You are on page 1of 51

I. A.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Sayuran merupakan bahan pangan yang berperan untuk memenuhi kebutuhan tubuh manusia akan vitamin yang tidak dapat disintesis sendiri oleh tubuh manusia, mineral tertentu, serta protein nabati. Dengan demikian terdapatnya sayuran dalam menu sehari-hari amatlah penting, walaupun dalam jumlah yang relatif kecil karena sayuran merupakan salah satu sumber gizi. Peningkatan produksi dan mutu tanaman termasuk di dalamnya komoditas hortikultura ditujukan untuk memperbaiki gizi masyarakat, mempertahankan stabilitas ekonomi, dan peningkatan kesempatan kerja. Peranan sayuran semakin meningkat peranannya sejalan dengan meningkatnya pembangunan di Indonesia, baik dalam kehidupan masyarakat maupun dalam perekonomian negara. Tanaman sayuran merupakan jenis tanaman hortikultura yang banyak ditanam petani di daerah pegunungan maupun dataran rendah. Dilihat dari kandungan gizinya, tanaman sayuran mempunyai nilai kalori yang tinggi serta banyak mengandung vitamin A, B, dan C (Sunarjono dan Rismunandar, 1981 dalam Wahyuningsih, 2000). Salah satu jenis tanaman sayuran yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat adalah tanaman caisin, yang berasal dari famili Brassicaceae. Tanaman ini mudah ditanam baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah (Nazaruddin, 1995 dalam Yuliasmoro, 2000). Pengembangan tanaman ini di Indonesia masih dimungkinkan mengingat pentingnya komoditas ini, dan juga masih tersedianya lahan yang luas serta kondisi

lingkungan yang mendukung perkembangan tanaman caisin khususnya, dan tanaman sayuran pada umumnya (Soerojo, 1991 dalam Yuliasmoro, 2000). Menurut data dari Departemen Pertanian (2005 dalam Aziz, 2007), pada tahun 2000-2004 produksi caisin di Indonesia berturut-turut 454.815, 434.043, 461.069, 459.253, 534.964 ton, yang artinya hampir tiap tahun mengalami peningkatan produksi, kecuali pada tahun 2001. Peningkatan produksi ini harus tetap dijaga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan caisin. Upaya untuk menjaga peningkatan produksi caisin seringkali mengalami kendala, di antaranya adanya gangguan hama dan penyakit. Hama dan patogen penting yang terdapat pada tanaman caisin di antaranya yaitu hama Plutella xylostella Linn. dan Plasmodiophora brassicae. Plutella xylostella disebut juga ulat tritip atau ngengat punggung berlian, tersebar di seluruh dunia di daerah tropis, sub tropis dan sedang. Ulat tritip sangat kecil, tetapi sangat merugikan tanaman dari suku kubis-kubisan seperti tanaman caisin. Dalam satu tahun beberapa generasi dapat dihasilkan apabila kondisi menguntungkan. Di negara subtropis tidak lebih dari 2 - 3 generasi per tahun, sedamgkan di negara tropis dapat mencapai 16 generasi. Hama P. xylostella mempunyai daerah sebaran luas baik di daerah tropis maupun subtropis. Di Indonesia hama tersebut dilaporkan menyerang tanaman caisin di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (Departemen Pertanian, 2007b). Penyakit akar bengkak (akar gada, akar pekuk, club root) baru diketahui untuk pertama kali di Indonesia pada tahun 1975 (Suhardi et al., 1976 dalam

Semangun, 1996). Pada tahun 1975 dan 1976 penyakit masih terbatas di sekitar Lembang, Bandung. Makin lama penyakit makin meluas, sehingga pada tahun 1979 sudah terdapat di seluruh Jawa Barat. Pada waktu itu penyakit belum ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tahun 1984 penyakit terdapat di Sumatera Utara (Djatnika, 1984 dalam Semangun, 1996). Penyakit akar bengkak dapat menjangkiti bermacam-macam tumbuhan dari suku kubis-kubisan (Cruciferae), baik tanaman pertanian maupun tumbuhan liar. Kerugian yang ditimbulkannya dapat sangat besar, karena pertanaman yang terserang sama sekali tidak memberikan hasil yang dapat dijual. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae Wor. (Semangun, 1996). B. Tujuan Tujuan praktik kerja lapang ini sebagai berikut. 1. Mengenal keadaan umum dan struktur kelembagaan

Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung. 2. Mengamati populasi hama Plutella xylostella dan

intensitas penyakit akar gada pada tanaman caisin di Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung. 3. Mengetahui upaya pengendalian yang dilakukan

terhadap OPT pada tanaman caisin di Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung. 4. Mengetahui cara budidaya tanaman caisin di Kebun

Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung.

C. Sasaran Sasaran pelaksanaan praktik kerja lapang ini sebagai berikut. 1. Memperoleh informasi

tentang keadaan umum dan struktur kelembagaan Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung. 2. Memperoleh informasi

tentang hama Plutella xylostella dan penyakit akar gada pada tanaman caisin serta kerusakan yang ditimbulkannya di Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung. 3. Mengetahui secara langsung

upaya pengendalian yang dilakukan terhadap OPT tanaman caisin di Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung. 4. Memperoleh informasi

tentang cara budidaya tanaman caisin di Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung. D.Manfaat Manfaat praktik kerja lapang ini sebagai berikut. 1. Menambah pengalaman kerja yang tidak didapatkan

dalam perkuliahan dan sebagai studi banding antara teori dengan praktik di lapang. 2. Membuka wawasan dan pola pikir sehubungan

dengan permasalahan beberapa jenis OPT penting tanaman caisin di lapang.

3.

Menambah keterampilan dan pengetahuan dalam

melakukan pengendalian OPT tanaman caisin di lapang. 4. Memperoleh pengetahuan dasar sebagai bahan

pertimbangan untuk melaksanakan penelitian. 5. Menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa

pelaksana Praktik Kerja Lapang tentang dunia kerja.

II.

TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Caisin

Caisin merupakan jenis sayuran yang paling banyak dipasarkan di kalangan konsumen. Caisin atau sawi tergolong sayuran yang dapat ditanam pada berbagai musim. Oleh karena itu, sayuran ini dapat ditanam sepanjang tahun, baik pada musim hujan maupun musim kemarau dengan hasil yang relatif tidak berbeda (Haryanto et al., 2003 dalam Aziz, 2007). Menurut Rukmana (1994 dalam Aziz, 2007), caisin atau sawi dapat ditanam pada berbagai jenis tanah, namun yang paling baik adalah jenis tanah lempung berpasir, seperti tanah andosol. Pada tanah yang mengandung liat diperlukan pengolahan lahan yang sempurna, antara lain pengolahan tanah yang cukup dalam, penambahan pasir dan pupuk kandang dalam jumlah yang besar. Caisin akan tumbuh baik apabila tanah memenuhi unsur: subur, gembur, banyak mengandung humus, air tidak menggenang dan pH tanah antara 6-7. Akan tetapi caisin juga toleran terhadap pH tanah antara 5,9-8,2. Selanjutnya dikatakan, pada daerah yang memiliki suhu malam hari 15,6 oC dan siang harinya 21,1 oC, serta lama penyinaran matahari antara 10-13 jam per hari tanaman caisin akan tumbuh baik. Menurut Lawrence (1964 dalam Prayitno, 1993), caisin (Brassica chinensis) Linn diklasifikasikan ke dalam: Divisi : Spermatophyta

Sub divisi: Angiospermae Kelas : Dicotyledonae

Ordo Famili Genus

: Brassicales : Brassicaceae (Cruciferae) : Brassica

Spesies : Brassica chinensis L. Tanaman caisin memiliki akar tunggang (Radix primaria) dan cabang akar yang bentuknya bulat panjang (silindris) menyebar ke semua arah dengan kedalaman antara 30-50 cm. Akar ini berfungsi antara lain menghisap air dan zat makanan dari dalam tanah, serta menguatkan berdirinya batang tanaman. Bentuk batang pada tanaman caisin pendek dan beruas-ruas, sehingga hampir tidak terlihat. Bentuk daun pada umumnya bersayap dan bertangkai panjang yang bentuknya pipih (Rukmana, 1994 dalam Aziz, 2007). Tanaman caisin mudah berbunga dan berbiji secara alami, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Akan tetapi, tanaman caisin di Indonesia lebih cepat berbunga dan berbiji secara alami pada daerah dataran rendah, karena selain toleran panas juga cocok dengan iklim tropis Indonesia. Struktur bunga caisin tersusun dalam tangkai bunga (inflorentia) yang tumbuh memanjang dan bertangkai banyak. Penyerbukan bunga pada caisin berlangsung dengan bantuan serangga ataupun dengan bantuan manusia. Hasil penyerbukan ini terbentuk buah yang berisi biji. Buah caisin termasuk tipe buah polong, tiap buah berisi 2-8 butir biji. Biji caisin bentuknya bulat kecil berwarna coklat atau coklat kehitaman (Rukmana, 1994 dalam Aziz, 2007).

B . Ulat Tritip (Plutella xylostella)

Hama ulat tritip di Indonesia mempunyai beberapa nama daerah, di antaranya ama bodas, ama karancang, hileud keremeng (Sunda), omo kupu klawu (Jawa Tengah), dan omo kapar (Jawa Timur). Menurut Sudarwohadi (1975 dalam Muchyidin, 1993), bentuk dewasa hama ini adalah kupu-kupu kecil berwarna coklat kelabu, mempunyai tiga buah titik kuning seperti intan pada sayapnya, sehingga sering disebut kupu-kupu punggung berlian atau diamond back moth. Di Indonesia secara umum dikenal dengan nama hama Plutella. Kalshoven (1981 dalam Muchyidin, 1993) mengklasifikasikan ulat tritip (Plutella xylostella) sebagai berikut: Phylum : Arthropoda Kelas : Insekta Ordo : Lepidoptera Famili : Plutellidae Genus : Plutella Spesies: Plutella xylostella L. Ulat Plutella dapat dibedakan dengan hama caisin yang lain karena adanya garis memanjang pada tubuh, kepalanya kuning, berbentuk gelap, pada tubuhnya yang berwarna hijau menyala tersebar rambut berwarna hitam. Panjang larva lebih dari 9 mm dan akan berwarna violet ketika tersentuh. Pupa berwarna putih, diseliputi jala, berbentuk gelendong yang disebut kokon. Kupu beristirahat di siang hari dan pada waktu senja terbang pendek kemudian beristirahat lagi (Kalshoven, 1981 dalam Muchyidin, 1993).

Plutella xylostella dalam perkembangan hidupnya mengalami empat kali perubahan bentuk (metamorfose sempurna), yaitu fase telur, ulat, kepompong dan kupu-kupu (Kalshoven, 1981 dalam Muchyidin, 1993). Induk betina Plutella meletakkan telurnya secara tunggal atau berkelompok pada bagian atas atau bawah epidermis daun caisin dan kebanyakan di dekat tulang daun (Sudarwohadi, 1983 dalam Muchyidin, 1993). Menurut Kartasaputra (1987 dalam Muchyidin, 1993), dalam peletakan telurnya mempunyai ketentuan sebagai berikut: 1. Selalu akan meletakkan telurnya pada daun yang tua maupun yang muda. 2. Setiap kelompok telur yang ditempelkannya hanya terdiri dari dua sampai tiga butir telur, tetapi pada setiap tanaman kubis ternyata ditempatkan beberapa kelompok. Ulat yang baru menetas berwarna hijau dan mempunyai ukuran rata-rata kurang dari satu sentimeter. Sifat khas dari ulat ini ialah gerakannya lincah bila tersentuh, bahkan kadang-kadang suka menjatuhkan diri ke tanah (Sudarwohadi, 1983 dalam Muchyidin, 1993). Pengendalian hama P. xylostella dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya yaitu dengan teknik budidaya tanaman, pengendalian secara mekanis, dan pergiliran tanaman. Pengendalian hayati juga dapat dilakukan dengan pelepasan musuh alami hama di lapang, seperti burung gereja, capung, dan Angitia cerophaga Grav. Terdapat pula jamur antagonis yang dapat dimanfaatkan sebagai pengendali hayati, yaitu Bacillus thuringiensis. Bentuk pengendalian terakhir yaitu secara kimia dengan penggunaan pestisida (Pracaya, 1995).

C.

Penyakit Akar Gada

Penyakit akar gada merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur P. brassicae, termasuk jamur tingkat rendah dari kelas Plasmodiophoromycetes. Fase aseksual kelas ini ialah Plasmodium yang berkembang di dalam sel inangnya. Bentuk sel umumnya bulat atau agak lonjong berukuran (1,6 x 4,3) - (4,6 x 6,0) mikron, berduri atau berambut pendek. Sel-selnya terlepas antara satu dengan lainnya. Sporangium berdiameter 6,0 - 6,5 mikron. Zoospora berdiameter 1,9 - 3,1 mikron dan mempunyai 2 flagela (Departemen Pertanian, 2007a). Menurut Agrios (1996 dalam Aziz, 2007), taksonomi dari P. brassicae sebagai berikut: Kingdom: Mycetae Divisi Kelas Ordo Genus : Myxomycota : Plasmodiophoromycetes : Plasmodiophorales : Plasmodiophora

Spesies : Plasmodiophora brassicae Wor. Plasmodiophora brassicae dapat ditemukan pada hampir semua daerah berikilim sedang. Jamur dapat tersebar setempat melalui drainase, alat pertanian, tanah yang tertiup angin, hewan, dan benih tanaman (Semangun, 2000 dalam Aziz, 2007). P. brassicae merupakan parasit obligat. Jamur ini bertahan di tanah dengan membentuk spora tanah, yaitu sista. Struktur tahan dapat bertahan 6 sampai 8 tahun tanpa adanya tanaman inang, dan akan berkecambah apabila ada rangsangan dari eksudat akar tanaman crucifera. Zoospora utama dilepas dari perkecambahan sista

10

yang menginfeksi rambut akar dari tanaman inang dengan mengkista permukaan akar dan masuk selama perkembangan sel epidermal dalam bentuk seperti amoeba. Akar tertua juga dapat terinfeksi jika terdapat luka yang menjadi tempat masuk bagi patogen (Grabowski, 2006 dalam Aziz, 2007). Plasmodiophora brassicae dianggap sebagai pseudofungi atau organisme yang menyerupai fungi. Perkecambahan spora terjadi pada pH 5,5-7,5 dan tidak berkecambah pada pH 8. Kisaran suhu bagi perkembangan patogen adalah 17,80250C dengan suhu minimum 12,200C (Khakim, 2009). Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan P. brassicae antara lain kelembaban tanah, suhu, intensitas cahaya, dan kemasaman tanah. Kelembaban tanah yang tinggi sangat cocok untuk perkecambahan spora istirahat kemudian menginfeksi inangnya. Keadaan tanah yang kering menyebabkan patogen membentuk spora istirahat (Departemen Pertanian, 2007a). Pembengkakan akar merupakan ciri khas penyakit akar gada. Bentuk dan letaknya bergantung pada spesies inang dan tingkat infeksi. Akar yang membengkak akan semakin membesar dan biasanya hancur sebelum akhir musim tanam karena serangan bakteri dan jamur lain. Apabila infeksi terjadi pada akhir musim tanam, ukuran gada biasanya kecil dan tanaman dapat bertahan hidup (Khakim, 2009). Akar yang terinfeksi jamur penyebab penyakit ini akan mengadakan reaksi dengan pembelahan dan pembesaran sel, yang menyebabkan terjadinya nyali atau kelenjar yang tidak teratur. Seterusnya nyali-nyali ini bersatu, sehingga menjadi bengkakan memanjang yang mirip dengan batang (gada) (Semangun, 1996).

11

Rusaknya susunan jaringan akar menyebabkan rusaknya jaringan pengangkutan, sehingga pengangkutan air dan hara tanah terganggu. Tanaman tampak merana, daunnya berwarna hijau kelabu, dan lebih cepat layu dari pada daun biasa. Meskipun demikian dalam banyak kejadian akar-akar sudah sangat rusak, pada saat gejala pada bagian di atas tanah mulai tampak (Semangun, 1996). Pengendalian terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan pemilihan bibit, dan penyemprotan pestisida (Haryanto, 2003). Pengendalian terhadap penyakit akar gada dapat dilakukan dengan cara mencegah masuknya P. brassicae ke daerah yang masih bebas, yaitu dengan tidak mengangkut bibit (semai) dari daerah yang terinfestasi, meningkatkan pH tanah dengan pengapuran, serta penggunaan fungisida sebagai usaha pengendalian terakhir. Pestisida yang digunakan diantaranya adalah Brassicol (quintozene), Benlate (benomyl), Vapam (natrium nmetil-ditiokarbamat), dan Topsin M (tiofanat-metil) (Semangun, 2004).

I I I . METODE PRAKTIK KERJA LAPANG

12

A.

Tempat dan Waktu Praktik Kerja Lapang

Praktik kerja lapang ini dilaksanakan di Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung selama 25 hari dari tanggal 29 Juli 2009 sampai tanggal 25 Agustus 2009. B. Materi Praktik Kerja Lapang

Materi praktik kerja lapang terdiri dari materi umum dan materi khusus. Materi umum, yaitu memelajari tentang struktur organisasi, kegiatan dan peranan Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung, sedangkan materi khusus, yaitu mengamati populasi hama Plutella xylostella dan intensitas penyakit akar gada pada tanaman caisin di Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung, serta cara pengendaliannya. C. Metode Praktik Kerja Lapang

Metode pelaksanaan praktik kerja lapang yaitu dengan pengambilan data primer dan data sekunder. 1. Data primer diperoleh dengan cara sebagai berikut. a. Mengikuti secara aktif kegiatan yang dilakukan di Kebun

Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung. b. Melakukan wawancara dengan pimpinan, staf yang terlibat secara langsung dan pembimbing lapang. c. Mengamati populasi dan morfologi hama Plutella xylostella, gejala dan intensitas penyakit akar gada pada tanaman caisin.

13

Pengambilan sampel dilakukan secara systematic sampling (zig zag) sebanyak 10 titik, masing-masing titik terdapat 5 tanaman. Cara pengambilan sampel titik yaitu sebagai berikut:

Gambar 1. Petak pengambilan sampel secara Zig zag. Penilaian intensitas serangan hama P. xylostella berdasarkan tingkat kerusakan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Syam, 1789 dalam Sariyatun, 2005): IS = (nxv) x100% NxZ

Keterangan: IK = Intensitas kerusakan (%) n = Jumlah daun terserang v = Skor daun terserang Z = Kategori serangan tertinggi N = Total daun yang diamati Pengamatan intensitas serangan hama P. xylostella dilakukan dengan cara mengamati daun yang terserang dan memasukkan dalam skor kriteria. Skor kriteria tersebut (Syam, 1789 dalam Sariyatun, 2005) adalah: 1 = kerusakan daun 20% 2 = kerusakan daun 21-40% 3 = kerusakan daun 41-60% 4 = kerusakan daun 61-80% 5 = kerusakan daun 81-100% Pengamatan insidensi penyakit akar gada (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 1990) menggunakan rumus:

14

I=

a x100 % b

Keterangan: I = Insidensi penyakit (%) a = jumlah tanaman terserang b = jumlah tanaman yang diamati 2. a. Data sekunder diperoleh dari sumber sebagai berikut. Arsip keadaan umum kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan, Temanggung, yaitu mengenai sejarah perkembangan, struktur kelembagaan, jenis kegiatan, tugas, dan fungsinya; dan b. Majalah ilmiah, hasil penelitian, maupun buku penunjang yang berkaitan dengan objek praktik kerja lapang.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

15

A. Gambaran Umum KP3 Soropadan 1. Sejarah perkembangan

Gambar 1. Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija, Soropadan. Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan berdiri pada tahun 1969 sebagai Dinas Pertanian Rakyat, Kemudian beralih fungsi menjadi kebun buah-buahan untuk karisidenan Kedu pada tahun 1970. Berdasarkan rapat Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah yang diadakan di Kaliurang, Jogjakarta pada tahun 1975, fungsinya diubah menjadi pusat pengembangan serta sentra produksi jagung dan sorgum. Setahun kemudian tepatnya pada awal 1997, berubah nama menjadi Pusat Pengembangan Unit Palawija Soropadan (P3 Soropadan) yang memperluas produksinya dari jagung dan sorgum, ke tanaman kekacangan. Pada pertengahan tahun 1977-1979, P3 Soropadan melakukan kerjasama dengan Jerman Barat untuk memperluas produksi pertaiannya. Kedudukan Jerman Barat di sini yaitu sebagai donatur dan fasilitator. Karena hal itu, pada tahun 1980 P3 Soropadan berubah fungsinya lagi. Fungsi P3 Soropadan antara lain: a. Sebagai salah satu pusat sumber informasi di bidang teknologi pertanian di bidang palawija.

16

b. Sebagai tempat kegiatan pengujian kualitas, daya hasil, serta pemupukan. c. Sebagai penghasil benih sumber. Pada tahun 1985, P3 Soropadan berubah nama menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD). UPTD memliki fungsi yang sama dengan P3 Soropadan, tapi langsung berada di bawah pengawasan Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2001, UPTD berubah nama menjadi Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija Soropadan (KP3 Soropadan). Mulanya tetap berfungsi sama dengan UPTD, namun pada tahun 2003 terjadi pemangkasan fungsi dari KP3 Soropadan. Fungsinya antara lain: a. b. c. Sebagai agrowisata di bidang pertanian. Sebagai salah satu tempat transaksi pasar lelang. Sebagai ajang promosi, tempat penyelenggaraan pameran

pertanian (Agro Expo pertanian). d. 2. Sebagai tempat perbanyakan benih berskala kecil.

Letak wilayah dan kondisi agroklimat Kantor Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan terletak

di KM 3 dari Kota Secang ke arah Semarang atau 13 KM dari kota Magelang. Transportasi menuju KP3 Soropadan tergolong lancar karena terletak di antara jalur utama dari Magelang menuju ke Semarang. Keadaan KP3 Soropadan secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Luas tanah

17

Sertifikat tanah yang ada berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah tanggal 2 Desember 1985 No. SK DA II H.P. 1598/2596/1985 dan SK Gubernur Jawa Tengah tanggal 17 Januari 1985 No. SK DA II/HP/1491/I/2593/1985. Tanah yang dimanfaatkan terdiri dari: Blok I Blok II : Luas 46.070 M2 : Luas 56.880 M2

Luas keseluruhan: 102.950 M2 / 10,2950 Ha Adapun pemegang hak pakai atas tanah tersebut adalah Pemerintah Propinsi Jawa Tengah cq Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah. Penggunaan lahan berdasarkan sertifikat yang ada terbagi atas;

18

1) Untuk bangunan dan halaman 2) Untuk kegiatan pameran STA

: 10.970 M2 / 1,970 Ha. : 57.980 M2 / 5,7980 Ha.

3) Digunakan untuk Kantor BPSDP: 29.000 M2 / 2,9 Ha. 4) Untuk lahan produksi Jumlah b. Jenis tanah Jenis tanah : Latosol berwarna coklat Tekstur pH : Lempung berpasir : 5,5 6,8 : 5.000 M2 / 0,5 Ha. : 102.950 M2 / 10,295 Ha

Ketinggian : 550 mdpl Kesuburan : Sedang c. Iklim Curah hujan Suhu harian : 2.153 mm : 18 32 oC

Jumlah bulan basah : 5 6 bulan Jumlah bulan kering: 2 4 bulan 3. Kedudukan dan struktur organisasi Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura merupakan unsur pelaksana otonomi daerah di bidang pertanian tanaman pangan dan hortikultura yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui SEKDA. Tugas pokoknya adalah melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah

19

Bidang Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura berdasarkan asas otonomi daerah dan tugas pembantuan. KP3 Soropadan merupakan kebun pengembangan pertanian yang berada di bawah pengawasan Balai Benih dan Tanaman Pangan dan Hortikultura (B2TPH) wilayah Surakarta. KP3 Soropadan dipimpin oleh kepala kebun yang dibantu oleh staf pegawai. Staf tetap terdiri dari sub bagian tata usaha, seksi produksi, dan seksi pemasaran. Sub bagian tata usaha bertugas dalam pelaksanaan, menyiapkan bahan rencana kerja dan pengelolaan administrasi kepegawaian, keuangan, dokumentasi, perpustakaan, rumah tangga, surat-menyurat serta pelaporan balai. Seksi produksi bertugas dalam menyiapkan bahan, rencana kegiatan teknis operasional, penyiapan sarana dan prasarana perbenihan, memproduksi benih, pelaksanaan pembinaan teknis, monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan produksi benih tanaman pangan dan hortikultura. Seksi pemasaran memilki tugas: a. Menyiapkan bahan, rencana kegiatan teknis operasional,

pelaksanaan administrasi dan kebijakan teknis operasional pemasaran, menyiapkan sarana dan prasarana pemasaran, pelaksanaan pembinaan teknis monitoring, evaluasi dan pelaporan kegiatan pemasaran benih tanaman pangan dan hortikultura. b. Melaksanakan pembinaan bimbingan teknis agribisnis perbanyakan benih pada penangkar. c. Menyiapkan data/informasi serta monitoring evaluasi dan pelaporan ketersediaan dan kebutuhan benih pada penangkar.

20

KEPALA B2TPH WIL. SURAKARTA

PIMPINAN SUBBAG TATA USAHA

SEKSI PRODUKSI

SEKSI PEMASARAN

Gambar 2. Struktur organisasi KP3 Soropadan. Saat ini KP3 Soropadan memilki karyawan tetap dan karyawan tidak tetap.Karyawan tetap di sini yaitu karyawan yang tercatat dan terdaftar kepegawaiannya. Sedangkan karyawan tidak tetap yaitu pekerja harian lepas yang berperan aktif di KP3 Soropadan. 4. Fungsi KP3 Soropadan KP3 Soropadan memiliki fungsi: a. Perumusan kebijakan teknis bidang pertanian tanaman pangan dan holtikultura. b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang pertanian tanaman pangan dan holtikultura lingkup provinsi.

21

c.

Pembinaan, fasilitasi dan pelaksanaan tugas di bidang sarana prasarana pertanian, budidaya tanaman pangan, holtikultura dan usaha pertanian lingkup provinsi.

d.

Pemantauan, evaluasi dan pelaporan bidang tanaman pangan dan holtikultura.

e. f.

Pelaksanaan kesekretariatan dinas. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.

5. a.

Visi dan Misi Visi Terwujudnya kemandirian usaha tanaman pangan dan hortikultura yang berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan. b. Misi 1) Mengembangkan agribisnis tanaman pangan dan hortikultura untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan yang cukup, aman dan terjangkau, bahan baku industri dan ekspor. 2) Mengembangkan aplikasi teknologi pertanian tepat guna, spesifik lokalita dan ramah lingkungan. 3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kelembagaan agribisnis.

22

4) Meningkatkan mutu dan daya saing komoditas tanaman pangan dan hortikultura. 5) Memadukan sentra-sentra pertanian dengan agroindustri dan pasar. 6) Mendorong peningkatan kesempatan kerja dan produktivitas bidang tanaman pangan dan hortikultura. 7) Meningkatkan pendapatan melalui pemberdayaan masyarakat pertanian tanaman pangan dan holtikultura. B. Hama Spodoptera litura pada Tanaman Kacang Panjang dan Cara Pengendaliannya di KP3 Soropadan Hama ini merupakan salah satu hama utama yang selalu ada di pertanaman kacang panjang pada setiap musim tanam. Hama ini ditemukan pada tanaman caisin yang berada di dua buah bedengan yang bersebelahan. Larva berwarna hijau kekuningan, dan tidak berbulu (Gambar 3). Pada saat pengamatan, ditemukan larva muda yang berukuran kecil ( 3 mm), berwarna kekuningan, bagian kepala berwarna coklat, tubuh beruas 6 sampai 8, dan gerakannya lincah bila disentuh. Larva muda tersebut berada pada daun yang paling muda. Selain itu, ada pula larva yang tubuhnya seperti dilapisi lapisan yang berwarna putih, dan larva ini relatif tidak bergerak. Berbeda dengan larva muda, larva ini hidup pada daun yang lebih tua, pada bagian atas maupun bawah daun. Larva muda yang ditemukan tersebut merupakan larva instar awal, sedangkan larva yang dilapisi lapisan putih tersebut

23

merupakan larva instar akhir atau prapupa. Larva tersebut bisa menyerang baik pada pagi, siang, ataupun sore hari. Suatu hal yang sangat khas dari larva ini adalah kemampuannya yang dapat menjatuhkan diri dengan melengkungkan tubuhnya saat daun terkena goncangan. Larva tersebut menjatuhkan diri ke sela-sela daun ataupun ke tanah. Menurut Sastrosiswojo dan Setiawati (1993), larva ini sangat lincah, dan jika tersentuh atau mendapat goncangan akan menjatuhkan diri dengan menggunakan benang halus. Hal itu dilakukan untuk melindungi diri dari bahaya yang mengancam kelangsungan hidupnya. Pupa ditemukan di bagian bawah daun, tapi ada pula yang di bagian atas, pada daun yang lebih tua. Pupa tersebut ada yang berwarna kekuningan, berwarna hijau, maupun kecoklatan. Menurut Sastrosiswojo et al. (2005), pupa instar awal berwarna hijau, kemudian kekuningan, dan pada instar akhir pada bagian tepi pupa berwarna coklat. Imago biasanya berupa ngengat, namun tidak ditemukan selama pengamatan dilakukan di areal pertanaman caisin di Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan. Hal ini kemungkinan karena tanaman caisin di areal tersebut masih terlalu muda, sehingga pertumbuhan P. xylostella belum sampai ke tahap imago. Sastrosiswojo et al. (2005) menyatakan bahwa ngengat betina meletakkan telur secara tunggal atau dalam bentuk kelompok kecil yang diletakkan di bagian bawah dekat tulang daun. Ngengat berwarna abu-abu sampai coklat kelabu dan pada saat sayap dilipat nampak tiga buah tanda berupa gelombang seperti berlian (diamond) atau terdapat bentuk segitiga sepanjang

24

punggungnya (Gambar 4). Ngengat beristirahat pada siang hari. Umur ngengat 2 4 minggu. Ngengat betina mampu menghasilkan telur 180 - 320 butir. Daur hidup dari telur sampai ngengat pada ketinggian 250 m di atas permukaan laut (dpl) 12 15 hari dan 20 - 25 hari pada ketinggian 110 m dpl (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2009b).

Gambar 3. Larva P. xylostella dan gejala serangannya. Ulat Plutella merusak daun bagian bawah. Dalam waktu 4 sampai 5 hari, seluruh tanaman dapat dihabiskannya (Sentra Informasi IPTEK, 2009). Gejala yang dapat terlihat akibat serangan hama ini adalah robeknya daun, sedangkan tulang daun tetap utuh. Pada sebagian daun terlihat hanya tinggal lapisan yang berwarna putih, yang merupakan akibat dari serangan ulat tersebut. Adapula daun yang sudah benar-benar habis dan tinggal tulang daunnya saja, daun yang rusak terutama daun yang masih muda. Ulat ini tidak memakan tulang daun, karena strukturnya lebih keras dan lebih tebal. Walaupun ulat ini senang terhadap daun tanaman yang muda, tetapi ada juga daun tua yang diserangnya. Sastrosiswojo et al. (2005) menyatakan bahwa bila populasi ulat tinggi, maka daun tua pun akan menjadi sasarannya.

Gambar 4. Imago (ngengat) dari P. xylostella.

25

Larva (ulat) muda yang baru menetas, mengorok daun kubis selama 2 - 3 hari. Selanjutnya memakan jaringan bagian permukaan bawah daun atau permukaan atas daun dan meninggalkan lapisan tipis/transparan sehingga daun seperti berjendela dan akhirnya sobek serta membentuk lubang (Gambar 5). Apabila tingkat populasi larva tinggi hampir seluruh daun dimakan dan hanya tulang daun yang ditinggalkan. Umumnya serangan berat terjadi pada musim kemarau pada umur 5 - 8 minggu. Ulat P. xylostella mulai menyerang sejak awal pra pembentukan krop (0 49) hari setelah tanam = hst) sampai fase pembentukan krop (49 - 85 hst) (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2009b).

Gambar 5. Gejala serangan P. xylostella pada tanaman caisin muda. Sastrosiswojo et al. (2005) menyatakan bahwa hama ini disebut hama tidak langsung (indirect pest), yaitu hama yang secara tidak langsung merusak hasil panen yang akan dijual. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa tingkat kerusakan yang

ditimbulkan oleh hama ini pada tanaman caisin di lahan pada pengamatan minggu I sebesar 9,151% dan pada pengamatan minggu II sebesar 8,574% dengan jumlah

26

populasi hama 2 larva/tanaman (Lampiran 3). Dari populasi hama per tanaman, maka dapat disimpulkan serangan hama pada lahan tersebut sudah melebihi Ambang Pengendalian (AP) dan sudah memerlukan penyemprotan. Batas AP

untuk hama Plutella adalah sebesar 0,5 larva/tanaman (Sastrosiswojo dan Setiawati, 1991). Pengendalian yang dilakukan oleh pihak KP3 Soropadan pada lahan tanaman caisin yaitu menggunakan insektisida Imidor 50 SL dengan bahan aktif Imidakloprid 50 g/l atau Cakram 25 EC dengan bahan aktif Beta Siflutrin 25 g/l, serta menggunakan bahan perekat Dupol. Penyemprotan insektisida pada lahan caisin ini dilakukan saat pagi/sore hari selama 2 kali dalam 1 musim tanam. Penyemprotan juga dapat dilakukan sewaktu-waktu apabila serangan ulat P. xylostella terlalu tinggi dengan dosis yang lebih tinggi.

b Gambar 6. (a)Imidor; (b)Dupol; (c)Cakram

Hal tersebut sesuai dengan yang disarankan oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura (2009b) untuk mengendalikan serangan P. xylostella yaitu dengan pengendalian secara kimiawi yang dapat diaplikasikan menggunakan insektisida yang diizinkan.oleh Menteri Pertanian.

27

Gambar 7. Kegiatan penyemprotan menggunakan pestisida di lahan. Besarnya populasi P. xylostella di pertanaman disebabkan keadaan lingkungan yang sangat mendukung untuk pertumbuhan hama tersebut. Suhu harian yang berkisar antara 18-32 oC, sesuai untuk hidup hama ini. Selain itu, aplikasi pestisida yang tinggi dapat mengurangi populasi musuh alami Plutella seperti Diadegma semiclausum dan Cotesia plutellae, sehingga tidak ada faktor penekan pertumbuhan populasi hama ini. Daur hidup juga memengaruhi keberadaan dan jumlah populasi hama di pertanaman. Lama daur hidup Plutella di Lembang pada suhu 15,5 20,6 oC adalah selama 22 hari (Sastrosiswojo et al. 2005). Jadi, dalam satu musim tanam dapat terjadi beberapa kali daur hidup dengan populasi yang cukup besar dan sangat potensial untuk merusak tanaman. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah sistem budidaya secara monokultur yang dilakukan oleh pihak KP3 Soropadan. Menurut Setiawati (1996), sistem pertanaman secara monokultur menimbulkan kondisi ekosistem yang kurang stabil, sehingga seringkali pada pertanaman monokultur terjadi ledakan hama dan penyakit. C. Penyakit Akar Gada pada Tanaman Caisin Beserta Tingkat Kerusakan dan Cara Pengendaliannya di KP3 Soropadan

28

Berdasarkan hasil pengamatan selama dua kali di lapang, P. brassicae menyerang tanaman caisin pada dua buah bedengan dengan tingkat kerusakan 2,85% pada pengamatan minggu I dan 3,56% pada pengamatan minggu II (Lampiran 3). Tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh penyakit akar gada ini masih tergolong rendah, hal ini mungkin disebabkan karena lahan ini dulunya merupakan lahan bekas pertanaman padi, bukan kekubisan. Sehingga kemungkinan adanya jamur penyebab penyakit akar gada yang bertahan hidup di dalam tanah sebelum tanaman caisin ditanam sangatlah kecil. Gejala serangan jamur ini dapat terlihat jelas karena tanaman caisin yang terserang jamur ini terlihat layu seperti kekurangan air pada siang hari dan menjadi segar kembali setelah sore hari (Gambar 8). Hal ini sesuai dengan pernyataan Djatnika (1993 dalam Permadi dan Sastrosiswojo, 1993), tanaman yang terserang P. brassicae akan terlihat jelas pada keadaan cuaca panas atau siang hari yang terik yaitu daunnya layu seperti kekurangan air. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura (2009a) juga mempunyai pendapat yang sama, bahwa gejala serangan P. brassicae tampak jelas pada keadaan cuaca panas atau siang hari yang terik. Daun berwarna hijau-biru dan layu seperti kekurangan air, pada malam hari atau pagi hari akan segar kembali.

Pertumbuhan tanaman menjadi terhambat hingga kerdil dan tanaman kubis tidak dapat membentuk krop yang akhirnya mati.

29

Gambar 8. Tanaman caisin yang terserang P. brassicae di lapang. Gejala serangan dapat terlihat dengan jelas pada akar saat tanaman sudah dicabut. Akar tanaman yang terserang jamur menunjukkan bengkak tidak beraturan dan ada pula yang berbentuk seperti gada (Gambar 9). Bentuk gada terlihat pada akar yang bengkaknya masih kecil. Sebagian akar tanaman ada yang sudah membusuk, hal ini terjadi karena adanya infeksi jasad sekunder (Semangun, 2004).

Gambar 9. Gejala serangan P. brassicae pada akar tanaman caisin (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2009a) Plasmodiophora brassicae menginfeksi tanaman caisin sejak awal (0 - 49 hst). Infeksi patogen akan meningkat pada kondisi tanah yang masam. Pada penelitian di rumah kaca, gejala bengkak pada akar sudah terlihat 10 hari setelah inokulasi (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2009a).

30

Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan P. brassicae antara lain kelembaban tanah, suhu, intensitas cahaya, dan kemasaman tanah (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2009a). Kelembaban tanah yang tinggi sangat cocok untuk perkecambahan spora istirahat kemudian menginfeksi inangnya. Keadaan tanah yang kering menyebabkan patogen membentuk spora istirahat. Spora istirahat tersebut dapat bertahan dalam tanah lebih dari 10 tahun. Suhu optimum untuk mengadakan infeksi dan perkembangan gejala adalah 20 25 oC. Tanaman caisin lebih tahan terhadap infeksi P. brassicae pada

lingkungan yang mempunyai intensitas cahaya rendah. Perkembangan P. brassicae sangat baik pada kondisi tanah masam, sedangkan pada tanah alkalin (pH > 8) perkembangannya terhambat. Penyebaran inokulum P. brassicae dapat terjadi melalui alat pertanian, angin atau air, pupuk kandang yang terkontaminasi karena ternaknya memakan bagian tanaman kubis-kubisan yang terinfeksi patogen tersebut (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura, 2009a). Pengendalian yang dilakukan oleh pihak KP3 Soropadan pada lahan caisin ada berbagai cara. Pertama, mencabut tanaman yang terlihat terserang penyakit ini. Menurut Sastrosiswojo et al. (2005), jika jumlah tanaman yang terserang (P) 10%, tanaman yang terserang penyakit akar bengkak harus dicabut dan dimusnahkan (dikubur). Kedua, menggunakan agensia pengendali hayati untuk mencegah penyakit ini, yaitu Trichoderma harzianum, namun dalam bentuk formula tepung. Ketiga, melakukan pengapuran di lahan dengan menggunakan dolomit pada saat 2

31

minggu sebelum penanaman untuk menaikkan pH tanah dengan harapan jamur akan sulit berkembang pada kondisi tanah dengan pH tinggi. Keempat, dengan menerapkan sistem rotasi tanam yaitu pergantian komoditas tanaman di semua lahan setiap satu kali musim tanam. Jadi misalkan pada musim ini lahan A ditanami tanaman caisin, maka pada musim berikutnya di lahan A tidak akan ditanami caisin lagi. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kemungkinan adanya patogen penyebab penyakit akar gada ataupun patogen lain yang masih bertahan di dalam tanah. Pihak KP3 Soropadan juga melakukan usaha pencegahan terhadap jamur P. Brassicae, di antaranya yaitu dengan merendam benih sebelum ditanam ke dalam larutan fungisida seperti Antrakol 0,3 g/l dengan bahan aktif Propineb 70%, Dithane M-45 dengan bahan aktif Mankozeb 80 WP, Topsin-M 75 WP dengan bahan aktif metil tiofanat 70%, dan Score 250 EC dengan bahan aktif difenokonazol 250 g/l. Pihak KP3 Soropadan juga menggunakan benih sehat untuk menghindari timbulnya penyakit pada tanaman caisin. Selain itu pihak KP3 Soropadan juga sangat memperhatikan proses pembuatan pupuk kandang mulai dari awal sampai siap untuk digunakan. Pupuk kandang dibuat dengan menggunakan kotoran kambing yang dicampur dengan formula tepung Trichoderma yang sudah dicairkan secukupnya dan disemprot menggunakan EM4 sebanyak 14 ml yang dihomogenkan ke dalam 1 tangki (14 liter) air. Takaran EM4 dan air yang demikian tersebut digunakan untuk menyemprot sekitar 3 m3 pupuk kandang. Penyemprotan EM4 dilakukan 1 kali dalam seminggu selama kurang lebih 2 bulan atau sampai pupuk sudah jadi (matang). Pihak KP3 Soropadan juga memperhatikan hal-hal lain seperti

32

pengaturan pola tanam, waktu tanam, serta pengolaan irigasi yang baik. Pola tanam yang digunakan pada tanaman caisin di KP3 Soropadan yaitu secara monokultur.

Gambar 10. Formula Trichoderma harzianum dalam bentuk tepung. Hal tersebut di atas sesuai menurut Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura (2009a) mengenai cara yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan penyakit akar gada, antara lain sebagai berikut: 1. Pengendalian secara bercocok tanam antara lain meliputi pola tanam, waktu tanaman, penggunaan bibit sehat, dan pengelolaan air. 2. Pengapuran tanah pada lahan dengan keasaman (pH) < 5,5 dengan kapur pertanian (Kaptan) atau Dolomit di lahan yang akan ditanami caisin 3. Perlakuan benih caisin dengan menggunakan fungisida yang dianjurkan. 4. Tanah persemaian dan pupuk kandang harus bebas patogen. 5. Eradikasi selektif terhadap tanaman terserang kemudian memusnahkannya. D. Budidaya Tanaman Caisin di KP3 Soropadan 1. Pengolahan tanah Pengolahan tanah dengan cara dicangkul/membalik tanah dapat

mengendalikan telur/nimfa hama yang berada di dalam tanah. Karena pada saat pengolahan tanah dilakukan, hama dapat terbunuh secara langsung oleh alat pengolah tanah. Selain itu, dengan adanya pengolahan tanah, tanah akan menjadi

33

gembur sehingga perakaran tanaman dapat dengan mudah menyerap unsur hara. Pengolahan tanah di KP3 Soropadan dilakukan dengan menggunakan cangkul jika lahan yang akan ditanami tidak begitu luas.

2. Pembentukan bedengan Pembentukan bedengan ini bertujuan supaya pertumbuhan tanaman dapat optimum dan terjaga dari kelebihan air. Keberadaan bedengan yang lebih tinggi dari tanah dapat menghindarkan tanaman kelebihan air berlebih serta untuk memudahkan pemeliharaan dan kegiatan lain. Selain itu, dengan adanya bedengan maka keadaan tanah akan tetap gembur. Ukuran bedengan yang digunakan untuk menanam kacang panjang di KP3 Soropadan yaitu 12 m x 0,8 m dengan kedalaman di antara bedengan yaitu 30 cm, dan jarak antar bedengan 45 cm.

Gambar 11. Bedengan untuk tanaman caisin di KP3 Soropadan. Ukuran bedengan ideal yang disarankan pemerintah dengan panjang x lebar

34

yaitu 12 m x 1,2 m, kedalaman 15-20 cm, dan jarak antar bedengan 50 cm dengan membuat selokan. Ukuran ini ideal untuk pertumbuhan tanaman sayuran.

Gambar 12. Bedengan ideal yang disarankan pemerintah. 3. Pemupukan Pemupukan dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman, sehingga tanaman akan memiliki ketahanan yang baik. Pemupukan harus dilakukan secara berimbang, karena dengan kelebihan unsur tertentu (terutama N) akan meningkatkan kerentanan tanaman terhadap hama dan penyakit. Pupuk yang digunakan dalam penanaman kacang panjang adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran kambing yang sudah difermentasi. Pupuk yang dipakai yaitu sebanyak 30 kg per bedengan. Pemupukan dilakukan sebelum tanam dengan mencampur ke seluruh tanah secara merata. Seperti yang diketahui, pupuk kandang banyak mengandung unsur P yang diperlukan dalam pertumbuhan tanaman caisin. Pupuk ini yang nantinya akan mensuplai nutrisi bagi tanaman. Hal ini juga dijelaskan oleh Hartatik (2009), bahwa pupuk kandang relatif mudah terdekomposisi serta mempunyai kadar hara yang cukup. 4. Penyiraman Penyiraman dilakukan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman caisin. Akan tetapi, penyiraman hanya dilakukan satu kali sehari atau tergantung kondisi tanah di pertanaman. Apabila ditanam di daerah yang lebih sejuk, maka penyiraman

35

dilakukan hanya ketika tanah sudah mulai mengering. Apabila terlalu banyak air, maka pertumbuhan menjadi terganggu dan akar menjadi mudah busuk. Engkau masih anak sekolah,, belum tepat waktu buat begitu begini,, dua atau 3 tahun lagi Air yang digunakan untuk menyiram tanaman caisin sebaiknya air yang berasal dari sumber mata air. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas kadar residu akibat pestisida. Namun di KP3 Soropadan penyiraman dilakukan menggunakan air irigasi yang mengalir di dekat areal pertanaman caisin. Kegiatan penyiraman dilakukan menggunakan ember yang ujungnya terdapat corong berlubang sebagai tempat keluar air. 5. Sanitasi Sanitasi dilakukan dengan membersihakan gulma (penyiangan) dan sisa-sisa tanaman baik dari pertanaman sebelumnya maupun dedaunan kering. Kotoran yang ada di sekitar pertanaman ini dapat menjadi tempat persembunyian bagi hama (ulat grayak dan belalang), dan gulma dapat menjadi inang alternatif atau tempat hidup hama. Selain itu, gulma yang ada di sekitar pertanaman dapat mengganggu pertumbuhan tanaman caisin. Dalam hal ini terjadi persaingan nutrisi dan persaingan tempat. Dengan metode penanaman secara garis, maka masih tersedia ruang untuk pertumbuhan gulma. E. Analisis Kondisi Lingkungan KP3 Soropadan 1. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat)

36

Untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman KP3 Soropadan, maka diperlukan suatu analisis, yaitu menggunakan analisis SWOT, yang terdiri atas empat komponen analisis, yaitu Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (kesempatan/peluang) dan Threat (ancaman). a. Strength (kekuatan) 1) Letak wilayah KP3 Soropadan di dataran tinggi, sehingga sangat cocok untuk pertanaman sayuran dan hortikultura. 2) KP3 Soropadan juga terletak di jalur transportasi utama antara Magelang-Semarang dan Wonosobo-Semarang, sehingga mudah

dijangkau oleh masyarakat serta mudah dalam pemasaran hasil pertanian. b. Weakness (kelemahan) 1) Kurangnya tenaga kerja yang mengelola KP3 Soropadan. Tenaga kerja yang aktif sebagai staf hanya bejumlah 7 orang, sehingga kurang bisa mengelola KP3 Soropadan secara maksimal. 2) Kurangnya sarana dan prasarana dalam perawatan serta pengelolaan hasil pertanian. 3) Kedisiplinan para pekerja masih kurang. Ada pekerja yang bersantai-santai bila tidak diawasi, serta pulang sebelum waktu kerja selesai. c. Opportunity (kesempatan/peluang) Peningkatan kesadaran masyarakat akan kebutuhan gizi dan nutrisi-nutrisi yang dikandung tanaman sayuran menyebabkan meningkatnya jumlah konsumsi tanaman sayuran, dan tingginya permintaan produk. Adanya berbagai peraturan

37

tentang perlindungan tanaman baik dari dalam negeri maupun kebijakan yang ditetapkan dalam pasar global tentang keamanan pangan, memberi kesempatan yang besar untuk terus eksis dan mengembangkan sayap. d. Threat (ancaman) Iklim yang tidak menentu pada saat ini merupakan ancaman yang harus dihadapi, dan kondisi cuaca ekstrim dimana panas sekali pada siang hari dan dingin pada malam hari akan menimbulkan berbagai permasalahan dan munculnya OPT yang sulit dikendalikan. Banyaknya persoalan yang dihadapi oleh pemerintah akhirakhir ini memaksa pemerintah untuk berkonsentrasi manangani masalah tersebut, yang pada akhirnya juga akan mengimbas pada lembaga-lembaga milik pemerintah. Terutama bagi anggaran belanja lembaga tersebut. 2. Saran perbaikan KP3 Soropadan Setelah dilakukan analisis SWOT, maka penulis dapat mengajukan berbagai saran yang harus dilakukan oleh KP3 Soropadan, yaitu: a. Peningkatan kedisiplinan dan kesadaran akan tanggung jawab dari seluruh karyawan, agar tugas dapat dilaksanakan dengan baik. b. Pengawasan terhadap kinerja seluruh karyawan harus ditingkatkan, agar lebih terorganisir. c. d. Penambahan tenaga kerja yang ahli di bidangnya. Perbaikan dan penambahan sarana prasarana yang mendukung dalam kegiatan pertanian.

38

e.

Pemberian pengetahuan pada petani terutama tentang OPT dan upaya pengendaliannya, agar dapat melakukan pengendalian yang tepat pada saat timbul gangguan di lapangan.

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan 1. Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan merupakan lembaga yang bergerak di bidang pertanian khususnya pada pengembangan benih, yang berada di bawah pengawasan Balai Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (B2TPH).

39

2.

Budidaya tanaman caisin yang dilakukan di Kebun Pengembangan Perbenihan Palawija (KP3) Soropadan meliputi kegiatan pengolahan tanah, pembentukan bedengan, pemupukan, penyiraman, dan sanitasi lahan.

3.

Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh hama Plutella xylostella pada tanaman caisin di KP3 Soropadan adalah sebesar 8,8625 %.

4.

Tingkat

kerusakan

yang

disebabkan

oleh

penyakit

akar

gada

(Plasmodiophora brassicae) pada tanaman caisin di KP3 Soropadan adalah sebesar 3,205 %. 5. Usaha pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang dilakukan oleh pihak KP3 Soropadan yaitu berupa rotasi tanam, pencabutan tanaman yang terlihat terserang penyakit, pembuatan pupuk kandang yang bebas patogen, pemberian T. harzianum, dan penggunaan pestisida Imidor 50 SL, Cakram 25 EC, Antrakol 0,3 g/lt, Dithane M-45, Topsin-M 75 WP, dan Score 250 EC.

B. Saran 1. Usaha pengendalian terhadap OPT harus dilakukan semaksimal mungkin agar tidak menimbulkan kerugian yang cukup besar terhadap hasil. 2. Penggunaan pestisida sebaiknya digunakan sebagai alternatif terakhir dalam pengendalian, dan sebaiknya menggunakan pestisida dengan bahan aktif yang berbeda agar tidak terjadi resistensi pada OPT.

40

DAFTAR PUSTAKA Aziz, A. 2007. Pemanfaatan Streptomyces sp. S7 dan Pupuk Kandang Dalam Upaya Penekanan Penyakit Akar Gada Dan Peningkatan Hasil Pada Caisin. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Tidak dipublikasikan). Departemen Pertanian. 2007a. Hasil Identifikasi Sayuran. (On-line). http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id/makalah/hasilidentifikasisayur.htm. diakses 7 Juni 2009. Departemen Pertanian. 2007b. Serangga dan Lingkungan. (On-line). http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id/kubiskol/kubis13.htm. diakses 7 Juni 2009.

41

Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2009a. Akar Gada. (Online). http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id/index.php? option=com_wrapper&Itemid=225. diakses 22 Oktober 2009. Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura. 2009b. Ulat Daun. (Online). http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id/index.php? option=com_wrapper&Itemid=228. diakses 22 Oktober 2009. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 1990. Pengenalan Jasad Pengganggu Tanaman Palawija. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta. Hartatik. 2009. Pupuk Kandang. (On-line). http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/pupuk/pupuk4.pdf. diakses tanggal 10 Oktober 2009. Haryanto, E. 2003. Sawi dan Selada. Edisi Revisi. Penebar Swadaya, Jakarta. Khakim. 2009. Pengendalian Akar Gada (Plasmodiophora brassicae Wor.) pada Kubis-kubisan dan Pengendaliannya. (On-line). http://tanduranijo.blogspot.com/2009/04/penyakita-akar-gadaplasmodiophora.html. diakses tanggal 2 Juli 2009. Muchyidin, I. 1993. Preferensi Plutella xylostella L. (Plutellidae: Lepidoptera) Terhadap Empat Varietas Caisin (Brassica chinensis L.) pada Tiga Variasi Dosis Pupuk N. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Tidak dipublikasikan). Permadi A. H., dan Sastrosiswojo, S. 1993. Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Bandung.155 hal. Pracaya. 1995. Hama Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta. Prayitno, S. 1993. Pengaruh Ekstrak Daun Nimba (Asadirachta indica A. Juss) Terhadap Perkembangan Telur Crocidolomia binotalis Zell. pada Dua Varietas Tanaman Caisin (Brassica chinensis L.). Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Tidak dipublikasikan). Sariyatun. 2005. Peranan Pupuk Organik Cair Dan Insektisida Nabati (Maja dan Gadung) Sebagai Tambahan Komponen PHT Plutella xylostella L. pada Tanaman Kubis. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Tidak dipublikasikan). Sastrosiswojo, S. dan W. Setiawati. 1991. Efisiensi penggunaan insektisida pada tanaman kubis berdasarkan hasil tangkapan ngengat Plutella xylostella L.

42

dengan seks feromon PX dan perangkap kuning. Buletin Penelitian Hortikultura. 1992. 22(3): 64-75. Sastrosiswojo, S. dan W. Setiawati. 1993. Hama-hama tanaman kubis dan cara pengendaliannya. Hal. 39-50. Dalam: Permadi A. H. dan Sastrosiswojo, S. (Eds.), Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Bandung. Sastrosiswojo, S., T.S. Uhan, dan R. Sutarya. 2005. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Bandung. 64 hal. Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Semangun, H. 2004. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sentra Informasi IPTEK. 2009. Kubis. (On-line). www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan/index.php?mnu=2&id=197. diakses 22 Oktober 2009. Setiawati, W. 1996. Pengendalian hama kubis Plutella xylostella L. dan Crocidolomia binotalis Zell. dengan Spinosad 25 SC serta pengaruhnya terhadap parasitoid Diadegma semiclausum Hellen. Jurnal Hortikultura, 2000. 10(1):30-39. Wahyuningsih, H. 2000. Pengelolaan Hama Plutella xylostella L. pada Tanaman Caisin. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Tidak dipublikasikan). Yuliasmoro. 2000. Peningkatan Efektivitas Isolat Bacillus sp. Dengan Penambahan Residu Tanaman Dalam Penekanan Penyakit Akar Pekuk Tanaman Caisin. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. (Tidak dipublikasikan).

43

Lampiran 1. Laporan harian praktik kerja lapang

44

45

46

47

48

Lampiran 2. Surat keterangan selesai melaksanakan praktik kerja lapang

49

Lampiran 3. Intensitas serangan P. Xylostella pada tanaman caisin di KP3 Soropadan

50

Titik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 1 3 5 3 5 3 4 2 3 2

Pengamatan I Nilai Kategori 2 3 4 1 0 0 3 1 0 0 1 1 2 0 0 0 2 1 2 0 1 1 1 2 1 1 1 0 0 0 0 0 0 Rerata IS

5 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0

Intensitas Serangan (%) 2,73 10,44 9,6 6,09 13,04 9,17 22,5 13,33 2,61 2 9,151

1 1 6 8 6 7 3 6 5 4 4

Pengamatan II Nilai Kategori 2 3 4 1 0 0 4 1 0 2 2 0 3 1 0 0 3 0 1 0 0 1 2 1 0 2 0 0 0 0 0 0 0

5 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0

Intensitas Serangan (%) 2,22 11,33 10,59 10,35 10,32 3,70 20,74 10,67 2,96 2,86 8,574

Lampiran 4. Lembar penilaian mahasiswa praktik kerja lapang

51

You might also like