You are on page 1of 27

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep Sosial Budaya Konsep Sosial Konsep Budaya Pengaruh Sosial Budaya Terhadap Pemanfaatan Posyandu lansia Pendidikan/Pengetahuan Dukungan Keluarga Spiritualitas Sistem Mata Pencaharian Hidup Sistem Organisasi Kemasyarakatan 2. Posyandu lansia Lanjut Usia Defenisi Batasan-batasan usia lanjut Proses menua dan perubahan-perubahan pada lansia Pelayanan Kesehatan di Komunitas Primary Health Care Upaya Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Lansia Peran Perawat Pemanfaatan Pelayan Posyandu Lansia

Universitas Sumatera Utara

1. Konsep Sosial Budaya 1.1. Konsep Sosial 1.1.1.Defenisi Sosial Kata sosial berasal dari bahasa latin yaitu socius yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan bersama (Salim, 2002). Sudarno (dalam Salim, 2002) menekankan pengertian sosial pada

strukturnya, yaitu suatu tatanan dari hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat yang menempatkan pihak-pihak tertentu (individu, keluarga, kelompok, kelas) didalam posisi-posisi sosial tertentu berdasarkan suatu sistem nilai dan norma yang berlaku pada suatu masyarakat pada waktu tertentu. Winandi (dalam Ibrahim, 2003) mendefenisikan struktur sosial sebagai seperangkat unsur yang mempunyai ciri tertentu dan seperangkat hubungan diantara unsur-unsur tertentu. Dapat disimpulkan bahwa sosial adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat yang lahir, tumbuh, dan berkembangan dalam kehidupan bersama. 1.1.2.Cakupan Sosial Cakupan sosial menurut Sudarno ada dua yaitu interaksi sosial dan hubungan sosial. Interaksi sosial didefenisikan sebagai interaksi lembaga sosial, individu, dalam tata hubungan yang dikendalikan oleh kepentingan tertentu (Salim, 2002), sedangkan Soerjono Soekanto mendefenisikan interaksi sebagai hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan antara kelompok dengan kelompok (Ibrahim, 2003). Hubungan sosial merupakan hubungan antara lembaga, individu yang bersifat umum yang memiliki dasar kegiatan kemasyarakatan (Soedarno dalam Salim, 2002).

Universitas Sumatera Utara

1.1.3.Faktor-Faktor Sosial Faktor sosial menurut Anderson meliputi pendidikan dan suku bangsa (Muzaham, 1995), sedangkan Gottlieb (1983, dalam Kuntjoro 2002) menyebutkan dukungan keluarga sebagai salah satu faktor sosial. Dengan mengadaposi pendapat Anderson dan Gottlieb tersebut maka faktor-faktor sosial adalah pendidikan, suku, dukungan keluarga. 1.1.3.1.Pendidikan Pendidikan sebagai suatu konsep, memiliki sifat yang cukup terbuka untuk menelaah. Pendidikan dalam arti formal sebenarnya adalah suatu proses penyampaian bahan/materi pendidikan oleh pendidik kepada sasaran pendidikan (anak didik) guna mencapai perubahan tingkah laku (Notoatmodjo, 1993). Pengertian pendidikan digunakan untuk menunjuk atau menyebutkan suatu jenis peristiwa yang dapat terjadi di berbagai jenis lingkungan. Jenis peristiwa ini ialah interaksi antara dua manusia atau lebih yang dirancang untuk menimbulkan atau berdampak timbulnya suatu proses pengembangan atau pematangan pandangan hidup pribadi. Jenis lingkungan tempat terjadinya interaksi ini dapat berupa keluarga, sekolah, tempat kerja, tempat bermain, berolahraga atau berekreasi, ataupun tempat lain (Muzaham, 1995). 1.1.3.2.Suku Suku merupakan unit-unit kebudayaan, dimana latar belakang kebudayaan tersebut berbeda-beda. Perbedaan ini akan menghasilkan tingkah laku yang berbeda pula, baik itu tingkah laku individu maupun tingkah laku kelompok. Tingkah laku yang dimaksud bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan

Universitas Sumatera Utara

mata saja, tetapi juga apa yang ada dalam pikiran. Pada manusia, tingkah laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana bertingkah laku dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi di atasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekitarnya (Muzaham,1995). 1.1.3.3.Dukungan Keluarga Keluarga didefenisikan oleh Friedman (1992) sebagai dua individu atau lebih yang bergabung bersama karena adanya ikatan saling berbagi dan ikatan kedekatan emosi yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian keluarga. Keluarga mengemban fungsi untuk kesejahteraan anggota keluarga yang mencakup 5 bidang yaitu biologi, ekonomi, pendidikan, psikologi dan sosial budaya (WHO,1978 dikutip dari Bobak, Lowdermilk, Jensen, 2005). Dukungan keluarga mengacu pada sistem atau jaringan yang membantu individu dalam proses kehidupan. Sebagai makhluk sosial tentunya individu tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, maka manusia membutuhkan dukungan sosial dari orang-orang sekitarnya berupa penghargaan, perhatian, dan cinta (Bobak, Lowdermilk, Jensen, 2005). Gottlieb (1983, dalam Kuntjoro 2002) mendefenisikan dukungan sosial (social support) sebagai inti verbal atau nonverbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang dekat dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya.

Universitas Sumatera Utara

Dukungan keluarga terjadi sepanjang hidup, dimana sumber dan jenis keluarga berpengaruh terhadap tahap lingkaran kehidupan keluarga.

1.2. Konsep Budaya 1.2.1.Defenisi Budaya Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Yunani culere yang berarti mengerjakan tanah. Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), sehingga kebudayaan diartikan sebagai hasil pemikiran atau akal manusia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata majemuk budi-daya yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa. Budi adalah akal yang merupakan unsur rohani dalam kebudayaan, sedangkan kebudayaan diartikan sebagai hasil dari akal dan ikhtisar manusia (Widyosiswoyo, 2004). Koentjaraningrat (1987) mendefenisikan kebudayaan sebagai seluruh total pikiran, karya, dan hasil manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Taylor (dalam Ibrahim, 2003) mendefenisikan kebudayaan sebagai segala sesuatu yang termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan menurut Kroeber dan Kluckhohn adalah manifestasi atau penjelmaan kerja jiwa manusia dalam arti seluas-luasnya. Dan menurut Ki Hajar

Universitas Sumatera Utara

Dewantara, kebudayaan berarti buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai (Widyosiswoyo, 2004). Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, hasil karya manusia, dan kebiasaan yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat yang diperoleh setelah proses belajar. 1.2.2.Cakupan Budaya Kebudayaan yang diartikan sebagai totalitas pikiran, tindakan dan karya manusia tersebut mempunyai tiga wujud (Koentjoroningrat, 1987 dalam Ibrahim, 2003). Pertama, kebudayaan sebagai kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, normanorma, peraturan, yag bersifat abstrak yang hanya dapat dirasakan, tetapi tidak dapat dilihat dan diraba. Widyosiswoyo (2004) mengatakan gagasan-gagasan yang ada di masyarakat saling terkait antara satu dengan yang lainnya, sehingga membentuk suatu sistem budaya atau culture system, contohnya adalah adat istiadat dan ilmu pengetahuan. Wujud kedua adalah suatu kompleks aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritus-ritus dari manusia dalam masyarakat yang mempunyai sifat dapat dirasakan dan dilihat tetapi tidak dapat diraba. Widyosiswoyo (2004) mengatakan wujud ini sebagai Sistem Sosial atau social system, contohnya adalah gotong royong dan kerja sama. Wujud ketiga adalah kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia yang bersifat dapat dilihat, dirasa, dan diraba. Wujud ini paling konkrit

Universitas Sumatera Utara

yang disebut kebudayaan fisik atau material (material culture), contohnya adalah Candi borobudur, rumah adat sampai kepada pesawat terbang, pesawat ruang angkasa. 1.2.3.Faktor-faktor Budaya Menurut Kluckhohn dalam karyanya Universal Categories Of Culture, ada tujuh unsur dalam kebudayaan universal (Ibrahim, 2003; Widyosiswoyo, 2004). Tujuh unsur tersebut adalah spiritualitas, sistem organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, kesenian. 1.2.3.1.Spiritualitas Berger & Williams (1992) menyatakan bahwa spritualitas dibatasi sebagai keyakinan atau hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, keilahian dan kekuatan yang menciptakan kehidupan. Sementara agama mengacu kepada sistem yang diorganisasikan dengan penyembahan, spritualitas dan praktek. Spiritualitas adalah kepercayaan atau suatu hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, pencipta atau sumber segala kekuatan (Burkhdart, 1993 dalam Kozier, Ebr, Blais & Wilkinson, 1995). Sementara itu Mickey et al (1992 dalam Hamid, 1999) menguraikan spiritualitas sebagai suatu multi dimensi, yaitu dimensi, yaitu dimensi eksisitensial dan dimensi agama. Dimensi eksisitensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Hamid (1999) juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang terus-menerus antara dua dimensi tersebut.

Universitas Sumatera Utara

1.2.3.2.Sistem organisasi dan kemasyarakatan Sistem organisasi dan kemasyarakatan merupakan produk dari manusia sebagai homo socius. Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah, namun manusia dengan akalnya membentuk kekuatan dengan cara menyusun organisasi kemasyarakatan yang merupakan tempat kerja bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama yaitu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Organisasi adalah unit sosial yang sengaja dibentuk dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Ibrahim, 2003). 1.2.3.3.Sistem pengetahuan Sistem pengetahuan merupakan produk dari manusia sebagai homo sapiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri dan juga dari pemikiran orang lain. Kemampuan manusia untuk mengingat apa yang telah diketahui, kemudian menyampaikan kepada orang lain melalui bahasa menyebabkan pengetahuan menyebar luas. Terlebih apabila pengetahuan itu dapat dibukukan, maka penyebarannya dapat dilakukan dari satu generasi ke generasi berikutnya. 1.2.3.4.Sistem mata pencaharian hidup Sistem mata pencaharian hidup merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat. Dalam tingkat sebagai food gathering, kehidupan manusia sama dengan hewan. Tetapi dalam tingkat food producing terjadi kemajuan yang pesat. Setelah bercocok tanam, kemudian beternak yang terus meningkat (rising demand) yang kadang-kadang cenderung serakah. Sistem mata pencaharian hidup ini meliputi jenis pekerjaan dan penghasilan.

Universitas Sumatera Utara

1.2.3.5.Sistem teknologi dan peralatan Sistem teknologi dan peralatan merupakan produksi dari manusia sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas serta dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat, manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat. Dengan alat-alat ciptaannya itu, manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya. 1.2.3.6.Bahasa Bahasa merupakan produk dari manusia sebagai homo longuens. Bahasa manusia pada mulanya diwujudkan dalam bentuk tanda (kode), yang kemudian disempurnakan dalam bentuk bahasa lisan, dan akhirnya menjadi bahasa tulisan. Bahasa-bahasa yang telah maju memiliki kekayaan kata yang besar jumlahnya sehingga makin komunikatif. 1.2.3.7.Kesenian Kesenian merupakan hasil dari manusia sebagai homo esteticus. Setelah mencukupi kebutuhan fisiknya, manusia perlu dan selalu mencari pemuas untuk memenuhi kebutuhan psikisnya. Semuanya itu dapat dipenuhi melalui kesenian. Kesenian ditempatkan sebagai unsur terakhir karena enam kebutuhan sebelumnya, pada umumnya harus dipenuhi lebih dahulu.

1.3. Pengaruh Sosial Budaya Terhadap Pemanfaatan Posyandu lansia Dalam undang-undang kesehatan No.23 Tahun 1992 disebutkan bahwa kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Notoatmodjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara

Setiap individu bahkan yang sudah lanjut usia berupaya untuk tetap sehat dengan cara berusaha untuk memperoleh kesehatan tersebut baik dari Rumah Sakit, Pelayanan Kesehatan Masyarakat maupun dari pengalaman orang terdahulu. Namun banyak faktor yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan termasuk sosial budaya (Denver dalam Juanitas, 1998). Berikut ada beberapa faktor sosial budaya yang mempengaruhi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan yang salah satunya adalah posyandu lansia yang merupakan program pelayanan kesehatan lansia di puskesmas. 1.3.1 Pendidikan/Pengetahuan Umumnya lansia memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Rendahnya tingkat pendidikan ini berkorelasi positif dengan buruknya kondisi sosial ekonomi sebagian besar lansia, rendahnya derajat kesehatan dan ketidakmandirian (bergantung pada keluarga lain) lansia secara ekonomi (PKBI, 2001). Peranan pendidikan dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan kesehatan sesuai dengan kematangan intelektual seseorang. Makin tinggi tingkat kematangan intelektual seseorang akan lebih mampu dan mudah memahami arti dan pentingnya kesehatan serta dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada (Tukiman, 1994). Hasil studi Notoatmodjo (1990 dalam Tukiman, 1994) menemukan bahwa pendidikan mempunyai hubungan yang bermakna dengan penggunaan posyandu. Umumnya seseorang dengan tingkat pendidikan formalnya lebih tinggi biasanya mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi bila dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikan formalnya lebih rendah. Kecenderungan seseorang untuk tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan didasari oleh pengetahuan yang

Universitas Sumatera Utara

berhubungan dengan suatu program maupun pelayanan kesehatan tersebut. Sementara pengetahuan yang ada pada setiap orang terbentuk dari seberapa jauh orang tersebut mandapatkan informasi yang berkaitan dengan masalah kesehatan. 1.3.2. Dukungan Keluarga Anggota keluarga membutuhkan dukungan dari keluarganya karena hal ini membuat individu tersebut merasa dihargai, anggota keluarga siap memberikan dukungan untuk menyediakan bantuan dan tujuan hidup yang ingin dicapai individu (Friedman, 1998). Dukungan keluarga merupakan suatu proses hubungan antara keluarga dan lingkungan sosialnya (Kane, 1988 dalam Friedman, 1998). Dukungan terhadap anggota keluarga yang telah lanjut usia sangatlah diperlukan dari orang-orang yang dekat dengan mereka terutama keluarga agar lansia dapat menikmati kehidupan di hari tua dengan bergembira atau merasa bahagia. Dukungan dari keluarga terdekat dapat saja berupa anjuran yang bersifat mengingatkan lansia untuk tidak bekerja secara berlebihan, memberikan kesempatan kepada lansia untuk melakukan aktivitas yang menjadi hobinya, memberi kesempatan kepada lansia untuk menjalankan ibadah dengan baik, memeriksakan kesehatan dan memberikan waktu istirahat yang cukup kepadanya sehingga lansia tidak mudah stress dan cemas. Hal yang perlu diperhatikan anggota keluarga adalah perlunya mengajak lansia untuk berdiskusi tentang halhal baru dan sering memberi petunjuk atau petuahnya sehingga lansia merasa tetap eksis dan memiliki rasa percaya diri dalam mengambil keputusan untuk kepentingan kehidupan dirinya (Kuntjoro, 2002). 1.3.3. Spiritualitas

Universitas Sumatera Utara

Spiritualitas adalah kepercayaan atau suatu hubungan dengan kekuatan yang lebih tinggi, pencipta atau sumber segala kekuatan (Burkhdart, 1993 dalam Kozier, Ebr, Blais & Wilkinson, 1995). Pada lanjut usia keyakinan dan

pengalaman spiritual merupakan bagian penting dalam memberikan warna, transisi kehidupan seperti saat-saat terakhir dalam hidup dan kematian menantang seseorang untuk mendalami keyakinannya dan bertumbuh (Luecknotte, 2000). Agama atau keyakinan spiritual dan pengalaman dapat menjadi instrumen dalam menolong lanjut usia dalam menghadapi takut (Hall, 1997 dalam Luecknotte, 2000). Spiritual merupakan strategi koping yang penting (Pargament, 1998 dalam Rowe & Allen, 2004). Beberapa karakteristik yang meliputi hubungan spiritualitas antara lain adalah hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam, hubungan dengan orang lain dan hubungan dengan Tuhan (Hamid, 1999). Pertama hubungan dengan diri sendiri merupakan kekuatan dari dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan diri yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang menyangkut kepercayaan pada diri sendiri, kepercayaan pada masa depan, ketenangan pikiran, serta keselarasan dengan diri sendiri (Burkhdart, 1993 dalam Kozier, Ebr, Blais & Wilkinson, 1995). Kedua yaitu hubungan dengan orang lain, terbagi atas harmonis dan tidak harmonis. Keadaan harmonis meliputi pembagian waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik, mengasuh anak, mengasuh orangtua dan orang sakit, serta menyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis berkaitan dengan konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan

Universitas Sumatera Utara

ketidak harmonisan dan friksi (Burkhdart, 1993 dalam Kozier, Ebr, Blais & Wilkinson, 1995). Ketiga yaitu hubungan dengan alam, merupakan hubungan yang harmoni meliputi pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim, dan berkomunikasi dengan alam serta melindungi alam tersebut (Burkhdart, 1993 dalam Kozier, Ebr, Blais & Wilkinson, 1995). Terjalinnya hubungan baik antara manusia dengan alam akan menghindarkan perusakan alam (Anwar, 2006). Keempat yaitu hubungan dengan Tuhan, hubungan ini meliputi agamais ataupun tidak agamais. Keadaan ini menyangkut sembahyang dan berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah, perlengkapan keagamaan, serta bersatu dengan alam (Burkhdart, 1993 dalam Kozier, Ebr, Blais & Wilkinson, 1995). 1.3.4. Sistem mata pencaharian hidup Salah satu yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah keterjangkauan (affordable) oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang dimaksud disini terutama dari sudut biaya. Penelitian oleh Ongko (1988 dalam Tukiman, 1994) tentang demand masyarakat ke balai kesehatan masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh faktor harga. Individu akan lebih mudah memanfaatkan suatu pelayanan kesehatan apabila pelayanan yang diberikan bebas biaya (Marr & Giebing, 2001). Lanjut usia yang ditandai dengan menurunnya produktivitas kerja, memasuki masa pensiun atau berhentinya pekerjaaan utama. Hal ini berakibat pada menurunnya pendapatannya (Suardiman, 2001). Buruknya kondisi sosial ekonomi sebagian besar lansia, akan mempengaruhi rendahnya derajat kesehatan

Universitas Sumatera Utara

dan ketidakmandirian (bergantung pada keluarga lain) lansia secara ekonomi, kondisi ini akan mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan (PKBI, 2001). 1.3.5. Sistem organisasi Sosial Sistem organisasi sosial/masyarakat adalah sistem sosial yang terbentuk karena adanya kebutuhan dari masyarakat itu sendiri yang bertujuan agar dapat beradaptasi terhadap lingkungannya yang didalamnya terdapat aktivitas-aktivitas yang dibentuk dan dilakukan oleh masyarakat itu sendiri (Koentjaraningrat, 1990). Lanjut usia yang umumnya sudah pensiun mengakibatkan kontak sosialnya berkurang dan seringnya ditinggal anggota keluarga yang semakin sibuk dengan urusan masing-masing menyebabkan adanya keinginan bagi sebagian besar lansia untuk bertemu dengan teman sesama lansia. Terbentuk posyandu lansia di berbagai wilayah, menjadikannya sebuah tempat untuk bertemu dengan temanteman lansia dan saling berbagi cerita mulai dari cara pencegahan penyakit, anak hingga cucu mereka (Sulistyawati, 2006). Dalam sebuah artikel berjudul its cool to be geri oleh Mucha tahun 2000 dikatakan bahwa tujuan utama dari kelompok lansia adalah memperhatikan kebutuhan perkembangan lansia dari segi fisik, pekerjaan yang mampu dilakukan oleh lansia dan menyediakan kesempatan untuk melakukan kegiatan yang dapat dilakukan pada komunitas lansia. Untuk itu para lansia membentuk suatu kelompok lansia yang menghimpun para lansia dalam upaya meningkatkan kualitas mereka, yang biasa dilakukan dalam bentuk periodik.

Universitas Sumatera Utara

2. Posyandu lansia 2.1. Lanjut Usia 2.1.1.Defenisi Lanjut Usia Undang-Undang Nomor 4 tahun 1965 yang menyatakan seseorang sebagai orang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mancapai umur 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Menurut UndangUndang nomor 13 tahun 1998 mengenai kesejahteraan lanjut usia pada pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia enam puluh tahun keatas (Suardiman, 2001). Berdasarkan kebijakan operasional Departemen Sosial lanjut usia adalah mereka yang berusia 60 tahun keatas baik yang potensial maupun yang tidak potensial (Syamsuddin, 2003). Sesuai dengan batasan lanjut usia menurut WHO South East Asia Regional Office (Organisasi Kesehatan Dunia untuk Regional Asia Selatan dan Timur) adalah usia lebih dari 60 tahun (Rully, 2004). Usia lanjut merupakan periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang penuh dengan manfaat. Seseorang yang sudah beranjak jauh dari periode hidupnya yang terdahulu sering melihat masa lalunya, biasanya penuh penyesalan dan cenderung ingin hidup pada masa sekarang dan mencoba mengabaikan masa depan sedapat mungkin (Haas, 1976 dalam Hurlock, 1980). 2.1.2.Batasan-batasan usia lanjut

Universitas Sumatera Utara

WHO membagi lansia berdasarkan tingkatan umur, yakni: usia pertengahan (middle age) antara 54-59 tahun, lanjut usia antara 75-90 tahun dan sangat tua (very old) diatas 90 tahun. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro membagi lanjut usia menjadi tiga bagian yakni umur 65 atau 70-75 tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old) (Nugroho, 2000). Sedangkan Hurlock (1980) membagi lanjut usia menjadi dua bagian yaitu usia lanjut dini berkisar antara usia 60-70 tahun dan usia lanjut mulai pada usia 70 tahun sampai akhir kehidupan. 2.1.3.Proses menua dan perubahan-perubahan pada lansia Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantinides, 1994 dalam Nugroho, 2000). Bondan (2005) mengatakan bahwa proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu, kemunduran ini digambarkan melalui empat tahap yaitu kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (limitations), ketidakmampuan (disability) dan keterhambatan (handicap). Proses menua ini adalah proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Dapat disimpulkan proses menua merupakan proses yang terus-menerus (berlanjut) secara alamiah dan dialami pada semua makhluk hidup (Nugroho, 2000).
Perubahan yang pada umumnya dihadapi oleh lansia dapat dikelompokkan ke dalam perubahan ekonomi, perubahan sosial budaya, perubahan kesehatan dan perubahan psikologis (Suardiman, 2001). Perubahan ekonomis pada lansia ditandai dengan menurunnya produktivitas kerja, memasuki masa pensiun atau berhentinya pekerjaaan utama. Hal ini berakibat pada menurunnya pendapatnya dan membuat lansia tergantung atau menjadi beban anak cucu atau anggota

Universitas Sumatera Utara

keluarga lainnya. Dalam penelitian di lapangan/komunitas, didesa maupun kota 78,3% mengaku hidup serba pas-pasan, 14,1% mengaku hidupnya berlebih, 7,6% mengaku hidupnya dalam kekurangan dan hanya 1,4% mengaku dapat hidup memanfaatkan tabungan sebelumnya (Darmojo & Martono, 1991). Perubahan sosial budaya pada lansia ditandai dengan berkurangnya kontak sosial, baik dengan anggota keluarga, anggota masyarakat maupun teman kerja akibat terputusnya hubungan kerja karena pensiun. Disamping itu kecenderungan meluasnya keluarga inti akan mengurangi kontak sosial lansia. Hal ini dapat juga karena makin melemahnya nilai kekerabatan, sehingga anggota keluarga yang berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati (Suardiman, 2001).

Perubahan kesehatan/faal tubuh pada lansia adalah alamiah, maka manusia yang mulai menjadi tua akan mengalami berbagai perubahan, baik yang menyangkut kondisi fisik yang mengalami penurunan fungsi fisik tubuh secara keseluruhan yang bersifat patologis berganda (multyple pathology) yang ditandai dengan adanya kemunduran fungsi alat indra, berkurangnya ealstisitas organ paruparu, jantung, ginjal dan tulang. Tekstur kulit menjadi kering, kekakuan dan kerapuhan pada sendi sehingga kerentanan terhadap penyakit akan meningkat yang biasanya bersifat kronis dan progresif (Nugroho, 2000). Pendapat Rossman (1980) dan Whitbourne (1985) (dalam Rully, 2004) dapat diketahui bahwa penampilan fisik mulai berubah dari penampilan tubuh sekitar pada pertengahan kehidupan. Perubahan tersebut dicirikan oleh rambut yang mulai menipis dan beruban, berat badan meningkat hingga sekitar 50 tahun dan sedikit menurun setelah itu akibat munculnya pendistribusian lemak kembali, tampak kerutankerutan pada wajah, kaki, lengan, bagian bawah, perut, pantat dan lengan bagian atas, tulang menjadi rapuh dan keropos serta pada wanita kadang-kadang terjadi perpendekan atau pelipatan tulang belakang. Perubahan psikologis yang dihadapi lansia pada umumnya meliputi : kesepian, terasing dari lingkungan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri, ketergantungan, keterlantaran terutama bagi lansia yang miskin, post power syndrome, dan sebagainya. Kehilangan perhatian dan dukungan dari lingkungan sosialnya yang biasanya berkaitan dengan hilangnya otoritas atau kedudukan,

Universitas Sumatera Utara

dapat menimbulkan konflik atau keguncangan. Aspek psikologi merupakan faktor penting dalam kehidupan seseorang dan menjadi semakin penting dalam kehidupan seorang lansia. Aspek psikologis ini lebih menonjol dari pada aspek materiil dalam kehidupan seorang lansia (Suardiman, 2001).

2.2. Pelayanan Kesehatan di Komunitas 2.2.1.Primary Health Care Primary Health Care atau pelayanan kesehatan utama adalah suatu pendekatan pelayanan kesehatan dimana fokusnya adalah promosi kesehatan dan pencegahan terhadap penyakit melalui rangkaian perawatan kesehatan dimana yang menjadi perhatian dari Primary Health Care (PHC) adalah kesehatan komunitas atau populasi dalam satu area tertentu (Institute of Medicine, 1994 dalam Jan, R. A. et al, 2000). Dengan kata lain PHC adalah pelayanan kesehatan pokok yang berdasarkan kepada metoda dan teknologi praktis, ilmiah, dan sosial yang dapat diterima secara umum baik melalui individu maupun keluarga dalam masyarakat, melalui partisipasi mereka sepenuhnya, serta dengan biaya yang dapat terjangkau oleh masyarakat dan negara untuk memelihara setiap tingkat perkembangan mereka dalam semangat untuk hidup mandiri dan menentukan nasib sendiri (Effendy, 1998). Tujuan dari PHC yaitu memungkinkan seluruh anggota masyarakat untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan, melibatkan individu, keluarga, dan masyarakat dalam mengidentifikasi prioritas kesehatan dan perencanaan serta implementasi perawatan kesehatan, pelayanan kesehatan lebih diutamakan pada upaya preventif dan promotif daripada kuratif, mengintegrasikan perkembangan

Universitas Sumatera Utara

kesehatan dengan perkembangan sosial ekonomi, serta memberi perhatian terhadap kepercayaan klien dalam menerima praktik perawatan kesehatan (Abramson & Kark, 1983 dalam Jan, R. A. et al, 2000). Sesuai dengan pendapat McElmurry, Swider, dan Watanakij (1992 dalam Jan, R. A. et al, 2000), diperlukan strategi dalam mendukung perawatan diri dan manajemen diri. Seorang individu diajarkan untuk menggunakan pengetahuan, keahlian, dan sikap dalam meningkatkan derajat kesehatan individu maupun masyarakat. Strategi PHC kini telah dikembangkan dengan dibangunnya pelayanan kesehatan bagi public seperti puskesmas maupun posyandu. Di Indonesia puskesmas merupakan tulang punggung pelayanan kesehatan tingkat pertama. Azwar (1996) mendefenisikan puskesmas sebagai suatu kesatuan organisasi fungsional yang langsung memberikan pelayanan secara menyeluruh kepada masyarakat dalam suatu wilayah kerja tertentu dalam bentuk usaha-usaha kesehatan pokok. Berdasarkan Buku Pedoman Kerja Puskesmas ada 20 usaha pokok kesehatan yang dapat dilakukan oleh puskesmas. Salah satu kegiatan pokok puskesmas adalah upaya kesehatan usia lanjut (Effendy, 1998). Maka

berdasarkan kebutuhan lansia terhadap pelayanan kesehatan, puskesmas membuat program posyandu lansia. Perencanaan program lansia di puskesmas Mojo di Jawa Tengah telah dilaksanakan walaupun sarana untuk posyandu lansia belum ada sehingga belum dapat dilaksanakan pengembangan posyandu lansia (Hartiningsih, 2001). Posyandu lansia merupakan suatu wadah pelayanan kepada lanjut usia di masyarakat, pembentukan dan pelaksanaannya oleh masyarakat yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup lansia dengan membantu lansia dalam memperoleh

Universitas Sumatera Utara

derajat kesehatan yang optimal, menemukan secara dini penyakit pada lansia, sebagai wahana informasi bagi lansia dan keluarga dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan lansia serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memelihara kesehatan lansia (Ismuningrum, 2001). Salah satu manfaat dari program posyandu lansia yang dirasakan oleh lansia terdapat pada artikel yang berjudul DIY: Provinsi Lansia oleh Suardiman (2001) menyatakan bahwa secara ideal untuk menuju kepada lansia yang mandiri, sejahtera dan bermanfaat yang perlu dipersiapkan secara dini oleh masing-masing individu itu sendiri dengan dukungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Kegiatan program posyandu lansia yang dilakukan Puskesmas Darussalam berupa pelayanan kesehatan dan pencacatan pada Kartu Menuju Sehat (KMS) yang terdiri dari pemeriksaan lab (HB, reduksi urine, protein urine), pengukuran tinggi dan berat badan, pengukuran tekanan darah, pengukuran mental, konsultasi kesehatan, penyuluhan kelompok lansia, rujukan ke rumah sakit, pengobatan (seperti : anemia, DM, gangguan ginjal, dll) serta pembinaan senam lansia (Puskesmas Darussalam, 2005). 2.2.2. Upaya Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Lansia Menurunnya fungsi tubuh pada lansia yang seiring dengan aging process menyebabkan lansia rentan terhadap berbagai macam penyakit (Nugroho, 1995). Berbagai perubahan yang terjadi baik perubahan fisik, psikologis, dan sosial dapat menurunkan kemandirian, produktifitas kerja, dan kualitas fisiknya (Depkes RI, 1993, dalam Rasmaliah, 1996). Angka kejadian penyakit kronis dan gangguan mental meningkat maka adanya dukungan rehabilitatif menjadi sangat diperlukan (BMJ, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Melihat berbagai kekhususan penampilan penyakit pada usia lanjut maka terdapat dua prinsip pelayanan yang harus dipenuhi untuk melaksanakan pelayanan kesehatan pada lansia yaitu Prinsip Holistik dan Tatakerja dan Tatalaksana sacara TIM (Darmojo dan Martono, 1999). Pertama yaitu Prinsip Holistik yang mengandung artian baik secara vertikal atau horisontal. Secara vertikal berarti pelayanan harus dimulai dari pelayanan di masyarakat sampai ke pelayanan rujukan tertinggi, yaitu rumah sakit. Holistik secara horisontal berarti bahwa pelayanan kesehatan harus merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan lansia secara menyeluruh yang mencakup aspek pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Pendapat Bondan (2006) mengenai keperawatan gerontik secara holistik yaitu menggabungkan aspek pengetahuan dan ketrampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam mempertahankan kondisi kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual lansia Hal ini diupayakan untuk memfasilitasi lansia ke arah perkembangan kesehatan yang lebih optimum, dengan pendekatan pada pemulihan kesehatan, memaksimalkan kualitas hidup lansia. Kedua yaitu Tatakerja dan Tatalaksana secara TIM. Tim geriatri merupakan bentuk kerjasama multidisipliner yang bekerja secara interdisipliner dalam mencapai tujuan pelayanan geriatri yang dilaksanakan. Menurut Rully (2004) pendekatan interdisiplin merupakan model pendekatan yang melihat

manusia secara utuh dan tidak diobati dengan hanya melihat per bagian tubuh yang sakit. Pendekatan interdisiplin sebagai salah satu model pendekatan

Universitas Sumatera Utara

pelayanan pasien lanjut usia, seyogyanya dapat diterapkan di berbagai institusi kesehatan yang melayani orang lanjut usia. Pelayanan lansia ini meliputi kegiatan upaya-upaya antara lain upaya promotif, upaya preventif, upaya kuratif, upaya rehabilitasi (Asfriyati, 2000). Upaya promotif, yaitu menggairahkan semangat hidup bagi lansia agar mereka tetap dihargai dan tetap berguna baik bagi dirinya sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Upaya promotif dapat berupa kegiatan penyuluhan tentang kesehatan dan pemeliharaan kebersihan diri, makanan dengan menu yang mengandung gizi yang seimbang, kesegaran jasmani yang dilakukan secara teratur dan disesuaikan dengan kemampuan lansia, pembinaan mental dalam meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, membina keterampilan agar dapat

mengembangkan kegemaran sesuai dengan kemampuan, meningkatkan kegiatan sosial di masyarakat. Upaya preventif yaitu upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya penyakit maupun komplikasi penyakit yang disebabkan oleh proses penuaan. Upaya preventif dapat berupa kegiatan pemeriksaan kesehatan secara berkala dan teratur untuk menemukan secara dini penyakit-penyakit lansia, kesegaran jasmani yang dilakukan secara teratur, penyuluhan tentang penggunaan berbagai alat bantu misalnya kacamata, alat bantu dengar, dan lain-lain agar lansia tetap merasa berguna, penyuluhan untuk mencegah terhadap kemungkinan terjadinya

kecelakaan pada lansia, pembinaan mental dalam meningkatkan ketaqwaan. Upaya kuratif yaitu upaya pengobatan bagi lansia. Upaya kuratif dapat berupa kegiatan pelayanan kesehatan dasar, pelayanan kesehatan spesialis melalui sistem rujukan Upaya rehabilitasi yaitu upaya mengembalikan fungsi organ yang

Universitas Sumatera Utara

telah menurun. Upaya rehabilitasi dapat berupa kegiatan memberikan informasi, pengetahuan, dan pelayanan tentang penggunaan berbagai alat bantu misalnya kacamata, alat bantu dengar dan lain-lain, mengembalikan kepercayaan pada diri sendiri dan memperkuat mental lansia, pembinaan lansia dalam hal pemenuhan kebutuhan pribadi, aktifitas didalam maupun di luar rumah, nasihat cara hidup yang sesuai dengan penyakit yang diderita, dan perawatan fisio terapi. 1.2.3.Peran Perawat Bila penjaminan kualitas berbicara tentang pelaksanaan kerja secara profesional oleh para tenaga berkualitas, maka peran dan kontribusi para perawat merupakan hal yang penting. White (1982 dalam Lueckentte, 2000) menyatakan bahwa peran perawat tidak hanya terbatas di institusi rumah sakit saja melainkan perawat juga berperan dalam mempertahankan derajat kesehatan komunitas dimana kualitas perawat yang diperlukan harus memiliki kompetensi yang tinggi karena klien yang dihadapi adalah komunitas atau masyarakat luas. Perawat komunitas juga berperan dalam meminimalkan terjadinya transmisi atau penularan penyakit di komunitas. Berdasarkan Quad Council (1999 dalam Lueckentte, 2000) seorang perawat komunitas bekerja sesuai dengan langkah-langkah berikut: (1) Menggunakan proses yang komprehensif dan sistematis melakukan pengkajian terhadap kesehatan masyarakat dan membuat intervensi yang sesuai dengan keadaan masyarakat. (2) Membangun hubungan kerjasama dengan pihak lain yaitu bahwa perawat harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dengan melakukan pendekatan dan menjalin rasa percaya satu sama lain agar masyarakat mau menerima apa yang disampaikan oleh

Universitas Sumatera Utara

perawat. (3) Fokus pada langkah pencegahan yaitu perawat komunitas harus mampu mengenali kelompok resiko tinggi terhadap suatu macam penyakit, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan. (4) Menciptakan lingkungan yang sehat dengan memberikan informasi tentang lingkungan yang sehat dan yang nyaman untuk tempat tinggal. (5) Menentukan target pelayanan yaitu perawat harus dapat menentukan siapa yang membutuhkan pelayanan yang disediakan. (6) Membuat prioritas kebutuhan yaitu mendahulukan masyarakat yang benar-benar membutuhkan pelayanan segera. (7) Memelihara sumber daya. (8) Kolaborasi dengan pihak lain seperti kader maupun organisasi masyarakat.
Perawat komunitas harus dapat mengenali kelompok khusus yang beresiko mengalami penurunan derajat kesehatan seperti para lansia. Perawat komunitas perlu memahami proses penuaan dan masalah yang mungkin muncul karena proses penuaan tersebut sehingga dengan demikian perawat dapat menyediakan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan lansia supaya lansia mampu bertanggung jawab dalam usaha mempertahankan derajat kesehatan mereka (Stone & McGuire, 1998). Perawat lansia di komunitas juga melibatkan perawat jiwa komunitas dan anggota tim kesehatan mental komunitas (Watson, 2003).

1.2.4.Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lansia Pemanfaatan adalah penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan yang disediakan baik dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, kunjungan rumah oleh petugas/tenaga kesehatan ataupun bentuk kegiatan lain dari pemanfaatan pelayanan kesehatan tersebut (Azwar, 1996). Rosenstock (dalam Muzaham, 1995) mengatakan beberapa teori tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan antara lain kepekaan seseorang terhadap penyakit, persepsi seseorang terhadap konsekuensi dari penyakit, persepsi seseorang terhadap keuntungan yang diperoleh dari penggunaan pelayanan kesehatan dan persepsi seseorang terhadap hambatan-hambatan di dalam mengunakan pelayanan kesehatan. Azwar (1996) mengatakan suatu pelayanan kesehatan harus memiliki berbagai persyaratan pokok yang dapat memberi pengaruh kepada konsumen

Universitas Sumatera Utara

dalam menentukan pilihannya terhadap penggunaan pelayanan kesehatan, yaitu: tersedia dan berkesinambungan, dapat diterima dan wajar (pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat), mudah dicapai dari sudut lokasi untuk menentukan permintaan yang efektif, terjangkau dari sudut biaya sesuai dengan pada kemampuan tingkat ekonomi masyarakat, pelayanan bermutu kesehatan yang yang

menunjukkan

kesempurnaan

diselenggarakan.
Menurut Lapau (1997, dalam Rifai, 2005) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan, yaitu: faktor sosiodemografis (umur, jenis kelamin, status perkawinan, besar family, kebangsaan, suku bangsa, agama), faktor sosiopsikologis (persepsi terhadap pelayanan kesehatan, pengetahuan dan sumber informasi dari pelayanan kesehatan), faktor ekonomi (pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan), dapat digunakan pelayanan kesehatan (meliputi jarak antara rumah penderita dengan tempat pelayanan kesehatan), dan variabel yang menyangkut kebutuhan (meliputi morbidity, gejala penyakit yang dirasakan oleh penderita yang bersangkutan, status terbatasnya keaktifan yang kronis, hari-hari dimana tidak dapat melakukan tugas dan diagnosa).

Sedangkan menurut Denver (1984) dalam Juanitas (1998) faktor determinan yang mempengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu: (1) Faktor sosiobudaya termasuk norma-norma atau nilai-nilai yang ada di masyarakat sangat besar pengaruhnya terhadap pemanfaatan pelayanan, pengaruh teknologi terhadap pemanfaatan suatu pusat pelayanan bisa positif maupun negatif. (2) Faktor organisasi. (3) Faktor interaksi pemberi (provider) dan penerima pelayanan kesehatan (masyarakat). Faktor-faktor tersebut dapat dirumuskan sebagai berikuti: predisposing factor (knowledge), enabling factors (affordable, accesible, needs), reinforcing factor (amenities) (Green, 1980 dalam Tukiman, 1994). Pertama Predisposing Factors (faktor pencetus), faktor predisposisi adalah faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang timbul dari dalam diri individu. Faktor predisposisi adalah faktor yang mendahului perilaku yang menjelaskan alasan atau motivasi untuk berperilaku terutama dalam perilaku kesehatan, hal inilah yang

Universitas Sumatera Utara

menyebabkan masing-masing individu memiliki kecenderungan yang berbeda dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dipengaruhi oleh pengetahuan. Pada prinsipnya seseorang menggunakan jasa pelayanan kesehatan dipengaruhi perilakunya yang terbentuk antara lain dari pengetahuannya. Kecenderungan seseorang untuk tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan didasari oleh pengetahuan orang yang bersangkutan akan pengetahuan yang berhubungan dengan suatu program maupun dengan pelayanan kesehatan tersebut. Sementara itu sejumlah pengetahuan yang ada pada setiap orang yang terbentuk dari seberapa jauh orang tersebut mendapatkan informasi yang berkaitan dengan masalah kesehatan (Tukiman, 1994). Hasil penelitian Notoatmodjo, dkk (1990 dalam Tukiman, 1994) menunjukkan pengetahuan berhubungan dengan tinggi rendahnya penggunaan posyandu. Semakin banyak informasi yang diterima oleh masyarakat tentang pelayanan kesehatan semakin baik persepsinya terhadap pelayanan tersebut. Pengetahuan individu tentang pentingnya untuk

mempertahankan kesehatan juga diperlukan agar individu memiliki persepsi yang positif terhadap pelayanan kesehatan sehingga ia mau memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada dengan optimal (Effendy, 1998). Kedua Enabling factors (faktor yang memudahkan), faktor predisposisi harus didukung pula oleh hal-hal lain agar individu memanfaatkan pelayanan kesehatan. Faktor pendukung/faktor yang memudahkan antara lain affordable (keterjangkauan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan biaya pelayanan kesehatan), accesible (ketercapaian pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan jarak ke tempat pelayanan kesehatan ), needs (kebutuhan kesehatan yang lebih menitik beratkan pada pelayanan yang diberikan oleh perawat atau petugas

Universitas Sumatera Utara

kesehatan dimana pelayanan yang diberikan harus mencakup pemenuhan kebutuhan secara menyeluruh agar pencapaian peningkatan kesehatan dapat terjangkau) (Sociological Research Online, 1997). Andersen (1975, dalam Muzaham, 1995) mengatakan bila enabling factors telah terpenuhi maka individu cenderung menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada pada saat sakit. Untuk penyakit yang tergolong berat maka kondisi ekonomi merupakan penentu akhir bagi individu dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Ketiga Reinforcing factors, adalah faktor penguat perubahan perilaku seseorang di bidang kesehatan. Beberapa faktor penguat ini antara lain menyangkut sikap petugas, tokoh masyarakat, teman sebaya, dan lain-lain (Green, 1980 dalam Tukiman, 1994). Kenyamanan pelayanan (amenities) merupakan salah satu dari kewajiban etik. Kenyamanan yang dimaksudkan tidak hanya menyangkut fasilitas yang disediakan, tetapi yang terpenting yaitu menyangkut sikap serta tindakan para pelaksana tindakan perawatan ketika menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Menurut Rockeach (1972, dalam Tukiman, 1994) sikap sebagai suatu kumpulan (organisasi) keyakinan-keyakinan yang relatif abadi terhadap suatu objek atau situasi yang mempengaruhi (predisposisi) seseorang untuk memberikan respon dengan cara-cara yang disukainya. Sikap disini diartikan sebagai sikap petugas kesehatan dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan. Semakin baik sikap seseorang terhadap suatu program biasanya akan cenderung mengikuti suatu program secara baik. Sementara itu sikap petugas dalam memberikan pelayanan kesehatan besar pengaruhnya terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan serta mempengaruhi persepsi lansia akan pelayanan

kesehatan yang diberikan (Bintang, 1989 dalam Tukiman, 1994).

Universitas Sumatera Utara

You might also like