daerah Non-vegetasi


Kelompok
Berat
cacing
(gr)
Kepadatan
Biomassa
(gr/m
2
)
Rata-rata Kualitas
Tanah
Keterangan
4 0,2886 gr 4,6176 gr/m
2
1,4156
gr/m
2
Tercemar
Berat
Mengelompok
5 0,0488 0,7808 gr/m
2
6 0 gr 0
7 0,0165 gr 0,264 gr/m
2
Nilai Variansi 4,6619
Indeks Dispersal 3,2932

Pada tabel di atas dapat diketahui bahwa kualitas tanah pada daerah bervegetasi
dan non-vegetasi sudah tercemar berat. Hal tersebut terlihat pada kepadatan biomassa
pad masing-masing tempat. Kondisi tanah yang tercemar menyebabkan sedikitnya
jumlah populasi cacing tanah sebagai dekomposer karena pada tanah yang sudah
tercemar oleh logam dan limbah dapat menyebabkan keracunan pada tanaman sehingga
tanaman tidak dapat tumbuh subur dan menyebabkan cacing tanah sebagai dekomposer
mati karena habitat yang ditempatinya telah tercemar. Pola penyebaran cacing tanahnya
pun mengelompok, karena nilai S
2
/X ~ 1sehingga dapat dikatakan mengelompok.
Cacing tanah yang ditemukan pada daerah tidak bervegetasi memiliki karakter
morIologi berukuran kecil, berwarna cokelat. Sedangkan cacing tanah yang ditemukan
pada daerah bervegetasi memiliki karakteristik ukurannya besar, berwarna cokelat.
Perbedaan karakter tersebut menunjukan bahwa pada daerah bervegetasi dimana
terdapat banyak tumbuhan merupakan tempat yang sesuai bagi cacing tanah karena
pada tempat tersebut cacing tanah mendapat banyak asupan makanan dari sisa-sisa
tumbuhan tersebut dan melaksanakan tugasnya sebagai dekomposer. Cacing tanah
banyak ditemukan pada permukaan tanah dan pada kedalaman 0-10 cm. Berdasarkan
tempat kedalaman ditemukannya cacing tersebut merupakan cacing bertipe epigeik dan
endogeik. Tipe epigeik mempunyai pergerakan isi perut yang sedikit lambat, karena
kurang berperan dalam pembentukan selom tanah, tetapi sangat berperan dalam
penggemburan tanah permukaan.


4

BAB V
KESIMPULAN

O Pola penyebaran cacing tanah pada daerah bervegetasi dan tidak bervegetasi
adalah mengelompok.
O Kualitas tanah di kawasan penelitian, dekitar PLT UIN SyariI Hidayatullah
Jakarta.
O Cacinga tanah juga dapat mempengaruhi kesuburan dan produktivitas tanah.
O Cacing tanah yang banyak ditemukan pada layer permukaan dan layer dengan
kedalaman 0-10 cm.























3

DAFTAR PUSTAKA

Darmono. 2001. Lingkungan Hidup an Pencemaran Hubungannya engan
Tiksokologi Senyawa Logam. Jakarta : UI Press
Hardjowigeno,S. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Preessindo.
Odum,E.p. 1993. asar-asar Ekologi Edisi Ketiga Terjemahan Tjahjono Samingan.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Setiadi, Dede dan Puspa Dewi Tjondronegoro. 1989. asar-asar Ekologi. Bogor:
ITB-Press.
Smith, Robert. 2001. Ecology and Field Biology 6
th
. CaliIornia: Addison Wesley
Longman, Inc.
Suin, Nurdin Muhammad. 2003.Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara
Wardono,Seto. 2005. Lingkungan Hidup. Jakarta : Vilar Bamboo Kuning












6

LAMPIRAN

Lampiran 1













7

Lampiran 2

a) Termasuk jenis tanah apakah petakan tanah yang anda amati?
b) Tuliskan perkiraan rantai pakan detritus pada ekosistem yang anda amati?
c) Jelaskan Iungsi penyemprotan larutan Iormalin atau larutan sabun pekat pada
permukaan petakan?

1AWAB:

a) Tanah merah/liat
b) Rangkaian rantai pakan dari detritus :
















Crganlsme
ekomposan
anLalpakanrerumpuLan
angkalankoLorannya
ahanbahanorganlc
LerLanampermanen
alamselmenselmen
LanahanbaLuan
aLwaLanah
pemekan
organlsmhlup
CrganlsemLanahlmakan
karnlvora
esplrasl
ekomposan
8

c) Larutan Formalin digunakan dalam praktikum kali ini untuk mengundang


datangnya cacing, karena cacing suka atau lebih sering ditemukan dalam
keadaan pH tanah antara 5-8. Selain itu juga digunakan untuk mempermudah
dalam penggalian.

You might also like