You are on page 1of 11

PENAMBANGAN UMUM BATUBARA

Relita.indonetwork.co.id

Batubara

sebagai

bahan

galian

strategis

dalam

usaha

penambangannya pada prinsipnya hanya dapat dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara sebagai Kuasa Pertambangan. Namun dengan pertimbangan kepentingan perekonomian Negara atau perkembangan pertambangan, pengusahaannya boleh dilakukan dengan menunjuk pihak lain sebagai kontraktor. Ketika Kuasa Pertambangan mengadakan perjanjian karya dengan pihak modal dalam negeri maupun dengan modal asing maka pengelolaan penambangan batubara ini dilakukan melalui Kontrak Karya1. Kontrak Karya diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, keberadaan ketentuan ini mendukung kebijakan investasi (penanaman modal) di bidang pertambangan yang telah dibuka sejak tahun 1967 dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pasal 8 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967 menyatakan bahwa penanaman modal asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerja sama dengan Pemerintah atas dasar kontrak karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan semangat penanaman modal tersebut dikenal kemudian PK2B, yakni perjanjian antara pemerintah dan perusahaan kontraktor swasta untuk melaksanakan pengusahaan pertambangan bahan galian batubara (Pasal 1 Keppres No. 75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Selain terdapat dalam Keppres No. 75 Tahun 1996, istilah ini juga digunakan dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1409.K/201/M.PE/1996 tentang Tata Cara Izin Pengajuan Prinsip, Pemrosesan Karya Pemberlakuan dan Perjanjian Kuasa Karya Pertambangan, Kontrak

Pengusahaan Pertambangan Bat bara yaitu : suatu perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta asing atau patungan antara asing dengan nasional (dalam rangka PMA) untuk pengusahaan batubara dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor

Kontrak Karya menurut Ismail Sunny adalah bentuk kerja sama modal asing yang terjadi apabila penanaman modal asing membentuk suatu badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan kerjasama dengan satu badan hukum yang menggunakan modal nasional.

Sie Infokum Ditama Binbangkum

1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Umum. Obyek dari kontrak karya adalah perjanjian-perjanjian pertambangan di luar minyak bumi dan gas bumi seperti emas, tembaga dan batubara. Namun dalam perkembangannya, kegiatan pengelolaan penambangan batubara kemudian menimbulkan permasalahan-permasalahan, misalnya masalah pembayaran iuran tetap, royalti, DBHP (Dana Bagi Hasil Penjualan), maupun denda keterlambatan atau masalah dimana harga penjualan batubara dalam kontrak masih menggunakan fix/flat rate padahal harga pasar telah berubah, atau masalah dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh penambangan. Dengan adanya permasalahan-permasalahan ini, Pemerintah kemudian berusaha melakukan perubahan terhadap UU Nomor 11 Tahun 1967 sekaligus mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat guna meminimalisir permasalahan-permasalahan yang ada dalam sebuah UndangUndang yaitu UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Adapun perubahan-perubahan penting yang terdapat dalam UU ini, antara lain : a. Mengakomodasi tantangan globalisasi yang mendorong, otonomi daerah, HAM, lingkungan, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual, peran swasta dan masyarakat, sengketa tanah, penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja lokal dan penggunaan jasa nasional. b. Pengelolaan pertambangan batubara dilakukan melalui2 : IUP (Izin Usaha Pertambangan); IPR (Izin Pertambangan Rakyat); IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). penegasan pengaturan kewajiban menjaga daya dukung lingkungan sejak dalam proses perizinan. d. Mengatur konservasi bahan galian dimana penetapan suatu wilayah IUP mempertimbangkan aspek kondisi geografis, daya dukung lingkungan dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara. e. Mengatur pasal-pasal perlindungan hak atas tanah dan hak ekonomi masyarakat. f. Mengatur kewajiban pengusaha untuk melakukan empowering masyarakat sekitar tambang, sehingga dapat menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.

c. Adanya

Dalam UU Nomor 11 Tahun 1967, pengelolaan dilakukan melalui KK (Kontrak Karya)/ PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara)/ KP (Kuasa Pertambangan).

Sie Infokum Ditama Binbangkum

g. Mencantumkan kewajiban pembangunan pengolahan atau smelter di dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah produk-produk tambang dalam negeri. h. Mencantumkan batasan luas wilayah kegiatan pertambangan. i. Menetapkan kebijakan pengutamaan batubara untuk kepentingan dalam negeri. Dalam UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, usaha pertambangan dilakukan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). IUP adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan, yang diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan. Dalam memperoleh wilayah, pemberian dilakukan secara lelang kepada pemegang IUP batubara. IPR adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas. IPR diberikan kepada penduduk setempat (perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi) dengan terlebih dahulu menyampaikan permohonan kepada bupati/walikota. IUPK adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. Dikatakan khusus karena wilayah ini berada dalam wilayah pencadangan Negara3 yang dapat diusahakan. Namun keberadaan UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini belum didukung oleh peraturan pelaksanaannya, termasuk pengaturan mengenai perizinan pertambangan, sehingga Menteri ESDM kemudian mengeluarkan Surat Edaran Menteri Energi dan SDM No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Peraturan Pemerintah Sebagai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang mengandung pokok-pokok sebagai berikut : - Kuasa Pertambangan yang telah ada sebelum UU ini tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu dan wajib untuk disesuaikan menjadi IUP. - Menghentikan - Pemerintah kegiatan KP. - Agar menyerahkan semua data/informasi permohonan KP yang telah diajukan dan memperoleh persetujuan pencadangan wilayah sebelum berlakunya UU ini untuk dievaluasi dan diverifikasi.
3

sementara

penerbitan

IUP

sampai

diterbitkannya Dirjen

PP

pelaksanaan UU ini. Daerah penghasil berkoordinasi dengan Mineral, Batubara dan Panas Bumi atas semua permohonan peningkatan tahap

Wilayah Pencadangan Negara adalah bagian dari Wilayah Pertambangan yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.

Sie Infokum Ditama Binbangkum

- Memberitahukan kepada pemegang KP yang telah melakukan tahapan eksplorasi atau eksploitasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya UU ini untuk menyerahkan rencana kegiatan. - Surat Keputusan KP yang diterbitkan Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota setelah tanggal 12 Januari 2009 dinyatakan tidak berlaku. - Dirjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi akan mengeluarkan format penerbitan IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi. - Permohonan Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) bahan galian golongan C yang diajukan sebelum UU ini tetap diproses menjadi IUP. - Paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya UU ini, pemohon pengajuan KK dan PKP2B yang telah diajukan paling lambat setahun sebelumnya dan telah disetujui harus membentuk Badan Hukum Indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam memroses IUP. Pengaturan-pengaturan mengenai penambangan batubara memang sangat diperlukan karena kegiatan penambangan batubara memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan Negara sehingga sebagai bagian dari keuangan Negara, BPK RI berdasarkan amanat konstitusional melakukan tugas pemeriksaan atas penerimaan Negara tersebut. Dari pemeriksaan-pemeriksaan yang telah dilakukan, ditemukan berbagai kelemahan-kelemahan sebagai berikut : kurang bayar royalty, kelemahan kebijakan alokasi DBH, kelemahan kebijakan lainnya, kelemahan pelaksanaan ketentuan lingkungan.

a. Pungutan-Pungutan Negara Dalam UU Nomor 11 Tahun 1967, Pemegang Kuasa Pertambangan membayar kepada Negara iuran tetap, iuran eksplorasi dan/atau eksploitasi dan/atau royalti, serta Dana Hasil Produksi Batubara yang disetor oleh kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). PP Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral tidak menyebutkan secara spesifik PNBP di bidang pertambangan umum, namun menyebutkan jenis-jenis PNBP di Departemen ESDM yaitu pelayanan jasa bidang geologi dan sumber daya mineral; iuran tetap/landrent;, iuran eksplorasi/iuran eksploitasi/royalti; dana bagi hasil produksi batubara; jasa teknologi/konsultasi eksplorasi mineral, batubara, panas bumi dan konservasi; jasa teknologi vulkanologi dan mitigasi bencana geologi; pelayanan jasa bidang minyak dan gas bumi; pelayanan jasa bidang

Sie Infokum Ditama Binbangkum

penelitian dan pengembangan; dan pelayanan jasa bidang pendidikan dan pelatihan. Iuran tetap merupakan hak pemerintah yang besarannya dihitung berdasarkan luas wilayah pertambangan dikali dengan tarif tertentu yang diatur dalam Peraturan yang berlaku bagi Pemegang Kuasa Pertambangan dan berdasarkan kontrak untuk kontraktor PKP2B. Iuran eksplorasi/iuran eksploitasi/royalti untuk pemegang Kuasa Pertambangan dihitung berdasarkan nilai penjualan dikali dengan tarif berdasarkan PP No. 45 Tahun 2003 yang ditentukan dengan kualitas batubara. Adapun tarif tersebut adalah : Batubara (open pit), - 3% dari harga jual , untuk kalori kurang dari 5100 kkal/ton; - 5% dari harga jual, untuk kalori 5100 6100 kkal/ton; - 7% dari harga jual, untuk kalori lebih dari 6100 kkal/ton. Batubara (under ground), - 2% dari harga jual, untuk kalori kurang dari 5100 kkal/ton; - 4% dari harga jual, untuk kalori 5100 6100/ton; - 6% dari harga jual, untuk kalori lebih dari 6100. Dana Bagi Hasil Produksi Batubara untuk PKP2B wajib diserahkan oleh kontraktor swasta secara tunai sebesar 13,50% dari hasil produksi batubara setelah dikurangi biaya-biaya penjualan bersama sebagaimana disepakati dalam kontrak penjualan. Sementara itu, adanya UU Pertambangan Mineral dan Batubara juga membawa kewajiban bagi pemegang IUP atau IUPK membayar iuran tetap; iuran eksplorasi; iuran produksi; dan kompensasi data informasi. Namun hingga saat ini belum terdapat peraturan pelaksanaan dari UU ini, sehingga pungutan-pungutan Negara terhadap pemegang IUP atau IUPK baru dapat dilakukan setelah aturan pemberian IUP atau IUPK dilegalisasi dengan adanya Peraturan Pemerintah. Sebagai konsekuensi hukumnya, maka pungutan-pungutan Negara hanya dapat dilaksanakan terhadap pemegang KP, KK, dan PKP2B sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada. Hal juga dipertegas dengan adanya ketentuan penutup UU ini yang menyatakan bahwa semua peraturan ini. Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut merupakan Dana Bagi Hasil (DBH). DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi perundang-undangan pelaksana UU No. 11 Tahun 1967 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU

Sie Infokum Ditama Binbangkum

sebagaimana

dimaksud

dalam

UU

Nomor

33

Tahun

2004

tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pengaturan mengenai DBH tersebut terdapat dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 344/KMK.6/2001 tentang Penyaluran Dana Bagian Daerah dari Sumber Dana Alam, yakni untuk iuran tetap/landrent dan iuran eksplorasi/eksploitasi/royalti. Alokasi bagi hasil itu adalah 80% untuk Pemerintah Daerah dan 20% untuk Pemerintah Pusat dengan rincian sebagai berikut : a. Iuran Tetap/Landrent Pemprov ybs: 16% dikali dengan jumlah penerimaan iuran. Pemkab/Pemkot penghasil : 64% dikali dengan jumlah penerimaan iuran. b. Iuran Eksplorasi/eksploitasi/royalti Pemprov ybs : 16% dikali dengan jumlah penerimaan iuran. Pemkab/Pemkot penghasil : 32% dikali dengan jumlah penerimaan iuran. Pemkab/Pemkot dalam Prov ybs : 32% dikali dengan jumlah penerima iuran secara merata. Dan pengaturan DBH untuk DHPB terdapat dalam Keppres Nomor 75 Tahun 1996, yakni untuk pembiayaan pengembangan batubara, investasi sumber daya batubara, biaya pengawasan pengelolaan lingkungan dan keselamatan kerja pertambangan serta pembayaran iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi/royalti dan PPN. Selain pengaturan pembagian dana bagi hasil tersebut, dalam UU Nomor 4 Tahun 2009 terdapat juga pembagian hasil antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yakni bagi Pemegang IUPK Operasi Produksi4 sebesar 4% kepada Pusat dan 6% kepada Pemerintah Daerah. Bagian Pemerintah Daerah itu dirinci lagi menjadi bagian Pemerintah Provinsi sebesar 1%, bagian Pemerintah Kabupaten/Kota penghasil sebesar 2,5% dan bagian Pemerintah Kabupaten/Kota lainnya sebesar 2,5%. Nantinya ketentuan ini juga akan dirinci lebih jelas. Selama ini, pengaturan teknis untuk alokasi dana bagi hasil sumber daya alam pertambangan umum, setiap tahunnya diatur oleh Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan, misalnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.07/2009 tentang Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Umum Tahun Anggaran 2009, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 224/PMK.07/2009 tentang Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Umum Tahun Anggaran 2010.
4

IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUPK Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

Sie Infokum Ditama Binbangkum

b. Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam lingkungan pelaksanaan hidup karena penambangan adanya batubara, ada permasalahan batubara penting yang juga patut untuk diperhatikan dan dipecahkan yaitu masalah kegiatan penambangan menimbulkan pencemaran : Air, berasal dari limbah pencucian batubara yang dapat mencemari sungai sehingga air sungai menjadi keruh dan asam. Selain itu jika digunakan baik untuk dikonsumsi maupun untuk MCK dapat membahayakan kesehatan manusia serta menimbulkan penyakit kanker kulit. Aktivitas bongkar muat dan tongkang angkut batubara juga dapat mencemari air laut serta mengganggu kehidupan hutan mangrove dan biota sekitar laut. Tanah, dengan adanya lubang-lubang besar yang tidak mungkin ditutup kembali, serta mempengaruhi kesuburan tanah dan PH tanah. Udara, berasal dari pembakaran batubara menghasilkan gas nitrogen oksida dan sebagai polutan yang menyebabkan hujan asam. Selain itu debu-debu pengangkatan batubara juga menimbulkan penyakit ISPA, kanker, bahkan dapat menyebabkan cacat pada bayi yang dikandung bilamana udara tercemar itu terus menerus dihirup. UU Nomor 11 Tahun 1967 dalam salah satu pasalnya telah menyebutkan adanya kewajiban bagi pemegang Kuasa Pertambangan untuk mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat sekitar. Kewajiban menjaga lingkungan hidup tersebut juga didukung dengan adanya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan adanya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akan tetapi untuk semua peraturan pelaksanaan UU ini dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan baru. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan, antara lain menyangkut kegiatan pemberian luas perizinan bagi Kuasa Pertambangan (lebih besar

Sie Infokum Ditama Binbangkum

atau sama dengan 200 ha), kegiatan pemberian luas daerah terbuka untuk penambangan (lebih besar atau sama dengan 50 ha), dan kegiatan eksploitasi batubara menyangkut kapasitas dan jumlah material penutup yang dipindahkan. Dokumen AMDAL tersebut memuat pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau kegiatan, evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, saran masukan serta tanggapan masyarakat, perkiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting dampak yang terjadi bilamana rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dilaksanakan, evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk menentukan layak atau tidaknya lingkungan hidup, dan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Selain dalam AMDAL yang dituangkan Energi dan dalam Sumber Rencana Daya Pengelolaan Nomor Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), ketentuan Keputusan Menteri Mineral 1457K/28/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan di Bidang Pertambangan dan Energi menyebutkan bahwa pemegang KP juga harus menyertakan dokumen UKL (Upaya Pengelolaan Lingkungan)/UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan) bilamana usaha/kegiatan yang dilaksanakan tidak disertai kewajiban menyertakan AMDAL. Sebagai bagian dari kegiatan pengelolaan lingkungan, buruknya dampak dari kegiatan penambangan juga menjadi perhatian Pemerintah. Dalam Lampiran VII Kepmen ESDM Nomor 1453 K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum dikenal adanya kegiatan reklamasi yaitu kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Selanjutnya pengaturan kegiatan reklamasi dalam lampiran ini diatur kembali oleh Menteri Negara Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Peraturan Menteri ESDM No. 18 Tahun 2008, dan menambahkan pengaturan mengenai kegiatan penutupan tambang. Penutupan tambang adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat dihentikannya kegiatan penambangan dan/atau pengolahan dan pemurnian untuk memenuhi kriteria sesuai dengan dokumen Rencana Penutupan Tambang. Untuk pelaksanaan kegiatan tersebut, Perusahaan wajib untuk menyediakan Jaminan Reklamasi dan Jaminan Penutupan Tambang.

Sie Infokum Ditama Binbangkum

Jaminan Reklamasi adalah dana yang disediakan oleh perusahaan pertambangan sebagai jaminan untuk melakukan reklamasi di bidang pertambangan umum. Jumlah jaminan reklamasi harus menutup seluruh biaya pelaksanaan kegiatan reklamasi yang ditempatkan sebelum melakukan kegiatan eksploitasi/operasi produksi. Penghitungan besarnya jaminan reklamasi dilakukan berdasarkan biaya langsung misalnya penatagunaan lahan, revegetasi, pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, pekerjaan sipil serta memperhitungkan biaya tidak langsung seperti mobilisasi dan demobilisasi, perencanaan kegiatan reklamasi, administrasi dan keuntungan pihak ketiga sebagai kontraktor pelaksana reklamasi, dan supervisi. Besarnya jaminan yang dapat dicairkan atau dilepas ditentukan oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota dengan melakukan terlebih dahulu melakukan penilaian, baik itu sebesar 60%, 80% maupun 100% dari besaran jaminan reklamasi. Bentuk Jaminan dapat berupa deposito berjangka, bank garansi, asuransi atau cadangan akuntasi. Deposito berjangka ditempatkan pada bank Pemerintah di Indonesia atas nama Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota qq. Perusahaan yang bersangkutan dengan jangka waktu penjaminan sesuai dengan jadwal reklamasi. Bank Garansi atau asuransi diterbitkan oleh bank Pemerintah di Indonesia atau cabang bank asing di Indonesia atau lembaga penjamin milik Pemerintah dengan jangka waktu penjaminan sesuai dengan jadwal reklamasi. Dapat juga ditempatkan dalam bentuk cadangan akuntasi bilamana perusahaan pertambangan tersebut : Merupakan perusahaan publik yang terdaftar di bursa efek Indonesia atau yang terdaftar di bursa efek di luar Indonesia; atau Mempunyai jumlah modal disetor tidak kurang dari US $ 25.000.000,00 seperti yang dinyatakan dalam laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik terdaftar di Depkeu. Jaminan pelaksanaan penutupan pekerjaan tambang harus tambang menutup seluruh biaya penutupan termasuk pelaksanaan

pekerjaan yang dilakukan oleh pihak ketiga. Apabila terjadi kekurangan maka tetap menjadi tanggung jawab Perusahaan. Penghitungan biayanya didasarkan pada komponen : biaya langsung : pembongkaran bangunan dan sarana penunjang yang sudah tidak digunakan kecuali ditentukan lain; reklamasi tapak bekas tambang, fasilitas pengolahan dan pemurnian, serta fasilitas penunjang; penanganan ekonomi. Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan limbahnya; pemeliharaan dan perawatan; pemantauan dan aspek sosial, budaya, dan

Sie Infokum Ditama Binbangkum

biaya tidak langsung : mobilisasi dan demobilisasi, perencanaan kegiatan, administrasi dan keuntungan pihak ketiga sebagai kontraktor pelaksana penutupan tambang, dan supervisi. Bentuk jaminan penutupan tambang berupa Deposito Berjangka

ditempatkan pada bank Pemerintah atas nama Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota qq Perusahaan tambang yang bersangkutan. Pencairan dapat dilakukan setelah Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota menilai dan menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan penutupan tambang telah sesuai dengan tahapan penyelesaian pekerjaan yang telah dilakukan berdasarkan Rencana Penutupan Tambang. Mekanismenya adalah perusahaan dapat mengajukan permohonan pencairan pinjaman penutupan tambang berikut bunganya secara bertahap atau sekaligus kepada Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota beserta laporan pelaksanaan kegiatan penutupan tambang. Kemudian Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota memberikan persetujuan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan diterima. Seperti UU No. 11 Tahun 1967, dalam UU No. 4 Tahun 2009 juga dicantumkan ketentuan mengenai kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK nantinya untuk melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan pertambangan termasuk kegiatan reklamasi dan pascatambang5, dengan menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. Pemegang IUP dan IUPK juga wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. Ketentuan mengenai kegiatan reklamasi dan pascatambang beserta dana jaminannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Saat ini Rencana Peraturan Pemerintah sedang dipersiapkan untuk mengatur secara rinci mengenai tata laksana reklamasi dan pascatambang, pelaksanaan dan pelaporan reklamasi dan pascatambang serta jaminan reklamasi dan pascatambang. Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi perusahaan tambang adalah prinsip-prinsip lingkungan hidup, keselamatan dan kesehatan kerja, serta prinsip konservasi mineral dan batubara.
Referensi : - UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. - UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. - UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. - PP No. 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Energi. - Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
5 Kegiatan Pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

Sie Infokum Ditama Binbangkum

10

- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. - Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisa Dampak Lingkungan. - Keputusan Menteri Keuangan Nomor 344/KMK.6/2001 tentang Penyaluran Dana Bagian Daerah dari Sumber Daya Alam. - Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1457/K/28/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Lingkungan di Bidang Pertambangan dan Energi. - Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1453 K/29/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Pertambangan Umum. - Surat Edaran Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara. - Hapsem BPK RI.

Sie Infokum Ditama Binbangkum

11

You might also like