You are on page 1of 52

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Jamur sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia.

Sedemikian eratnya, sehingga manusia tidak terlepas dari jamur. Jenis fungifungian ini bisa hidup dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air, pakaian, bahkan di tubuh manusia sendiri. Manusia termasuk salah satu tempat bagi jamur untuk tumbuh, di samping bakteri dan virus. Jamur dapat menyebabkan berbagai jenis infeksi kulit. Kelainan jamur yang sering ditemukan adalah tinea atau ring worm. Infeksi tinea dapat mengenai kepala, badan, lipat paha, kaki, dan kuku (Smetzer dan Bare, 2002). Infeksi jamur pada kulit atau mikosis sendiri banyak diderita penduduk khususnya yang tinggal di daerah tropis. Iklim panas dan lembab merupakan salah satu penyebab tingginya insidensi tersebut. Selain itu mikosis pada kulit dipredisposisi oleh hygiene yang kurang sehat, adanya sumber penularan, pemakaian antibiotika, dan penyakit kronis (Adiguna, 2001). Penyakit kulit yang disebabkan jamur ini, meskipun secara klinis tidak terlalu menyakitkan atau berbahaya, tetapi dapat menggangu secara kosmetik dan aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Dermatofitosis merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya korneum pada epidermis, rambut dan kuku, yang disebabkan golongan jamur dermatofita (Harahap, 2000). Dermatofita hanya tumbuh pada jaringan mati yang mengalami keratinisasi, tetapi metabolit fungi, enzim, dan antigen berdifusi melalui lapisan epidermis yang sehat , menyebabkan eritema, pembentukan vesikel, dan priritus (Jawetz et al, 2007). Infeksi jamur pada manusia, disebabkan oleh tiga jenis jamur : Microsporum,
1

Trichopyton

dan Epidermophyton. Jamur sendiri, dapat ditularkan dari

manusia ke manusia (antropofilik), dari binatang ke manusia (zoofilik), atau dari tanah ke manusia (geofilik) (Price dan Wilson, 2005). Infeksi ini berkisar dari penyakit radang kronis, tingkat rendah sampai akut. Infeksi epidermophyton hanya ditularkan oleh manusia, tetapi berbagai spesies Trichophyton dan Microsporum dapat berasal dari sumber manusia dan juga bukan manusia. (Madani, 2000) Pertahanan diri individu mempunyai pengaruh besar terhadap keparahan penyakit. Penyakit cenderung makin parah pada individu dengan diabetes mellitus, keganasan limfoid, imunosupresi dan keadaan dengan tingkat kortisol plasma tinggi, seperti sindrom cushing (Behrman et al, 2000). Riwayat atopik sendiri merupakan salah satu faktor predisposisi dari dermatofitosis. Riwayat atopik merupakan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitifitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia serta cenderung diturunkan atau familial. Riwayat atopik di sini meliputi dermatitis atopik, rhinitis alergi dan asma bronkilae. Kurang terdapat data mengenai hubungan antara riwayat atopik dengan kejadian dermatofitosis. Oleh sebab itu, penulis berkeinginan untuk meneliti adanya hubungan riwayat atopik dengan kejadian dermatofitosis. B. Perumusan Masalah Adakah hubungan riwayat atopik dengan dermatofitosis pada pasien-pasien yang berobat di Poliklinik Kulit Kelamin RSUD dr. Moewardi Surakarta? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan riwayat atopik dengan dermatofitosis. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan riwayat atopik dengan dermatofitosis.

2. Manfaat Aplikatif a. Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan penelitian selanjutnya.
b. Penelitian

ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

pencegahan terhadap dermatofitosis terutama pada orang yang memiliki faktor predisposisi yaitu memiliki riwayat atopik.

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Umum Tentatang Dermatofitosis

1. Dermatofitosis a. Definisi Berbagai jenis jamur dapat berkembang biak di kulit, istilah medisnya adalah dermatomikosis yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit. Sedangkan dermatofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita (Perdoski, 2001).
4

Dermatofitosis adalah salah satu kelompok jamur dermatomikosis superficialis yang disebabkan oleh jamur dermatofit, dan merupakan reaksi pejamu terhadap produk metabolit jamur dan karena invasi oleh suatu organisme pada jaringan tubuh ( Adiguna, 2004). b. Etiologi Menurut Al-Duxory (1980) dalam Siregar (2004) Dermatofitosis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang terdiri dari tiga genus, yaitu genus Mikrosporon, Trikofiton, dan Epidermofiton. Dari 41 spesies dermatofita yang sudah dikenal hanya 23 spesies yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang, yang terdiri dari 15 spesies Trikofiton, 7 spesies Mikrosporon dan satu spesies Epidermofiton. Setiap spesies dermatofita mempunyai afinitas terhadap hospes tertentu, Yaitu : (Hainer, 2003; Siregar, 2005; Graham, 2008).
i. Dermatofita yang zoofilik terutama menyerang binatang, dan

kadang-kadang menyerang manusia, misalnya Microsporon canis dan Trichophyton verrucosum.


ii. Dermatofita yang geofilik adalah jamur yang hidup di tanah dan

dapat menimbulkan radang pada manusia, misalnya Microsporon gypseum.


iii. Dermatofita yang antrofilik menyerang manusia karena memilih

manusia sebagai hospes tetapnya, misalnya Tricophyton rubrum, tricophyton concentricum, microsporum audouini. Golongan jamur ini dapat menyebabkan perjalanan penyakit menjadi menahun dan residif karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan (Siregar, 2004). c. Epidemiologi
5

Pertahanan diri individu mempunyai pengaruh besar terhadap keparahan penyakit. Penyakit cenderung makin parah pada individu dengan diabetes mellitus, kehasan limfoid, imunosupresi dan keadaan dengan tingkat kortisol plasma tinggi, seperti sindrom Cushing. Beberapa tingkat resistensi terhadap reinfeksi yang dibawa oleh orang yang paling terinfeksi dan dapat disertai dengan respons hipersensitivitas lambat. Namun, tidak ada hubungan yang tampak antara kadar antibodi dan resistensi terhadap infeksi. Frekuensi dan keparahan infeksi yang juga terpengarauh oleh letak, kepekaan genetika hospes dan virulensi strain dermatofita. Faktor-faktor lokal tambahan yang menjadi predesposisi terhadap infeksi adalah trauma terhadap kulit, hidrasi kulit dengan maserasi, oklusi dan peningkatan suhu (Richardet al, 2000). Bila dilihat dari cara penularannya, cara penularan jamur dibedakan menjadi dua yaitu: i. Secara langsung melalui fomit, epitel, dan rambut-rambut yang mengandung jamur baik dari manusia atau dari binatang, dan dari tanah. ii. Secara tak langsung menalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu atau air. Di samping cara penularan tersebut, timbulnya kelainan-kelainan di kulit bergantung beberapa faktor, antara lain : i. Faktor virulensi dari dermatofita Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur, apakah jamur antropofilik, zoofilik, atau geofilik. Faktor yang terpenting dalam virulensi ini ialah kemampuan spesies jamur menghasilkan keratinasi dan mencerna keratin di kulit. ii. Faktor trauma

Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur. iii. Faktor suhu dan kelembaban Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokasi atau lokal tempat yang banyak keringat seperti paha dan sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur ini.
iv. Keadaan sosial serta kekurangnya kebersihan

Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur. Insidensi penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah lebih sering ditemukan daripada golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik. v. Faktor umur dan jenis kelamin Penyakit tinea kapitis lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. Pada wanita lebih sering ditemukan infeksi jamur di sela-sela jari dibandingkan pada pria, dan hal ini banyak berhubungan dengan pekerjaan. Di samping faktorfaktor tadi masih ada faktor-faktor lain, seperti faktor perlindungan tubuh, faktor transpirasi serta penggunaan pakaian yang serba nilon dapat memudahkan timbulnya penyakit jamur ini (Siregar, 2004).

Erupsi kulit sekunder yang disebut dermatofitid atau reaksi id tampak pada individu yang tersensitisasi dan telah dihubungkan dengan antigen jamur yang beredar yang berasal dari infeksi primer. Erupsi paling sering terjadi pada jari, tangan dan lengan dan ditandai oleh sekelompok papula dan vesikel dan kadang-kadang oleh pustul steril. Lesi urtikaria simetris dan erupsi makulo papula yang lebih menyeluruh juga dapat terjadi. Reaksi id paling sering disertai dengan tinea pedis
7

tetapi juga terjadi dengan tinea kapitis; pada kasus yang disebut terakhir, erupsi papulovaskuler folikuler menyeluruh dan dapat terjadi (Richard et al, 2000). d. Patogenesis Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu : (Rippon, 1988; Verna dan Hefferman, 2008; Erviant et al, 2002; Wolf et al, 2005)
i.

Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara sekitar rumah sakit/ klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent carrier).

ii.

Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung mupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah atau tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman. Sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.

iii.

Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang (Ervianti et al, 2002) Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat

mengatasi pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau radang (Cholis, 2004; Budimulya, 2007; Underhill, 2007).
8

Terjadinya infeksi dermatofitosis melalui tiga langkah utama, yaitu : perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon pejamu (Verna dan Hefferman, 2008; Budimulya, 2007). i. Perlekatan Dermatofit Pada Keratinosit Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisasi keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan activator plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospora dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis strainnya (Richardson dan Edward, 2000) ii. Penetrasi Dermatofit Melewati Dan Di Antara Sel Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4-6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin (Verna dan Hefferman, 2008; Ervianti et al, 2002; Richardson dan Edwart, 2000) Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun tersebut, jamur pathogen mengunakan beberapa cara : (Underhill, 2007; Richardson dan Edwart, 2000)
9

1)

Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul

polisakarida yang tebal, memicu pertumbuhan filament hifa, sehingga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
2)

Pengendalian, respons

dengan imun

sengaja mengarah

mengaktifkan kepada tipe

mekanisme penghambat imun pejamu atau secara aktif mengendalikan pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD 14 dan komplemen C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag yang terhambat.
3)

Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang

secara langsung merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospora (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik. Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi kemampuan dermatofit dalam melakukakan penetrasi pada stratum korneum (Ha dan Moore, 1998).

iii. Respon Imun Pejamu

10

Respon imun pejamu terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunisasi alami yang memberikan respon cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat (Verna dan Hefferman, 2008; Koga, 2005) Pada kondisi individu yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid dapat meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik (Verna, Hefferman, 2008) Kemampuan jamur untuk menyesuaikan diri di dalam lingkungan pejamu, dan kemampuan mengatasi pertahanan seluler, merupakan dua mekanisme terpenting dalam patogenesis penyakit jamur (Cholis, 2001). Sehingga respon imun pejamu terhadap timbulnya infeksi jamur dapat dibedakan menjadi dua mekanisme yaitu : 1) Mekanisme imun nonspesifik Mekanisme imun nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama terhadap infeksi jamur (Cholis, 2001; Akib, 2008). Respon radang merupakan mekanisme pertahanan nonspesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat dua unsur reaksi radang, yaitu produksi sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi organisme, antara lain lisozim, sitokin, interferon, komplemen, dan protein fase akut. Unsur kedua merupakan elemen seluler seperti netrofil dan makrofag, basil, sel mas, eosinofil, trombosit dan sel natural killer (Cholis, 2001). Respon seluler pada peradangan dimulai oleh lekosit PMN. Terjadinya kemotaksis dirangsang oleh faktor yang dikeluarkan oleh jaringan yang rusak. Fungsi utama netrofil ialah fagositosis. Komplemen bekerja sebagai opsonin. Jika
11

komplemen C3 disajikan pada permukaan sel mikroba dengan melekatkan pada reseptor C3 netrofil, akan memudahkan terjadinya fagositosis. Setelah fagositosis, metabolisme oksidatif dibentuk oleh netrofil, yang penting dalam mekanisme fungisida (Cholis, 2001). Makrofag mencerna dan memproses antigen sebelum disajikan pada limfosit. Sel granulosit yang lain juga penting dalam pembentukan dan pengaturan respon radang. Degranulasi sel mas dan basofil mengakibatkan keluarnya bahan-bahan aktif seperti kemotaktor dan enzim yang penting dalam pembentukan dan pengaturan respon radang (Cholis, 2001; Bratawidjaya, 1993). Sistem komplemen mempunyai peranan pengaturan yang komplek dalam respon radang, dan dapat diaktifkan melalui jalur klasik dan alternative. Pada jalur alternative, membran sel jamur dan endotoksin mengaktivasi komplemen sebagai bagian dari respon imun nonspesifik. Pada jalur klasik, terjadi ikatan antara antibodi dengan permukaan antigen sel mikroba yang melalui sistem komplemen sebagai bagian dari respon imun spesifik. Faktor-faktor ini menyebabkan terjadinya konversi dari komplemen C3 menjadi C3b, dan mulai terjadi lisis (Cholis, 2001; Bratawidjaya, 1993). 2) Mekanisme pertahanan spesifik Sistem imun spesifik mampu mengenal agen yang dianggap asing bagi tubuh. Sel yang bekerja adalah sel limfosit T yang berperan dalam sistem imunitas seluler dan sel limfosit B berperan dalam pembentukan imunoglobulin dalam sistem imunitas humoral. Sistem imunitas seluler bersifat spesifik dan merupakan sistem yang penting dalam membasmi jamur. Jika
12

terjadi sensitasi dari sel limfosit T dengan antigen jamur patogen bertemu maka akan terjadi reaksi imun seluler yang meliputi tiga proses yaitu: stadium I akan terjadi kombinasi antigen dengan limfosit T tersensitasi spesifik, stadium II merupakan reaksi morfologi dan biokimia, dimana terjadi transformasi dan mitosis sel limfoblast dan perubahan biologi berupa sintesis protein dalam DNA dan RNA, stadium III merupakan ekskresi biologi yaitu dengan bangkitnya sel T Helper, sel T supresor, sel T sitotoksik, serta sel T yang memproduksi mediator imunitas dan sel memori. Dengan cara tersebut respon peradangan akan meningkat dan diharapakan dapat menanggulangi infeksi jamur. Oleh sebab itu, penderita dengan imunodefisiensi sistem limfosit T atau mendapat pengoabatan imunosupresif akan lebih mudah terinfeksi jamur (Sukanto, 2002). e. Diagnosis Menurut Safrudin (2001) dalam Hendra (2004) beberapa hal dapat diajukan sebagai kriteria dermatofitosis :
1) Terdapat fokus dermatofita yang dapat dibuktikan. 2) Tes kulit positif terhadap antigen trichophyton.

3) Pada lesi reaksi id tidak ditemukan jamur. 4) Reaksi id sembuh setelah infeksi jamur sembuh dengan pengobatan atau tanpa pengobatan. Untuk menegakkan diagnosis dermatofitosis sendiri dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan melihat gejala klinis dan dengan pemeriksaan laboratorium. Dari pemeriksaan gejala klinis sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1)

Gejala subjektif, yaitu gejala yang ditunjukkan dengan gatal-

gatal hebat dan rasa tidak enak disebabkan jaringan intertrigo yang meradang saling bergesekan.

13

2)

Gejala obyektif yaitu erupsi kulit yang timbul dan bila dermatofitosis, selain temuan

mengering menjadi krusta dan skuama. Dalam membangun diagnosis efloresensi kulit (gejala klinis) , diperlukan pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang pemeriksaan, dengan larutan KOH dan pemeriksaan kultur.
a.

Pemeriksaan Elemen Jamur (Brandt and Warnock, 2003;

Nugroho dan Siregar, 2001) 1) Pemeriksaan dengan larutan KOH Bahan pemeriksaan yang didapat, dipindahkan ke gelas objek, lalu ditetesi dengan larutan KOH 10%-30%. Tutup dengan gelas penutup, tekan perlahan untuk menghilangkan gelembung udara. Kemudian dipanaskan tetapi jangan sampai mendidih. Sediaan diperiksa dengan mikroskop, mulai dengan pembesaran rendah. Bila elemen jamur sudah terlihat, pembesaran dapat dinaikan agar pemeriksaan lebih detil. 2) Pemeriksaan dengan larutan KOH + Tinta Parker Pada pemeriksaan yang didapat , dipindahkan ke gelas objek, lalu ditetesi larutan KOH dan tinta Parker biru hitam dengan perbandingan tertentu. Tutup dengan gelas penutup, kemudian dipanaskan tetapi jangan sampai mendidih. Sedian dipersiksa dengan mikroskop, mulai dengan pembesaran rendah. Bila elemen jamur sudah terlihat, pembesaran dapat dinaikkan agar pemeriksaan lebih detil.
3) Pemeriksaan dengan larutan Lactophenol Cotton Blue

Teknik pemeriksaan sama dengan pemeriksaan dengan larutan KOH. 4) Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram
14

Diperlukan

larutan

karbol-gentianviolet,

larutan

yodium,

alkohol 95% dan larutan safranin. Bahan pemeriksaan yang didapat diletakkan pada gelas objek, lalu direkatkan dengan api, dan biarkan dingin terlebih dahulu. Pulas dengan larutan karbolgentianviolet selama 60 detik, lalu cuci dengan air suling. Kemudian pulas dengan larutan yodium selama 30 detik dan cuci dengan aquadest. Tambahkan alkohol 95% hingga tidak ada warna violet yang dilepaskan oleh sediaan, kemudian cuci dengan air suling. Pulas dengan larutan safranin selama 10 detik, kemudian cuci dengan aquadest dan biarkan kering di udara. Periksa sediaan dengan menggunakan mikroskop dengan pembesaran rendah objektif (10x), dikurangi sinar yang masuk agar terlihat lebih kontras. Bila elemen jamur sudah terlihat, pembesaran dapat dianaikkan 20-40x. 5) Interprestasi hasil Elemen jamur dermatofita : terlihat hifa dan spora.
b.

Pemeriksaan Kultur (Brandt and Warnock, 2003; Nugroho

dan Siregar, 2001) Ada 3 media biakan yang digunakan secara luas, yaitu : 1) Agar Sabouraund Agar Sabouraund disebut sebagai media universal karena dapat digunakan untuk mengisolasi semua jenis jamur. 2) Modifikasi Agar Sabouraund Media yang mengandung kloramfenikol dan sekloheksimid, merupakan media selektif untuk mengisolasi dermatofit karena dapat mencegah pertumbuhan kontaminan seperti bakteri dan jamur lainnya.
15

3) Media DTM (Dermatophyte Test Medium) Media ini mengandung merah fenol yang merubah warna medium dari warna kuning menjadi merah akrena adanya metabolit alkalin oleh koloni dermatofit.

f. Manifestasi Klinis Pada umumnya, dermatofitosis pada kulit memberikan morfologi yang khas, yaitu bercak-bercak yang berbatas tegas disertai efloresensiefloresensi yang lain sehingga memberikan kelainan yang polimorf dengan bagian tepi yang aktif serta berbatas tegas sedang bagian tengah tampak tenang. Gambaran klinis ini merupakan campuran kerusakan jaringan kulit dan reaksi radang yang terjadi pada kulit penjamu. (Siregar, 2004) Gejala objektif ini selalu disertai dengan perasaan gatal. Bila kulit yang gatal ini digaruk, papul atau vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah yang erosif dan bila mengering jadi krusta dan skuama. Kadang-kadang bentuknya menyerupai dermatitis (Ezema marginatum), tetapi kadang-kadang pila hanya berupa makula yang hiperpigmentasi saja (Tinea korporis) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai gejala-gejala peoderma (impeti-genesiasi) (Siregar, 2004). Beberapa macam infeksi jamur (dermatofitosis) yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita, berdasarkan lokasinya adalah sebagai berikut (Smetzer dan Bare, 2002) :
i. Tinea Pedis (Penyakit Jamur Kaki; Ringworm of the foot; Kutu Air)

16

Merupakan infeksi jamur pada kaki. Sering dijumpai pada orang yang dalam kesehariannya banyak bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk dan para pekerja dengan kaki yang selalu atau sering basah (Budimulja,1987). Tinea pedis biasanya menyerang sela-sela kaki dan telapak kaki.
ii.

Tinea Korporis (Penyakit Jamur Badan) Merupakan infeksi jamur pada bagian muka, leher, batang tubuh dan ekstremitas (pada bagian yang terinfeksi tampak lesi berbentuk cincin atau lingkaran yang khas). Panu atau Pitiriasis versikolor tergolong dermatomikosis yang non-dermatofitosis. Pasalnya, jenis jamur penyebabnya bukan termasuk dermatofita, melainkan malassezia furfur. Gambaran klinisnya pun tidak khas seperti tinea, berupa cincin dengan daerah tenang di bagian sentral. Sekalipun keluhannya tidak cukup berarti, problem kulit yang sangat populer ini memiliki tendensi yang menahun (kronik). Hanya ketika tubuh berkeringat, infeksi kulit ini melahirkan rasa gatal. Wujud klinisnya berupa bercak bersisik halus yang berwarna putih hingga kecokelatan. Distribusi geografisnya dapat dimana saja, bisa di badan, leher, lengan, bahkan di ketiak, lipat paha, tungkai atas, muka, dan kulit kepala yang berambut.

iii.

Tinea Kapitis (Penyakit Jamur Kulit Kepala) Merupakan infeksi jamur menular yang menyarang batang rambut dan penyebab kerontokan rambut yang sering dijumpai pada anakanak. Secara klinis dapat ditemukan bercak bundar berwarna merah dan bersisik. Rambut menjadi rapuh dan patah di dekat permukaan kulit kepala. Biasanya Tinea kapitis menyerang kulit kepala, rambut, alis, dan bulu mata.

iv.

Tinea Kruris (Penyakit Jamur Lipat Paha)

17

Merupakan infeksi jamur lipat paha yang dapat meluas ke paha bagian dalam dan daerah pantat. Sering ditemukan pada pelari, orang-orang gemuk, dan orang yang suka mengenakan pakaian ketat. Kadas atau kurap sangat sering menyerang kulit. Wujudnya di kulit berupa bercak berbentuk bulat atau lonjong dan berbatas tegas. Warnanya kemerahan, bersisik, dan berbintil-bintil. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang timbul lecet akibat garukan kuku. Jika infeksi ini menyerang daerah lipatan, ia sering disebut sebagai tinea kruris. Sebarangeografisnya pada lipatan paha, daerah kelamin luar, sekitar lubang anus.

v.

Tinea Unguium Merupakan infeksi jamur yang kronis pada kuku jari kaki atau kuku jari tangan. Biasanya Tinea unguium disertai dengan infeksi jamur yang lama pada kaki. Kuku menjadi tebal, rapuh, dan tidak mengkilat. Tinea unguium (onychomycosis, ringworm of the nail) adalah jamur dermatofitosis yang paling sukar dan lama disembuhkan. Kuku menjadi rusak dan rapuh. Bentuknya tak lagi normal. Di bagian bawah kuku akan menumpuk sisa jaringaan kuku yang rapuh.

vi. Tinea barbae menyerang daerah dagu, jenggot dan jambang. vii. Tinea manus menyerang tangan dan telapak tangan. viii. Tinea imbrikata, bila menyerang seluruh tubuh dengan memberi

gambaran klinis yang khas. g. Diagnosis Banding


18

Diagnosis banding dermatofitosis berdasarkan pembagian infeksi yang telah dibubuhi lokasi tubuh yang diserang. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop langsung memakai larutan KOH 10-20 % (Spicer, 2008). Tinea padis berbeda dengan dermatitis, yang biasanya batasnya tidak jelas, bagian tepi tidak aktif daripada bagian tengah. Efek samping pemberian obat juga dapat menyerupai ekzem atau dermatitis yaitu adanya dermatitis kontak. Akrodermatitis kontinua, kandidosis, dan morbus Andrews juga dapat menyerupai tinea pedis. Dalam pemeriksaan fisik tampak sama maka pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk membedakan satu dengan yang lainnya. Pada tinea unguinum, psoriasis yang menyerang kuku didapatkan gambaran yang sama. Selain psoriasis pennyakit kulit yang menyerang bagian dorsal jari-jari tangan dan kaki dapat menyebabkan kelainan dengan distrofi kuku missal paronoka yang etiologinya ekzema atau dermatitis, dan akrodermatitis pestans. Sedangkan diagnosis banding tinea korporis antar lain dermatitis seboroika, psoriasis, pitiriasis rosea dan kandidosis. Keempatnya yang timbul disekitar lipatan-lipatan paha sukar dibedakan. Tinea barbe sukar dibedakan dengan sikosis barbe. Pemeriksaan langsung dapat membedakan kedau penyakit ini (Budimulya, 2006). h. Penatalaksanaan 1) Bila masih basah / infeksi sekunder.
i. Kompres dengan sol sodium chloride 0,9 % 3-5 hari

ii. Kaps. Eritromisin 4dd 250 500 mg. iii. Anak-anak : 3-4 dd 12,5-37,5 mg/kgBB / dosis diberikan 5-7 hari.
19

2) Obat topical i. Bila lesi tidak luas


ii. Krim mikonazole nitrat 2% pagi-sore.

iii. Salep whitfield berisi asidum salisilium 3% dan asidum benzoikum iv. 6%, pagi sore, jangan untuk daerah muka
v. Salep 2-4 asidum salisilicum 2% - sulfur presipitatum 4% pagi

sore. 3) Obat oral a. Tablet Griseofulvin (tabl:125mg,250mg,500mg) i. dosis anak 10 mg/kg BB/hr ii. dosis dewasa 500-1000 mg/hr iii. diberikan 1x sesudah makan siang / 2x sehari sesudah makan
iv. Indikasi pada tinea corporis yang luas, sering kambuh /

dengan obat topical tidak sembuh sembuh. Dermatofitosis yang dengan griseofulvin tidak sembuh/ intoleransi. Lama pengobatan topikal atau / dan oral minimal 3 minggu atau sampai dengan 1-2 mg sesudah KOH negatif, untuk mencegah kekambuhan. 4) Obat tambahan i. Tab. CTM 2-4 dd -1 tab.Diberikan bila rasa gatal

mengganggu.
ii.

Anak : 4 dd 0,09 mg / kg BB / dosis (Suyoso, 2004).


20

2. Riwayat Atopik Atopi berasal dari bahasa Yunani Atopia yang berarti sesuatu yang tak lazim/ berlebihan. Istilah ini untuk menggambarkan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitifitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia (Harijono, 2006). Atopi ini diperkenalkan pertama sekali oleh Coca dan Cooke tahun 1923. Atopi berasl dari bahasa Yunani, yang berarti penyakit aneh ataupun hipersensitivitas abnormal untuk melawan faktor-faktor lingkungan, dijumpai pada penderita ataupun keluarganya, tanpa sensitisasi yang jelas dari keluarganya (Irma, 2000), misalnya asma bronkiale, rhinitis alergi, dermatitis atopik (Djuanda, 2002) a. Dermatitis Atopik 1) Definisi Dermatitis atopik (DA) ialah dermatofitosis dengan gambaran klinis seperti eczema, dengan perasaan gatal yang sangat mengganggu penderita dan disertai stigmata atopik pada penderita sendiri atau dalam keluarganya. (Richard et al, 1985) 2) Manifestasi Klinik Dermatitis atopik merupkan salah satu dari bentuk eczema. Karakteristiknya adalah rasa gatal, eritem, dan ada perubahan histologik dengan sel radang yang bulat, dan ada epidermal spongiotik. Distribusinya adalah muka dan lipatan kulit, seperti fosa kubiti dan fosa poplitea, dan sering ada riwayat atopi pada dirinya ataupun keluarganya, seperti asma atau rinokonjungtiva. Berdasarkan lokalisasi, morfologi dan juga golongan umur, dermatitis atopik dapat dibagi dalam 3 bentuk klinis, yaitu :
21

a) Bentuk infantile (2 bulan-2 tahun) Mula-mula terlihat eritema, papula miliaris, vesikula yang meliputi daerah yang berbatas tegas. Kelainan ini cepat menjadi eksudatif, erosive kemudian berkeropeng. Sering disertai infeksi sekunder. Tempat predileksi ialah pipi (sering disebut melk eczema karena air susu), lipatan siku dan lipatan lutut, biasanya simetris. b) Bentuk anak (4-10 tahun) Kelainan kulit telah berubah bentuknya dan umumnya sudah tidak eksudatif lagi. Mulai terlihat likenifikasi dan hipopigmentasi dengan papula miliaris. Predileksi pada tengkuk, lipat siku dan lipat lutut. c) Bentuk dewasa (13-30 tahun) Kelainan kulit sering dengan likenifikasi yang nyata. Predileksi sama dengan bentuk anak. (Richard et al, 1985)
3) Etiologi dan Patogenesis (Harahap,2000)

Dermatitis atopik dan kelainan atopik lainnya dapat dipindahkan melalui transplantasi sumsum tulang. Hal ini menegaskankan bahwa sel darah merupakan vesikolor untuk manifestasi kelaianan kulit. a) Faktor turunan Diduga dermatitis atopik diturunkan secara dominan autosomal, resesif autosomal, dan multifaktorial. b) Faktor Imunologi Gangguan imunologi yang menonjol pada DA adalah adanya peningkatan produksi IgE karena aktivitas limfosit T yang meningkat. Aktivitas limfosit meningkat karena pengaruh dari IL22

4. Sementara itu produksi IL-4 dipengaruhi oleh aktivitas sel T Hepar. Sel TH2 akan merangsang sel B untuk memproduksi IgE. Sitokin dihasilkan IL-2 dan IL-4. Jadi, pada DA, TH2 mempunyai peran yang menonjol pada proses patrogenesis DA. Imunopatologi DA sangat kompleks. IgE meningkat 80% pada DA. Perlu diketahui bahwa pada DA, selain melalui reaksi hipersensitivitas tipe I, IgE juga dapat bertindak sebagai pelengkap antigen pada reaksi IgE-Mediated delayed type hypersensitivity. Sel Langerhans (APC) menyerhkan antigen ke sel T dan menyebabkan sel T menjadi aktif. Hasilnya adalah produksi limfokin. Antigen, dapat berupa tungau debu rumah (TDR), berikatan dengan IgE yang menempel pada permukaan 23ontrol23 sel Langerhans. Menempelnya molekul immunoglobulin pada sel Langerhans melalui suatu reseptor disebut Fc-iR. Keberadaan Fc_iR pada dinding membrane sel Langerhans epidermal ini mempunyai kaitan dengan peranan sel Langerhans sebagai sel panyaji antigen. Pada penderita dermatitis atopik, sel Th2 aktif memproduksi Il-5 yang mempengaruhi migrasi eosinofil. Karena efek in vivo Il-5 menyerupai efek ECFA, eosinofil pada penderita DA menjadi lebih prominen jumlah dan efektivitasnya. Dengan demikian, Il-5 ini selain merangsang sel B juga merangsang sel eosinofil untuk bergerak ke daerah yang sedang mendapat paparan antigen inhalan.
4) Diagnosis (Harahap,2000)

Untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik, pada tahun 1980 telah dibuat criteria Hanafin dan Radjka. Diagnosis ditegakkan apabila ada >3 kriteria mayor ditambah dengan 3 atau lebih kriteria minor.

23

Kriteria mayor dermatitis atopik adalah : a) Pruritus b) Adanya riwayat atopik (asma,eczema atopik, rhinitis/

konjungtivitis) pada penderita ataupun keluarganya. c) Kronis dan sering kambuh. d) Klinis dan distribusi yang khas : i. Lipatan mengalami likenifikasi/ likenifikasi yang liner pada anak dan dewasa. ii. Mengenai muka dan bagian ekstensor pada bayi dan anak-anak Kriteria minor dermatitis atopik : a) b) c) d) e) f) Kulit kering (Xerosis) Iktiosis/ palmar hiperlinier/ keratosis pilaris Reaktivitas uji kulit tipe I (dijumpai 80% penderita) Kadar IgE meningkat Dimulai pada usia dini (biasanya usia 3-6 bulan) Kecenderungan mendapat infeksi kulit (infeksi stapilokokus

dan herpes simplek), gangguan imunitas seluler. g) Kecenderungan untuk menderita dermatitis pada tangan dan

kaki yang tidak spesifik. h) Eksema pada putting susu.

24

i) j) k) l)

Cheilitis. Konjungtivitis yang berulang-ulang. Lipatan Dennie-Morgan pada infra orbitalis. Keratokonus.

m) Katarak subkapsuler anterior. n) o) p) q) r) s) t) u) v) emosi.


w) Dermografi putih/ delayed blanch. 5) Pengobatan (Siregar, 2004)

Hiperpigmentasi infra orbita. Muka pucat/ muka merah. Pitriasis Alba Lipatan pada leher bagian depan. Gatal bila berkeringat. Intoleran terhadap wol dan larutan lemak. Aksentusi perifolokular. Intoleran terhadap makanan. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan/

a.

Tindakan umum Dinasehatkan untuk memberitahukan rencana pengobatan

yang akan diberikan kepada pasien ataupun orang tua penderita.

25

Pada penderita DA, sebaiknya dilakukan gerak jalan sedikit ataupun latihan gerak badan ringan untuk menghilangkan kegelisahan atu stress. Kelembaban ruangan dipertahankan 50-60% untuk

menghindari pengeringan kulit. Syarat-syarat dasar pada pengobatan DA : i. Pada eksaserbasi yang berat, sebaiknya penderita pindah lingkungan (misalnya rumah sakit). ii. Pengobatan Balneotherapeutic regimen. iii. Hindari rangsangan pada kulit. iv. Bila ekzemanya basah, sebaiknya pasien menggunakan sarung tangan dari katun. v. Hindari bahan pembersih yang dapat merangsang kulit.
vi. Bila harus memakai sarung tangan plastik pada waktu

bekerja, sebaiknya dalam waktu singkat saja. b. Penatalaksanaan a) Menghindari kekambuhan (cegah faktor pencetus) b) Pengobatan terhadap gejala : (1)
i.

Pengobatan sistemik : Antihistamin diberikan untuk mengatasi gatal misalnya Chloropheniramine, prometazine, hidroxyne.

ii.

Antibiotika

digunakan

bila

mengalami

infeksi

sekunder, misalnya eritromisin.

26

iii.

Kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan, kecuali bila kelainannya luas, atau eksaserbasi akut, dapat diberikan dalam jangka waktu pendek (7-10 hari) misalnya Prednison, Deksmetason, Triamsinolone, Methil prednisolon.

(2)

Pengobatan topical Pada tipe infant diberi kortikosteroid ringan dengan efek sambaing sedikit, misalnya krim hidrokortison 11,5%.

i.

ii.

Pada tipe anak dan dewasa dengan likenifikasi dapat diberi kortikosteroid kuat seperti betamitason dipropionat 0,05%.

iv. Asma Bronkiale a. Definisi Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya terengah-engah dan berarti serangan nafas pendek( Price, 1995). Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara kontrol dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat kontrol baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebabsebab lain sudah disingkirkan (Nelson, 1995) Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan
27

batuk, khususnya pada malam atau dini hari (GINA, 2006). Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi, yang sebagian bersifat control lebaik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. b. Klasifikasi Asma Berdasarkan Berat Penyakit Klasifikasi asma yaitu : (Hartantyo, 1998) a. Asma intrinsik Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kodisi lingkungan yang buruk seperti klembaban, suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang berlebihan. b. Asma ekstrinsik Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap orang yang sehat. Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu: 1. Asma Intermiten (asma jarang) - gejala kurang dari seminggu - serangan singkat - gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan - FEV 1 atau PEV > 80% - PEF atau FEV 1 variabilitas 20% 30%

28

2. Asma mild persistent (asma persisten ringan) - gejala lebih dari sekali seminggu - serangan mengganggu aktivitas dan tidur - gejala pada malam hari > 2 kali sebulan - FEV 1 atau PEV > 80% - PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% 30% 3. Asma moderate persistent (asma persisten sedang) - gejala setiap hari - serangan mengganggu aktivitas dan tidur - gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu - FEV 1 tau PEV 60% 80% - PEF atau FEV 1 variabilitas > 30% 4. Asma severe persistent (asma persisten berat) - gejala setiap hari - serangan terus menerus - gejala pada malam hari setiap hari - terjadi pembatasan aktivitas fisik - FEV 1 atau PEF = 60% - PEF atau FEV variabilitas > 30% Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan asma yaitu:

29

1.

Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat, bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi,

2.

Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat, lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang -kadang terdengar pada saat inspirasi,

3.

Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi duduk bertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop,

4. Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingunan,

sudah tidak terdengar mengi dan timbul bradikardi (GINA, 2008) c. Patogenesis Heru Sundaru dan Sukamto (2006) dalam Sudoyo (2007)

sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran nafas berlebih. Asma Sebagai Penyakit Inflamasi Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran nafas. Inflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) danrubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris), dan function laesia (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata karena syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non-alergik. Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran nafas. Oleh karena itu paling tidak dikenal 2
30

jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah APC (Antigen Persenting Cells = sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong inilah yanga kan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi seperti histamine, prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran ssehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vascular, edema saluran nafas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mucus dan fibrosis sel epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran nafas (HSN). Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang system saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.
d.

Diagnosis Heru Sundaru dan Sukamto (2006) dalam Sudoyo (2007) diagnosis

asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan diujumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun kelurganya seperti rhinitis alergi, dermatitis atopik membantu diagnosis asma. Geja asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan. Dengan mengetahui

31

faktor pencetus, kemudian menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat dicegah. Faktor-faktor pencetus pada asma yaitu : 1. Infeksi virus saluran nafas : influenza. 2. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang. 3. Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi.

4. Kegiatan jasmani : lari. 5. Ekspresi emosional takut, marah, frustasi. 6. Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti-inflamasi non-steroid. 7. Lingkungan kerja : uap zat kimia. 8. Polusi udara : asap rokok. 9. Pengawet makanan : sulfit. 10. Lain-lain, misalnya haid, kehamilan, sinusitis. Yang membedakan asma dengan penyakit yang lain yaitu pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati ada yang hilang sendiri. Tetapi membiarkan pasien asma dalam serangan tanpa obat selain tidak etis, juga dapat membahayakan nyawa pasien. Gejala asma juga sangat bervariasi pada individu sendiri misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul disbanding siang hari. v. Rhinitis Alergi a. Definisi Menurut Von Pirquest (1986) dalam Irawati (2006) rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
32

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan geja bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh IgE (Irawati, 2006).
b.

Manifestasi Klinis dan Diagnosis Malcolm (1987) dalam Adams ae al (1997) bahwa rhinitis alergika

secara khas dimulai pada usia yang sangat muda dengan gejala-gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair dan gatal, dan postnasal drip. Keluhan yang lazim menyertai polip hidunga adalah hidung tersumbat dan rinore. Gejala dan tanda terjadinya sinusitis tergantung pada sinus yang terlibat. Secara khas dapat berupa nyeri kepala, nyeri tekan atau nyeri pada daerah sinus yang terkena, sumbatan hidung, secret hidung, dan sakit tenggorokan. Oleh beberapa ahli dikatakan bahwa sebagian sinusitis aktif dapat memperhebat asma bronkial. Pemeriksaan fisik pada penderita rhinitis alergika memperlihatkan lakrimasi berlebihan, sclera dan konjungtiva yang merah, daerah gelap periorbita (mata biru alergi), pembengkakan sedang sampai nyata dari konka nasalis yang berwarna kepucatan hingga keunguan, secret hidung encer jernih, dan keriput lateral pada kristal hidung. Polip hidung sering kali terlihat di bagian atas dinding hidung lateral, mengelilingi konka media. Polip hidung alergi khas adalah licin, lunak, mengkilap dan berwarna biru. Nyeri dan nyeri tekan pada daerah sinus dapat terjadi pada sinusitis.
c.

Patofisiologi (Irawati, 2006)

33

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamsi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immadiate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (antigen Presenting Cell/ APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipersentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th 2 akan menghasilkan beragai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini mejadi atif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitasi. Bila mukosa yang sudah tersensitasi sudah terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alegen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimiayang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin, Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara

34

lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6), GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid, Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel melanosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini datandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan nastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dan granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembabab udara yang tinggi

35

d.

Penatalaksanaan (Adams et al, 1998)

a. Menghindari alergen penyebab Dapat dicapai dengan mengisolasi pasien dari alergen,

menempatkan suatu sawar antara pasien denan alergen, atau menjauhkan alergen dari pasien. b. Terapi simtomatik dengan obat-obatan Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongstan secara peroral (Irawati, 2006) c. Injeksi alergen , imunoterapi, atau hiposensitasi. Van Metre dan Adkinson dalam Irawati (2006) menjelaskan bahwa bila cara-cara konservatif tidak berhasil, maka injeksi alergen dapat diindikasikan. Prosedur ini berupa penyuntikan alergen penyebab secara bertahap dengan dosis yang makin meningkat guna menginduksi toleransi pada penderita alergi. d. Penatalaksanaan memperburuk. Kelemahan, stress emosi, perubahan suhu mendadak, infeksi penyerta, deviasi seputum dan paparan terhadap polutan udara lainnya, dapat mencetuskan, memperhebat dan mempertahankan gejala-gejala yang menyertai rhinitis alergika. Penangan faktorfaktor ini sama pentingnya dengan yang ditujukan pada alergen tertentu. e. Terapi bedah
36

komplikasi

atau

faktor-faktor

yang

Pembedahan bisa dilakukan pada polip hidung dan sinusitis berkaitan dengan faktor infeksi jika gagal dengan terapi obatobatan. Tindakan ini memungkinkan ventilasi dan drainase hidung dan sinus yang memadai, serta juga melegakan sumbatan. Pembedahan dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit mukosa kronik pada sinus dan komplikasi sinusitis.

37

ii.

Kerangka Pemikiran Genetik

Alergen

Riwayat Atopik
Dermatitis
Alergi Asma bronkiale

Epidermophyton Microsporum Trichopyton

Rinitis alergi

Dernatofita

Dermatofitosis

Variabel pengganggu tak terkendali Suhu dan kelembaban

Variabel pengganggu terkendali Umur Jenis kelamin Ras

Trauma Sosial ekonomi Higienitas Virulensi

38

iii.

Hipotesis Ada hubungan riwayat atopik dengan kejadian dermatofitosis dimana orang dengan riwayat atopik lebih mudah terkena dermatofitosis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan dilakukan merupakan penelitian epidemilogi yang bersifat observasional analitik, dengan desain Hospital Based Case Control Study. Desain ini dipilih karena dapat digunakan untuk mencari hubungan seberapa jauh riwayat atopik mempengaruhi dermatofitosis. B. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Poliklinik Kulit Kelamin RSUD Dr.Moewardi Jl. Kolonel Soetarto 132 Surakarta. C. Subjek Penelitian

39

Penelitian ini dilakukan terhadap pasien kulit yang berobat di Poliklinik Kulit Kelamin RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Dengan pertimbangan karakteristik umur, jenis kelamin dan pekerjaan dari pasien yang berobat di Poliklinik Kulit Kelamin RSUD Dr. Moewardi Surakarta. D. Teknik Sampling a. Kriterian inklusi 1. Penderita dermatofitosis ditentukan berdasarkan umur, ras dan jenis kelamin. 2. Pernah dirawat di poliklinik kulit kelamin RSUD Dr.Moewardi.. 3. Responden bertempat tinggal di wilayah Surakarta. 4. Responden memiliki identitas yang jelas. 5. Bersedia menjadi sampel penelitian dengan menandatangani informed consent. b. Kriteria eksklusi untuk kelompok kasus kontrol adalah : 1. Pasien dengan riwayat penyakit predisposisi Dermatitis atopik, rhinitis
2. alergi dan asma bronkiale. 3. Higienitas personal yang buruk.

E. Estimasi Besar Sampel Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara riwayat atopi dengan dermatofitosis. Peneliti menggunakan desain kontrol. Untuk menentukan besar sampel, peneliti menetapkan bahwa perbedaan proporsi pajanann minimal

40

antara kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah 20 %. Diketahui bahwa proporsi pajanan pada kelompok kontrol sebesar 10 %. Kesalahan tipe I ditetapkan 5 %, hipotesis satu arah sehingga Z = 1,64. Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20 %, maka Z = 0,84 P2 Q2 P1 P2 = proporsi pajanan pada kelompok kontrol sebesar 0,1 (kepustakaan) = 1 0,1 = 0,9 = selisih proporsi pajanan minimal yang dianggap bermakna,

ditetapkan sebesar 0,2

P1 Q1 P Q

= P2 + 0,20 = 0,1 + 0,2 = 0,3 = 1 P1 = 1 0,3 = 0,7 = (P1 + P2)/2 = (0,3 + 0,1)/ 2 = 0,2 = 1 P = 1 0,2 = 0,8

Dengan memasukan nilai-nilai di atas pada rumus, diperoleh : N1 = N2

= = 49 Dengan demikian, besar sampel untuk tiap kelompok adalah 49. Kelompok kasus sebanyak 49 dan kelompok kontrol sebanyak 49 (Dahlan, 2009).

41

F. Identifikasi Variabel 1.
2.

Variabel terikat Variabel bebas Variabel luar

: Dermatofitosis : Riwayat atopik

3.

a. Dapat dikendalikan
b. Tidak dapat dikendalikan

: umur, jenis kelamin, ras. : suhu dan kelembaban, trauma, sosial

ekonomi, higienitas, virulensi. G. Definisi Operasional Variabel 1. Riwayat atopik Riwayat atopik dalam penelitian ini didefinisikan sebagai suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan (hipersensitifitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia serat cenderung diturunkan atau familial (Champion, 1978) Riwayat atopik dalam penelitian ini meliputi dermatitis atopik, asma bronkiale dan rhinitis alergi yang ditemukan pada pasien dermatofitosis. Riwayat tersebut dapat diketahui dari anamnesia menggunakan kuesioner atau melihat data rekam medis pasien. Diagnosis riwayat atopik ditegakkan bila dari kuisioner didapatkan pasien pernah atau sedang menderita salah satu atua lebih penyakit yang termasuk atopik (dermatitis atopik, asma bronkiale, rhinitis alergi).

42

Subjek dikelompokkan sebagai kelompok yang mempunyai riwayat atopik dan tidak mempunyai riwayat atopik. Variabel ini termasuk kedalam variable katagorikal dan skala nominal.. 2. Dermatofitosis Dermatofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita (Perdoski, 2001). Berdasarkan lokasi yang terinfeksi oleh dermatofita, pembagian dermatofitosis meliputi :
a. b.

Tinea kapitis, bila menyerang kulit kepala dan rambut. Tinea korporis, bila menyerang kulit tubuh yang tidak

berambut (glabrous skin).


c.

Tinea kruris, bila menyerang kulit lipat paha, perineum,

sekitar anus dan dapat meluas sampai ke daerah gluteus, perut bagian bawah, dan ketiak atau aksila.
d.

Tinea manus dan tinea pedis, bila menyerang daerah kaki

dan tangan, terutama telapak tangan dan kaki serta sela-sela jari.
e.

Tinea unguium, bila menyerang kuku.

f. Tinea barbae, bila menyerang daerah dagu, janggut, jambang, dan

kumis.
g.

Tinea imbrikata, bila menyerang seluruh tubuh dengan

member gambaran klinis yang khas. (Siregar, 2005) Penegakan dermatofitosis ini menggunakan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang khas pada masing-masing tipe tinean kapitis, tinea korporis, tinea kruris, tinea manus dan tinea pedis, tinea unguium, tinea barbae, serta tinea imbrikata oleh dokter di Poliklinik Kulit Kelamin RSUD Dr.Moewardi diperkuat dengan pemeriksaan kerokan KOH 102%.
43

Subjek dikelompokan sebagai dermatofitosis dan non dermatofitosis. Variabel ini termasuk variabel kategorikal dengan skala nominal. 3. Variabel Luar Dapat Dikendalikan Variabel dari luar yang tidak dapat dikendalikan meliputi umur, ras dan jenis kelamin berusaha dikendalikan melalui anamnesis menggunakan kuesioner dan melihat data sekunder yaitu rekam medis pasien. 4. Variabel Luar yang Tidak Dapat Dikendalikan a. Suhu dan Kelembaban Kedua faktor ini sangat jelas berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada lokasi atau lokal; tempat yang banyak keringat seperti lipat paha dan sela-sela jari paling sering terserang jamur ini. b. Trauma Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil, lebih susah untuk terserang jamur. c. Sosial ekonomi Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur. Insidensi penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah lebih sering ditemukan daripada golongan sosial dan ekonomi yang lebih baik. d. Higienitas Higienitas personal/ kebersihan diri meningkatkan resiko kejadian dermatofitosis. Variabel ini berusaha dikendalikan melalui anamnesis menggunakan kuesioner. e. Virulensi Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur, apakah jamur Antropofilik, Zoofilik, atau Geofilik. Faktor yang terpenting dalam
44

virulensi ini ialah kemampuan spesies jamur menghasilkan keratinasi dan mencerna keratin di kulit. H. Rencana Penelitian
Riwayat atopik + Retrospektif Riwayat atopik -

Dermatofitosis +

Riwayat atopik + Retrospektif Riwayat atopik Dermatofitosis -

Gambar 1. Rancangan penelitian kasus kontrol untuk meneliti hubungan antara dermatofitosis dan riwayat atopik

I. Sumber Data Sumber data yang dipakai adalah : 1. Sumber data primer yang diperoleh dari :
45

a. Kuesioner untuk membantu mediagnosis ada tidaknya faktor predisposisi dermatofitosis. b. Pemeriksaan fisik langsung untuk mendiagnosis dermatofitosis. c. Pemeriksaan laboratorium dengan tes kerokan KOH 10%. 2. Sumber data sekunder yang diperoleh dari data rekam medis. J. Analisis Data Analisis bivariat dilakukan unuk mengetahui besar pengaruh masing-masing faktor risiko tehadap kejadian asma bronkiale pada anak dan antara masing-masing variabel independen. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi-Square (X2) untuk mengetahui pengaruh setiap variabel bebas dengan variabel terikat. Untuk menginterpretasikan besar pengaruh dinyatakan dengan Crude Odds Ratio (OR) dengan menggunakan Confidence Interval (CI) sebesar 95%.

Analisis data ditampilkan dalam table sebagai berikut : Tabel 1. Tabel analisis data untuk mengetahui hubungan antara dermatofitosis dengan riwayat atopik Riwayat Atopik + a B c D a+c b+d N a+b c+d a+b+c+d

Dermatofitosis N

+ _

Hubungan antara dermatofitosis dan riwayat atopik disajikan dalam ukuran hubungan yang disebut Odds Rasio (OR) dengan tingkat keyakinan 95% (Confidence Interval 95%).

46

Untuk variabel yang terdapat nilai nol pada tabel kontigensi besar nilai Odds Ratio diperkirakan dengan menambahkan nilai 0,5 kepada setiap sel pada table kontigensi. Risiko Relative dinyatakan dengan besar risiko Odds Ratio yang dihitung berdasarkan persamaan: {a/(a + b) : b/ (a + b)} OR = -------------------------{c/( c + d) : d/( c + d)} a/b ad

OR = ------ = ----c/d bc

Untuk menghitung rentang interval kepercayaan dipergunakan rumus :

CI95% = OR 1Z 1-a/2/X2

Dimana : X2 =

N (ad-bc)2 (a+b)(b+d)(a+b)(c+d)

Dengan CI (Confidance Interval) = 95%

Interpretasi OR sebagai berikut :

47

OR = 1 menunjukkan tidak ada hubungan antara dermatofitosis dan riwayat atopik. OR> 1 menunjukkan riwayat atopik meningkatkan risiko terjadinya dermatofitosis. OR< 1 menunjukkan riwayat atopik menurunkan risiko terjadinya

dermatofitosis.

DAFTAR PUSTAKA

Adams et al. 1998. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : EGC. PP 196 198. Adiguna, M.S. 2001. Epidemiologi Dalam Dermatomikosis di Indonesia dalam Dermatomikosis Superfisial. Jakarta : FKUI Adiguna MS. 2004. Epidemiologi Dermatomikosis di Indonesia. Dalam : Budimulya U, Kuswadi, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widati S, editor, Dermatomikosis Superfisial. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. PP 1-6. Akib AAP. 2008. Infeksi jamur pada anak imunokompromis. Dalam : Buku Program dan abstrak Simposium Sehari : Update on Fungal Infection In Immunocompromised Patient. Jakarta : PMKI. PP 24-7. Bandem AW, Siswati S. 2007. Manifestasi klinis dan penatalaksanaan infeksi jamur pada pasien imunokompromais. MDVI .PP 34:44-49.

48

Baratawidjaya K. 1993. Pengertian imunokompromais dan respon imun. Cermin Dunia Kedokteran. PP 83:5-9. Brandt M, Warnock DW. 2003. Laboratory aspects of medical mycology. In : Dismukes WE, Pappas PG, Sobel JD, editors. Clinical Mycology. New York :Oxford University Press. PP.3-18. Budimulya U. 2007. Mikosis. Dalam : Djuanda A, Hamzah Has, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. PP 89-105. Cholis M. 2001. Imunilogi dermatomikosis superfisialis. Dalam : Dermatomikosis Superfisial, Jakarta : Balai Penerbit FK UI. PP 7-16. Cholis M. 2004. Imunologi Dermatomikosis Superfisialis. Dalam : Budimuluya U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widiastuti P, Widati S, editor. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKU. PP 7-18. C, Smetzer & G, Bare.2002. Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Brunner & Suddarth. Edisi 8 vol. 3. Jakarta : EGC, PP : 1866-1868, 1870-1871, 18751876. Ervianti E, Martodiharjo S, Murtiastutik D, editor. 2002. Etiologi dan Patogenesis Dermatomikosis Superfisialis. Simposium Penatalaksanaan Dermatomikosis Superfisialis Masa Kini. Surabaya : Indonesia. GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2006. Hainer, BL. Dermatophyte infections. Medical University of South Carolina. Charleston. 2003. www.aafp.org.afp Harahap Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. PP 6-14: 75. Harijono Kariosentono. 2006. Dermatitis Atopik (Eksema). Surakarta : UNS Press.
49

Harijono Karsentono. 2007. Dermatitis dalam bahan kuliah Ilmu Kulit Kelamin Semester VIII. Surakarta. PP 13-14. Hasan Rusopeno, Alatas Husein. 1985. Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI. Hendra. 2008. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta : Palai Penerbit FKUI. PP 128 133. Hey RJ, Moore M. 1998. Mycology In : Champion RH, Burton JL, Durns DA, Breathnach SDM, editors. Text Book of Dermatology. 6th ed. Oxford : Blackwell Science. PP 1277-1350. Jawetz, Melnick, & Adelberg. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakarta : EGC. Koga T. 2005. Immune Surveillance against Dermatophytes Infection. In : Fidel PL, Jr., Huffnagle G.B, editors. Fungal Imunologi from Organ Perspective. Netherlands : Springer. PP 443-449. Kwon-Chung KJ, Bennet JE. 1992. Medical Mycology. Philadelphia: Lea & Febiger. Mainiadi. 2002. Infeksi Sekunder pada Dermatofitosis di Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin. Medan: RSUP H. Adam Malik. Mandelson M. 2001. Fungal infections in the immunocompromised Microbiology Today. PP 28:10-2. Muhammad S.D. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 2 Seri Evidance Medicine 2. Jakarta : Salemba Medika. PP 52-53. Perdoski. 2001. Dermatofitosis superfisialis Jakarta : FKUI , PP:3-5, 40-45. Price AS. 1995. Patofisiologi Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.

50

Price, Lorraine, Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC. Richard E, Robert M, Arifin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol.3. Edisi 15. Jakarta : EGC. PP 2306-2307. Richardson MD, Warnock DW. 2003. Fungal Infection Diagnosis and Management. 3rd ed. Massachusset : Blackwell Publishing. Richardson M, Edwart M 2000. Model System for the Study of Dermatophyte and Non-dermatophyte Invasion of Human Keratine. Revista : Iberoamericana de Micologia. PP 115-121. Rippon JW. 1988. Medical Mycology. 3rd edition. Philadelphia: WB Saunders Co. Robin Graham-Brown, Tony Burns. 2005. Lecture Note on Detmatologi. Edisi 8. Jakarta : Erlangga. Rubenstein, Wayne, Bradley. 2005. Kedokteran Klinis Edisi Keenam. Jakarta : Erlangga. PP 275-277. Siregar R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta : EGC. Sirregar R.S. 2004. Penyakit Jamur Kulit. Edisi kedua. Jakarta: EGC. Soemarsono H. 1993. Faktor-faktor penyebab kerentanan pasien imunokompromi terhadap penyakit infeksi. Cermin Dunia Kedokteran PP 83:10-2. Underhill. DM. 2007. Escape Mechanisms from the Immun Respons. In : Brown GD, Nitea MG, editors. Immunology of fungal Infection. Oxford : Springer. PP 429-442. Utama Hendra. 2004. Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. PP 88-90. Utama Hendra. 2008. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. PP.128-133.
51

Verma S, Hefferman MP. 2008. Superficial Fungal Infection : Dermatophytosis, Onichomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In : Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell O, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York : McGraw-Hill. PP 1807-1821. Wiryadi B.E. 2002. Mikrobiologi Kulit dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-3 Jakarta: FKUI. Wollf K, Johnson RA, Suurmond D. 2005. Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 5th ed. New York : McGraw-Hill.

52

You might also like