You are on page 1of 23

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Penyakit paru obstuktif kronis (PPOK) merupakan obstruksi saluran pernapasan yang progresif dan ireversibel, terjadi bersamaan dengan bronkhitis kronik, emfisema atau kedua-duanya. Bronkhitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal disertai kerusakan dinding alveoli. Pada praktiknya cukup banyak penderita bronkhitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema. Di Indonesia belum ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Namun pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian akibat asma, bronkhitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4% dan angka kematian mencapai 6%, sedangkan angka kesakitan wanita 2% dan angka kematian 4%, dengan umur penderita di atas 45 tahun, (Barnes, 1997). National Health Interview Survey mendapatkan, sebanyak 2,5 juta penderita emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30% lebih memerlukan rawat tinggal di rumah sakit. Dan berdasarkan temuan The Tecumseh Community Health Study, PPOK menyumbang 3% dari seluruh kematian dan merupakan urutan kelima penyebab kematian di Amerika (Muray F.J.,1988). Pada tahun 1992, Thoracic Society of the Republic of China (ROC) menemukan 16% penderita PPOK berumur di atas 40 tahun, pada tahun 1994 menemukan kasus kematian 16,6% per 100.000 populasi, serta menduduki peringkat ke-6 kematian di Taiwan (Perng, 1996 dari Parsuhip, 1998).Prevalensi merokok yang tinggi di Indonesia menjadi faktor yang berisiko besar terhadap munculnya PPOK di Indonesia. Kebiasaan merokok yang masih tinggi di Indonesia berakibat pada meningkatnya angka penyakit PPOK di Indonesia. Selain itu, polusi udara, debu, bahan kimia dari lingkungan kerja seseorang, infeksi dan status ekonomi yang rendah juga menjadi faktor risiko yang dapat meningkatkan angka PPOK di Indonesia. Oleh karena itu, melihat dari paparan yang sudah dijelaskan di atas. Maka melalui makalah ini, penulis mencoba menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis atau PPOK. Diharapkan dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengerti dan memahami bagaimana cara merawat pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik dengan tepat dan benar.

1.2

Tujuan 1.2.1 Menjelaskan anatomi dan fisiologi dari paru-paru 1.2.2 Menjelaskan definisi dari PPOK dan bagian-bagiannya 1.2.3 Menjelaskan etiologi dari PPOK 1.2.4 Menjelaskan patofisiologi dari PPOK 1.2.5 Menjelaskan manifestasi klinis yang timbul akibat PPOK 1.2.6 Menjelaskan pemeriksaan diagnostik yang harus dilakukan pada pasien PPOK 1.2.7 Menjelaskan penatalaksanaan yang harus dilakukan pada pasien PPOK 1.2.8 Menjelaskan komplikasi yang ditimbulkan dari PPOK 1.2.9 Menjelaskan prognosis dari PPOK 1.2.10 Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi Anatomi dan fisiologi dari sistem pernafasan meliputi : a. Hidung Udara yang masuk ke hidung disaring, dihangatkan dan dilembapkan oleh mukosa respirasi yang terdiri dari epitel torak bertingkat , bersilia dan bersel goblet. Panas yang disuplai ke udara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya akan pembuluh darah sehingga udara yang masuk ke faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh, dan kelembapannya mencapai 100 %. b. Faring Faring adalah bilik yang membagi saluran pernapasan dan saluran pencernaan. Faring dibagi menjadi tiga bagian : 1. Nasofaring Nasofaring hanya merupakan tempat jalannya udara, bukan untuk makanan sehingga selama proses menelan, nasofaring ditutup oleh uvula. 2. Orofaring Orofaring terdapat di belakang mulut sebagai jalan dari udara dan juga makanan. 3. Laringofaring Laringofaring merupakan jalan dari udara maupun makanan. Bagian depan dari laringofaring terhubung dengan laring dan bagian belakang terhubung dengan esofagus. c. Laring Laring terletak diantara faring dan trakea yang berfungsi sebagai kotak suara dan jalannya udara. Laring dibentuk oleh kartilago-kartilago, yaitu : 1. Tiroid Membentuk dinding anterior dan lateral dari laring. 2. Kortikoid Membentuk bagian posterior dari laring. 3. Epiglotis Epiglotis akan bergerak ke atas bila hanya terdapat udara yang masuk, namun akan bergerak ke bawah bila seseorang menelan. Itu dilakukan untuk menjaga makanan dan cairan tidak masuk ke saluran pernapasan. Reflek batuk akan terjadi bila makanan masuk ke saluran pernapasan. 4. Arytenoid dan Corniculate Arytenoid dan corniculate mempunyai fungsi untuk membuka dan menutup glotis serta memproduksi suara. 5. Cuneiform Selain dibentuk oleh kartilago, laring juga dibentuk oleh ligamen : a. Vestibular Berfungsi untuk menutup glotis ketika menelan. b. Vokal Berfungsi untuk memproduksi suara. d. Trakea Trakea dibentuk oleh kartilago berbentuk huruf C di bagian depan dan di bagian belakang dibentuk oleh membran sehingga bentuknya tetap namun
2

e.

f.

fleksibel. Trakea berfungsi untuk membantu mengeluarkan iritan selama batuk dan bersin. Tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri dikenal sebagai karina, yang banyak memiliki syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang. Bronkus Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar Sebaliknya bronkus kiri lebih panjang, dan lebih sempit. Bronkus kiri dan kanan bercabang menjadi bronkus lobaris lalu bercabang lagi menjadi brokus segmentalis dan akhirnya bercabang menjadi bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan tetapi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Alveolus Bronkiolus terminalis merupakan asinus yaitu unit fungsional paru paru yang menjadi tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari: 1. Bronkiolus respiratorius Terkadang memiliki alveoli pada dindingnya 2. Duktus alveolaris seluruhnya dilapisi oleh alveoli 3. Sakus alveolus terminalis Merupakan struktur akhir paru paru. Dalam setiap paru-paru terdapat 300 juta alveolus dengan luas sebuah lapangan tenis yang berfungsi sebagai tempat pertukaran gas (sel tipe I). Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang menghasilkan surfaktan (sel tipe II) untuk mengurangi tegangan permualaan, mengurangi resistensi terhadap pengembangan pada waktu inspirasi dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi. Di dalam alveolus terjadi proses membunuh kuman kuman yang dilakukan oleh sel makrofag. Alveolus dipisahkan dari alveolus didekatnya oleh dinding tipis yang disebut septum. Lubang kecil pada dinding ini disebut pori pori kohn , yang memungkinkan komunikasi antara sakus alveolus terminalis. Paru-paru Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan). Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) : 1. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus. 2. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment. Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paruparu kanan mempunyai 10 segmen yaitu;5 (lima) buah segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis, dan 3 (tiga)

g.

h.

buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus. Pembuluh darah paru Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3 dan tebal ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel kiri. Selain aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke paru-paru dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah "kaya oksigen" (oxyge-nated) dibandingkan dengan darah pulmonal yang relatif kekurangan oksigen. Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu membelah dan membentuk jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding kapiler. Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena pulmonalis dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar melalui tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah mengandung 02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh vena bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.

2.2

Emfisema 2.2.1 Definisi Definisi emfisema menurut Kus Irianto, Robbins, Corwin, dan The American Thorack society: 1. Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus Irianto.2004.216). 2. Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya. (Robbins.1994.253). 3. Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas permukaan alveoli.(Corwin.2000.435). 4. Suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society 1962). Sesuai dengan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan, maka itu bukan emfisama, namun hanya sekedar overinflation. Terdapat dua jenis emfisema yang diklasifikasikan menurut distribusi anatomi lesinya, yaitu: 1. Emfisema Sentriasiner (Sentrilobularis) a. Destruksi dan pelebaran daerah sentral atau proksimal unit respiratorius, yaitu asinus (alveoli sebelah distal yang menjadi cadangan) b. Kelainan utama pada lobus superior dan apeks paru c. Lesi berat yang disertai dengan bronkitis kronis 2. Emfisema Panasiner (Panlobularis) a. Destruksi asinus yang merata dan pelebaran asinus
4

b. Dominan pada zona basal bagian bawah c. Korelasi yang kuat dengan 1- Antitripsin 3. Emfisema Asiner Distal (Paraseptal) a. Terutama mengenai asinus distal b. Secara khas terjadi di dekat pleura dan di samping daerah fibrosis c. Sering merupakan lesi yang mendasari pada pneumothoraks spontan. 2.2.2 Etiologi 1. Faktor Genetik Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diantaranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imunoglobulin E (IgE) dalam serum, adanya hiper responsif bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa 1 anti tripsin. 2. Hipotesis Elastase-Anti Elastase Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. 3. Rokok Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan napas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan. 4. Infeksi Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkitis akut dan asma bronkial, dapat mengarah pada obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae. 5. Polusi Polusi udara seperti halnya asap rokok dapat menyebabkan gangguan pada silia dan menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok risiko akan lebih tinggi. Patofisiologi a. Hilangnya elastisitas paru Protease (enzim yang terdapat di paru-paru) mengubah atau merusak alveoli dan saluran napas kecil dengan cara merusak serabut elastin. Sebagai akibatnya alveolus kehilangan elastisitasnya dan bronkiolus menjadi kolaps. Beberapa alveoli kemungkinan mengalami kerusakan dan yang lainnya membesar. b. Hiperinflasi paru Pembeasaran alveoli sehingga paru tidak dapat atau sulit kembali ke posisi normal istirahat ekspirasi
5

2.2.3

c. Terbentuknya Bullae Dinding alveolus membengkak dan berhubungan untuk membentuk suatu bullae (ruang tempat udara di sela-sela parenkim paru)yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray d. Kolapsnya bronkiolus dan udara terperangkap Ketika pasien berusaha untuk ekshalasi secara kuat tekanan positif intratoraks akan menyebabkan collaps nya jalan napas. (Somantri,53) 2.2.4 Manifestasi Klinik Penderita emfisema dimanifestasikan secara klinik sebagai berikut: 1. Batuk kronis, sesak napas, takipnea 2. Melakukan aktivitas ringan menyebabkan dispnea dan keletihan 3. Pada inspeksi dad aterdapat suara tong yang artinya terdapat udara yang terjebak , kehilangan massa otot dan terdapat pernapasan mulut 4. Pada auskultasi bunyi napas hilang disertai crackles , ronki dan perpanjangan ekspirasi. 5. Hiperensonan pada perkusi dan menurun pada fremitus 6. Anoreksia dan penurunan berat badan serta kelemahan. 7. Hipoksemia dan hiperkapnea pada tahap lanjut Pemeriksaan Diagnostik 1. Chest X-ray Menunjukkan hiperinflansi paru-paru, diafragma mendatar, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bullae (emfisema), peningkatan bentuk bronkovaskular (bronkitis), dan normal ditemukan saat periode remisi (asma). 2. Pemeriksaan paru-paru Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dispnea, menentukan abnormalitas fungsi apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan untuk mengevaluasi efek dari terapi, misalnya bronkodilator. 3. TLC Meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada asma, tetapi menurun pada emfisema. 4. Kapasitas Inspirasi Menurun pada emfisema 5. FEV1 / FVC Untuk mengetahui rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap kapasitas vital (FVC), rasio menjadi menurun pada bronkitis dan asma. 6. ABGs Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PO2 dan PCO2 meningkat (karena bronkitis & emfisema). Seringkali menurun pada asma dengan pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma). 7. Bronkogram Menunjukkan dilatasi dari bronkus saat inspirasi, kolaps bronkhial pada tekanan ekspirasi (emfisema), dan pembesaran kelenjar mukus (bronkitis). 8. Darah Lengkap Menggambarkan adanya peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan peningkatan eosinofil (asma).
6

2.2.5

9. Kimia Darah Menganalisis keadaan 1- Antitripsin yang kemungkinannya berkurang pada emfisema primer. 10. Sputum Kultur Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, dan pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau alergi. 2.2.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan emfisema meliputi: 1. Usaha-usaha pencegahan, terutama ditujukan terhadap memburuknya penyakit. 2. Mobilisasi dahak. 3. Mengatasi bronkospasme. 4. Memberantas infeksi. 5. Penanganan terhadap komplikasi. 6. Fisioterapi, inhalasi terapi dan rehabilitasi Komplikasi 1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernapasan 2. Daya tahan tubuh kurang sempurna 3. Tingkat kerusakan paru semakin parah 4. Proses peradangan yang kronis pada saluran napas 5. Pneumonia 6. Atelaktasis 7. Pneumothoraks 8. Meningkatkan resiko gagal napas pada pasien. 9. Sering mengalami infeksi ulang pada saluran pernapasan Prognosis Bila timbul hiperkopnea, hipoksemia dan kor pulmonale, maka prognosis adalah buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa tahun sesudah timbulnya penyakit. (Price & Wilson, 1994 : 695)

2.2.7

2.2.8

2.2.9 Proses Keperawatan a. Pengkajian 1. Riwayat

Riwayat merokok aktif atau pasif, riwayat pekerjaan, infeksi saluran napas berulang, keterbatasan berolahraga, riwayat keluarga (terutama pada yang bukan perokok), penurunan berat badan, serta produksi sputum. 2. Gejala Dispnea progresif saat berolahraga, dispnea nocturnal paroksismal, edema kaki, batuk produktif, mengi, edema kaki, atau perut kembung. 3. Pemeriksaan Penurunan tingkat kesadaran dan sianosis selama eksaserbasi akut, takipnea, dada tong, penggunaan otot bantu pernapasan, penurunan suara napas, mengi, ekspirasi lebih panjang daripada inspirasi.

b. Diagnosis dan Intervensi

No. Diagnosis Intervensi Rasional 1. Gangguan a. Lakukan latihan a. Pasien dapat pertukaran gas pernapasan dalam dan bernapas dengan berhubungan tahan sebentar untuk lancer. dengan kerusakan membiarkan diafragma alveoli yang mengembangkan reversible secara optimal. b. Posisikan pasien b. Membantu dengan posisi semi ekspansi paru fowler agar pasien bisa yang optimal. melakukan respirasi dengan sempurna. c. Kaji adanya nyeri c. Evaluasi dan tanda vital tingkat berhubungan dengan kemapuan latihan yang diberikan. pasien dan mempermudah perawat dalam d. Ajari pasien merencanakan tentang teknik kriteria latihan penghematan energi. lanjutan. e. Bantu pasien untuk d. Meningkatk mengidentifikasi tugasan keadekuatan tugas yang bisa jalan napas. diselesaikan. e. Menjaga komunikasi f. Kolaborasi : dengan pasien Berikan oksigen dan mampu sesuai indikasi bekerjasama Berikan penekan SSP dalam (anti ansietas sedatif memprioritaskan atau narkotik) dengan tugas. hati-hati sesuai indikasi f. Mempercep at proses pemulihan dengan kerja sam yang baik dengan dokter. 2. Pola pernapasan a. Pastikan pasien a. Ventilasi tidak efektif bahwa tindakan alveoli normal. berhubungan tersebut dilakukan dengan ventilasi untuk menjamin alveoli keamanan. b. Tidak terjadi b. Alihkan perhatian gangguan pasien dari pemikiran perubuhan tentang keadaan fungsi ansietas (cemas) pernapasan. dengan meminta pasien
8

mempertahankan kontak mata dengan perawat. c. Latih pasien napas perlahan-lahan, bernapas lebih efektif. d. Jelaskan pada pasien bahwa dia dapat mengatasi hiperventilasi melalui kontrol pernapasan secara sadar. e. Kolaborasi: Pemberian obat-obatan sesuai indikasi dokter (ex. bronkodilator)

c. Untuk melatih ketahanan jalan napas. Serta memungkinkan untuk melatih batuk efektif. d. Mampu mengurangi ansietas pasien dalam menghadapi hiperventilasi. e. Usaha untuk menstabilkan pola napas pasien. a. Pasien lebih nyaman, karena dapat membantu kelancaran pola napasnya b. Air hangat dapat mengencerkan sekret c. Batuk efektif akan membantu mengeluarkan sekret. d. Jalan napas bersih. a. Mendapatka n tanda vital pasien normal, baik saat istirahat ataupun setelah beraktivitas. b. Masalah intoleransi aktivitas pada pasien dapat teratasi untuk
9

3.

Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan meningkatnya sekret atau produksi mukus.

a. Berikan posisi yang nyaman (fowler/ semi fowler) b. Anjurkan untuk minum air hangat c. Bantu klien untuk melakukan latihan batuk efektif bila memungkinkan d. Lakukan suction bila diperlukan, batasi lamanya suction kurang dari 15 detik dan lakukan pemberian oksigen 100% sebelum melakukan suction a. Ukur tanda vital saat istirahat dan segera setelah aktivitas serta frekuensi, irama dan kualitas. b. Hentikan aktivitas bila respon klien : nyeri dada, dyspnea, vertigo/konvusi, frekuensi nadi, pernapasan, tekanan darah sistolik menurun.

4.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen.

c. Meningkatkan aktivitas secara bertahap. d. Ajarkan klien metode penghematan energi untuk aktivitas. ubah posisi setiap 2 sampai 4 jam e. Mengakaji periode istirahat

mengukur tingkat/kualitas nyeri guna intervensi selanjutnya c. Untuk melatih ketahanan muskuloskeletal klien, agar tidak terjadi syok. d. Penghemata n energi seperti bed-rest sangat membantu meningkatkan keadekuatan pernapasan klien. e. Mengetahui kebiasaan klien dalam beristirahat serta membantu menentukan langkah yang tepat untuk mengoptimalkan periode istirahat klien.

2.3

Asma Bronkial 2.3.1 Definisi a. Asma Bronkial adalah penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai oleh spame akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obsktrusi aliran udara dan penurunan ventilasi alveolus. ( Huddak & Gallo, 1997 ) b. Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi berspon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.( Smeltzer, 2002 : 611) Asma adalah obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel, terjadi ketika bronkus mengalami inflamasi/peradangan dan hiperresponsif. (Reeves, 2001 : 48)

c.

2.3.2

Etiologi a. Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi) - Reaksi antigen-antibodi


10

- Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang) b. Faktor Intrinsik (asma nonimunologi / asma non alergi) - Infeksi : parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal - Fisik : cuaca dingin, perubahan temperature - Iritan : kimia - Polusi udara : CO2, asap rokok, parfum - Emosional : takut, cemas dan tegang -Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus. (Suriadi, 2001 : 7) 2.3.3 Patofisiologis Suatu serangan asma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran napas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE). IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anafilaksis (RS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akanmenyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran napas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran napas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yangsangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 ) 2.3.4 Manifestasi Klinis Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernapas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernapasan bekerja dengan keras. Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak napas, mengi ( wheezing ), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent

11

2.3.5

chest, sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi dada, takikardia dan pernapasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari. Pemeriksaan laboratorium 1. Pemeriksaan sputum Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya: a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari Kristal eosinopil. b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus. c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus. d. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug. 2. Pemeriksaan darah a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis. b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH. c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 3. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.

pada 2.3.6 Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan radiologi Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut: a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah. b. Bila terdapat komplikasi empisema, maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah. c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal. e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru. 2. Pemeriksaan tes kulit Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. 3. Elektrokardiografi Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu : a. perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
12

b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya

4.

5.

RBB ( Right bundle branch block). c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative. Scanning paru Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paruparu. Spirometri Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanp keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

2.3.7. Penatalaksanaan Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah: 1.Menghilangkan obstruksi jalan napas dengan segara. 2.Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma 3. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya. Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu: 1. Pengobatan non farmakologik: a. Memberikan penyuluhan b. Menghindari faktor pencetus c. Pemberian cairan d. Fisiotherapy e. Beri O2 bila perlu. 2. Pengobatan farmakologik : a. Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran napas. Terbagi dalam 2 golongan : 1. Simpatomimetik (Adrenalin dan efedrin) dengan nama obat Orsiprenalin (Alupent), Fenoterol (berotec), Terbutalin (bricasma) Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus) untuk selanjutnya dihirup.

13

b. Santin (teofilin) dengan nama obat : Aminofilin (Amicam supp), Aminofilin (Euphilin Retard), Teofilin (Amilex) Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling memperkuat. 2.3.8. Komplikasi Berbagai komplikasi yang timbul akibat asma adalah : a. Status asmatikus b. Atelektasis c. Hipoksemia d. Pneumothoraks e. Emfisema f. Deformitas thoraks g. Gagal napas Prognosis Prognosis jangka panjang asma pada anak umumnya baik. Sebagian asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang menjadi asma kronik pada umur 21 tahun. 20% asma episodik sering sudah tidak timbul pada masa akil balik, 60% tetap sebagai asma episodik sering, dan sisanya sebagai asma episodik jarang. Hanya 5% dari asma kronik/persisten yang dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20% menjadi asma episodik sering, hampir 60% tetap menjadi asma kronik/persisten, dan sisanya menjadi asma episodik jarang. Secara keseluruhan, dapat dikatakan 70-80% asma anak bila diikuti sampai umur 21 tahun asmanya sudah menghilang. Faktor yang dapat mempengaruhi prognosis anak adalah : a. Umur Ketika serangan timbul, seringnya serangan asma, berat-ringannya serangan asma, terutama pada 2 tahun sejak mendapat serangan asma b. Banyak sedikitnya faktor atopi pada diri anak dan keluarganya c. Menderita dan atau pernah menderita eksema infantil yang sulit diatasi d. Lamanya minum ASI e. Usaha pengobatan dan penanggulangannya f. Apakah ibu atau bapak atau teman sekamar atau serumah. Polusi udara yang lain di rumah atau di luar rumah juga dapat mempengaruhi g. Penghindaran alergen yang dimakan sejak hamil dan pada waktu menyusui h. Jenis kelamin, kelainan hormonal 2.3.10 Proses Keperawatan 1. Pengkajian Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut: a. Riwayat kesehatan yang lalu: 1. Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
14

2.3.9

b.

c.

d.

e.

f. g.

h.

2. Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan. 3. Kaji riwayat pekerjaan pasien. Aktivitas meliputi : 1. Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas. 2. Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari. 3. Tidur dalam posisi duduk tinggi. Pernapasan meliputi : 1. Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan. 2. Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur. 3. Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung. 4. Adanya bunyi napas mengi. 5. Adanya batuk berulang. Sirkulasi meliputi : 1. Adanya peningkatan tekanan darah. 2. Adanya peningkatan frekuensi jantung. 3. Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis. 4. Kemerahan atau berkeringat. Integritas ego meliputi : 1. Ansietas 2. Ketakutan 3. Peka rangsangan 4. Gelisah Asupan nutrisi meliputi : 1. Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan. 2. Penurunan berat badan karena anoreksia. Hubungan sosial meliputi : 1. Keterbatasan mobilitas fisik. 2. Susah bicara atau bicara terbata-bata. 3. Adanya ketergantungan pada orang lain. Seksualitas yang meliputi penurunan libido

1. Diagnosis dan Intervensi Keperawatan

a. Diagnosis 1 : Tak efektif bersihan jalan nafas b/d bronkospasme. Hasil yang diharapkan: mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi bersih dan jelas. INTERVENSI RASIONAL Mandiri Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius. Tachipnea biasanya ada pada
15

Kaji / pantau frekuensi

pernafasan, catat rasio inspirasi / ekspirasi. Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu. Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh : meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara tempat tidur Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung memberikan air hangat

Kolaborasi Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.


b.

beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/ adanya proses infeksi akut. Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit. Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi. Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut. Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus. Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan produksi mukosa.

Diagnosis 2: Malnutrisi berhubungan dengan anoreksia Hasil yang diharapkan : menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat. RASIONALISASI Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dipsnea. Rasa tak enak, bau menurunkan nafsu makan dan dapat menyebabkan mual/muntah dengan peningkatan kesulitan nafas. Menurunkan dipsnea dan meningkatkan energi untuk makan, meningkatkan masukan.

INTERVENSI Mandiri Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kerusakan makanan. Sering lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai. Kolaborasi Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi. c.

Diagnosis 3 : Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (spasme bronkus) Hasil yang diharapkan ; perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan edukuat.
16

INTERVENSI Mandiri Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa. Palpasi fremitus Awasi tanda vital dan irama jantung

Kolaborasi Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi pasien. d. resiko

RASIONALISASI Sianosis mungkin perifer atau sentral keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasi kan beratnya hipoksemia. Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumplan cairan/udara. Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung. Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.

Diagnosis 4: Risiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuat imunitas. Hasil yang diharapkan : - mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah atau menurunkan

infeksi. - Perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang nyaman. INTERVENSI RASIONALISASI Mandiri Demam dapat terjadi karena Awasi suhu. infeksi dan atau dehidrasi. Diskusikan kebutuhan nutrisi Malnutrisi dapat mempengaruhi adekuat kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap infeksi Kolaborasi Untuk mengidentifikasi Dapatkan specimen sputum organisme penyabab dan dengan batuk atau pengisapan kerentanan terhadap untuk pewarnaan berbagai anti microbial gram,kultur/sensitifitas. e. mengerti. Hasil yang diharapkan : menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan. INTERVENSI RASIONALISASI Jelaskan tentang penyakit Menurunkan ansietas dan dapat individu menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana pengobatan. Diskusikan obat pernafasan, Penting bagi pasien memahami efek samping dan reaksi yang perbedaan antara efek samping
17

Diagnosis 5: Kurang pengetahuan b/d kurang informasi ;salah

tidak diinginkan. Tunjukkan tehnik penggunaan inhaler. 2.4 Bronkitis Kronis 2.4.1

mengganggu dan merugikan. Pemberian obat yang tepat meningkatkan keefektifanya.

2.4.2

2.4.3

Definisi Bronkitis akut adalah radang mendadak pada bronkus yang biasanya mengenai trakea dan laring, sehingga sering disebut juga dengan laringotrakeobronkitis. Radang ini dapat timbul sebagai kelainan jalan napas tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit sistemik, misalnya pada morbili, pertusis, difteri, dan tipus abdominalis. Istilah bronkitis kronis menunjukkan kelainan pada bronkus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronkus maupun dari bronkus itu sendiri. Bronkitis kronis merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkial yang berlebihan, sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun dan paling sedikit 2 tahun secara berturut-turut. Bronkitis kronis bukanlah bentuk menahun dari bronkitis akut. Walaupun demikian, pada perjalanan penyakit bronkitis kronis dapat ditemukan periode akut, yang menunjukkan adanya serangan bakteri pada dinding bronkus yang tidak normal. Infeksi sekunder oleh bakteri ini menimbulkan kerusakan yang lebih banyak, sehingga dapat memperburuk keadaan. Etiologi Terdapat tiga jenis penyebab bronkitis akut, yaitu sebagai berikut: a. Infeksi, seperti Staphylococcus, Streptococcus, Pneumococcus, Haemophilus influenza b. Alergi c. Rangsangan, seperti asap yang berasal dari pabrik, kendaraan bermotor, rokok, dan lain-lain. Bronkitis kronis bisa menjadi komplikasi kelainan patologik yang mengenai beberapa organ tubuh, yaitu sebagai berikut : a. Penyakit jantung menahun, baik pada katup maupun miokardium. Kongesti menahun pada dinding bronkus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi bakteri mudah terjadi. b. Infeksi sinus paranasails dan rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang dapat menyerang dinding bronkus. c. Dilatasi bronkus, menyebabkan gangguan pada susunan dan fungsi dinding bronkus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi. d. Rokok, dapat menyebabkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronkus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Patofisiologi Bronkitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronkitis kronis. Pada infeksi saluran napas bagian atas, infeksi virus sering kali menjadi awal dari serangan bronkitis akut. Dokter akan mendiagnosis bronkitis kronis jika klien mengalami batuk atau terdapat produksi sputum selama beberapa hari 3 bulan dalam 1 tahun dan sedikit dalam 2 tahun berturut-turut.
18

Bronkitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan terhadap agen infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan akan memicu timbulnya respons inflamasi yang kan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa, dan bronkospasme. Tidak seperti emfisema, bronkitis lebih mempengaruhi jalan napas kecil dan besar dibandingkan dengan alveoli. Aliran udara dapat mengalami hambatan atau mungkin juga tidak. Klien dengan bronkitis kronis akan mengalami hal-hal berikut: a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mukus pada bronki besar. Hal ini akan meningkatkan produksi mukus. b. Mukus lebih kental. c. Kerusakan fungsi siliari, sehingga menurunkan mekanisme pembersihan mukus. Oleh karena mucocilliary defence dari paru mengalami kerusakan, maka meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi, ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi hipertropi dan hyperplasia, sehingga produksi mukus akan meningkat. Dinding bronchial meradang dan menebal (sering kali sampai dua kali ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar. Bronkitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronkus besar, dan pada akhirnya seluruh saluran napas terkena. Mukus yang kental dan pembesaran bronkus menyebabkan obstruksi jalan napas, terutama selama ekspirasi. Jalan napas mengalami kolaps, dan udara terperangkap pada bagian distal paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan ventilasi alveolar, hipoksia, dan asidosis. Klien akan mengalami kekurangan oksigen jaringan dan timbul rasio ventilasi-perfusi abnormal, dimana terjadi penurunan PaO2. Kerusakan ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2, klien akan terlihat sianosis ketika mengalami kondisi ini. Sebagai kompensasi dari hipoksemia, terjadilah polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena infeksi pulmonary. Selama infeksi, klien mengalami reduksi pada FEV dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak ditanggulangi, hipoksemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit kor pulmonal dan CHF. 2.4.4 Manifestasi Klinis Keluhan dan gejala-gejala klinis Bronkitis kronis adalah sebagai berikut: 1. Batuk dengan dahak atau batuk produktif dalam jumlah yang banyak. Dahak makin banyak dan berwarna kekuningan (purulen) pada serangan akut (eksaserbasi). Kadang dapat dijumpai batuk darah. 2. Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat beraktivitas. 3. Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik). 4. pada pemeriksaan dengan stetoskop (auskultasi) terdengar suara krok-krok terutama saat inspirasi (menarik napas) yang menggambarkan adanya dahak di saluran napas. 2.4.5 Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut: a. Pemeriksaan radiologis Pada bronkitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
19

1. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal. 2. Corak paru yang bertambah Pada bronkitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil (small airways).
b. Analisis gas darah

Pada bronkitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan. 2.4.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan untuk pasien bronkitis kronis meliputi : a. Penyuluhan agar pasien menghindari pajanan iritan lebih lanjut, terutama asap rokok. b. Terapi antibiotic profilaktik, terutama pada musim-musim dingin, untuk mengurangi insidens infeksi saluran napas bawah, karena setiap infeksi akan semakin meningkatkan pembentukan mukus dan pembengkakan. c. Karena banyak pasien yang mengalami spasme saluran napas akibat bronkitis kronik yang mirip dengan spasme pada asma kronik, maka sering diberikan bronkodilator. d. Ekspektoran dan peningkatan asupan cairan untuk mengencerkan mukus. e. Terapi oksigen. Komplikasi a. Hipertensi paru akibat vasokontriksi hipoksik paru yang kronik, yang akhirnya dapat menyebabkan kor pulmonale b. Dapat menimbulkan kanker paru akibat metaplasia dan dysplasia Prognosis Bila tidak ada komplikasi, bronkitis akut pada anak umumnya baik. Pada bronkitis akut yang berulang, dan bila anak merokok baik aktif maupun pasif, maka dapat terjadi kecenderungan terjadi bronkitis kronik saat dewasa. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian meliputi : Biodata Usia 45-65 tahun merupakan usia yang paling sering dijumpai pada klien bronkitis kronis. Hasil survei menunjukkan bahwa penyakit ini lebih sering ditemui pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. b. Riwayat Kesehatan, meliputi : 1. Keluhan Utama Batuk persisten, produksi sputum seperti warna kopi, dispnea dalam beberapa keadaan, wheezing pada saat ekspirasi, sering mengalami infeksi pada system respirasi.
20

2.4.7

2.4.8

2.4.9 a.

c.

2. Riwayat Kesehatan Dahulu Batuk atau produksi sputum selama beberapa hari 3 bulan dalam 1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut. Adanya riwayat merokok. 3. Riwayat Kesehatan Keluarga Penelitian terakhir didapatkan bahwa anak dari orang tua perokok dapat menderita pernapasan lebih sering dan lebih berat serta prevalensi terhadap gangguan pernapasan kronik lebih tinggi. Selain itu, klien yang tidak merokok tetapi tinggal dengan perokok (perokok pasif) mengalami peningkatan kadar karbon monoksida darah. Dari keterangan tersebut untuk penyakit familial dalam hal ini bronkitis kronik berkaitan dengan polusi udara rumah, dan bukan penyakit yang diturunkan. Pemeriksaan Fisik, meliputi : 5. Penampilan Umum Cenderung gemuk (overweight), sianosis akibat pengaruh sekunder polisitemia, edema (akibat CHF kanan), dan barrel chest. 6. Pada Jantung Pembesaran jantung, kor pulmonal, hematokrit > 60%. d. Terapi Medis Pengobatan yang utama ditujukan untuk mencegah dan mengontrol infeksi serta meningkatkan drainase bronchial. Pengobatan yang diberikan berupa: 1. Antimicrobial 2. Bronkodilator 3. Aerosolized nebulizer, dan 4. Intervensi bedah

21

BAB III KESIMPULAN Penyakit paru obstuktif kronis (PPOK) merupakan obstruksi saluran pernapasan yang progresif dan ireversibel, terjadi bersamaan dengan bronkhitis kronik, emfisema atau keduaduanya. Bronkhitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal disertai kerusakan dinding alveoli. Pada praktiknya cukup banyak penderita bronkhitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema. Anatomi dan fisologi system pernafasan meliputi : hidung, faring, laring, trakea, bronkus, alveolus, paru-paru. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) terdiri dari emfisema, asma, dan bronkitis kronis. Emfisema diartikan sebagai suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. (The American Thorack society 1962). Asma Bronkial diartikan sebagai penyakit pernapasan obstruktif yang ditandai oleh spame akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obsktrusi aliran udara dan penurunan ventilasi alveolus. ( Huddak & Gallo, 1997 ). Dan bronkitis kronis menunjukkan kelainan pada bronkus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari luar bronkus maupun dari bronkus itu sendiri. Bronkitis kronis merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus trakeobronkial yang berlebihan, sehingga cukup untuk menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun dan paling sedikit 2 tahun secara berturut-turut. Asuhan keperawatan pada pasien PPOK yaitu pengkajian meliputi pengkajian aktivitas, sirkulasi, pernafasan, nutrisi dan higiene. diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien PPOK adalah bersihan jalan nafas tak efektif, kerusakan pertukaran gas, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, dan resiko tinggi infeksi. Intervensi yang diberikan untuk salah satu diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif adalah sebagai berikut auskultasi bunyi nafas, kaji dan pantau frekuensi pernafasan, catat derajat dispnea, kaji posis yang nyaman untuk pasien, observasi karakteristik batuk, tingkatkan masukan cairan (air hangat) sesuai toleransi jantung, serta pertahankan lingkungan minimal polusi seperti debu, asap, maupun bulu bantal.

22

DAFTAR PUSTAKA PDPI. 2003. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ( PPOK ). Tanjung, Dudut. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. Sumatera Utara Brashers, Valentina L. 2003. Manajemen.Jakarta: EGC Aplikasi Klinis Patofisiologi:Pemeriksaan dan

Iman, Somantri. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. 2003. Jakarta: EGC

23

You might also like