Professional Documents
Culture Documents
Photograph of the operative specimen with the scalpel pointing to the fecalith protruding from the
lumen of the appendix Sumber: Sanda et al (2011) Perforated appendicitis in a septuagenarian.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor
patogenesis primer pada apendisitis akut.
Bakteri yang ditemukan biasanya E.coli,
Bacteriodes fragililis, Splanchicus, Lacto-
bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya
malformasi yang herediter dari organ apendiks
yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak
baik dan letaknya yang memudahkan terjadi
apendisitis
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan
pola makanan sehari-hari
Adapun Penyebab terjadinya perforasi menurut
Baretto et al (2010) adalah:
Lambatnya diagnosis dan penentuan kebutuhan pembedahan
(penundaan pembedahan karena dianggap tidak memiliki
komplikasi)
Pada pria, tingginya resiko terjadi appendicular faecoliths and
calculi meningkatkan resiko apendisitis perforasi
Perubahan kekuatan dinding kolon termasuk dinding appendix
seiring bertambahnya usia menjadi penyebab tingginya kejadian
apendisitis perforasi pada lansia.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Penfold et al (2008) pada
anak usia 2 20 tahun, penundaan terapi selama 12-20 jam atau
bahkan 48 jam menjadi faktor penyebab terjadinya apendisitis
perforasi pada penderita apendisitis akut.
Pada sebuah laporan kasus oleh Chen et al (2011) didapatkan
bahwa salah satu penyebab apendisitis akut yang kemudian
menjadi apendisitis perforasi adalah tumor jinak pada apendiks
dan menyebabkan obstruksi lumen dan merangsang produksi
mucus pada apendiks hingga terjadi rupture dinding apendiks.
Meski demikian, tumor jinak apada apendiks sangat jarang
ditemukan.
PATOFISIOLOGI
Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks yang
disebabkan oleh bakteria yang dicetuskan oleh beberapa
faktor pencetus, kemungkinan oleh fekalit (massa keras
dari feses), tumor atau benda asing Obstruksi pada lumen
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
intralumen. Tekanan di dalam sekum akan meningkat.
Kombinasi tekanan tinggi di seikum dan peningkatan flora
kuman di kolon mengakibatkan sembelit, Hal ini menjadi
pencetus radang di mukosa apendiks. Perkembangan dari
apendisitis mukosa menjadi apendisitis komplit, yang
meliputi semua lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi
oleh berbagai faktor pencetus setempat yang menghambat
pengosongan lumen apendiks atau mengganggu motilitas
normal apendiks.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa
dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks
bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi
apendisitis fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan
perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut
dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan
bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut. Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut
dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu
pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Corwin,2000 ; Guyton & Hall,
2006).
Pada anak-anak, omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang menjadi kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Pada orang tua perforasi mudah terjadi karena ada gangguan
pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
MANIFESTASI KLINIS
Adapun manifestasi klinis dari appendisitis yaitu :
Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam,
mual, dan sering kali muntah.
Pada titik McBurney (terletak dipertengahan antara
umbilicus dan spina anterior dari ilium) nyeri tekan
setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian
bawah otot rectum kanan.
Nyeri alih mungkin saja ada, letak appendiks
mengakibatkan sejumlah nyeri tekan, spasme otot, dan
konstipasi atau diare
Tanda rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi
kuadran kiri bawah, yang menyebabkan nyeri pada kuadran
kanan bawah)
Jika terjadi ruptur appendiks, maka nyeri akan menjadi
lebih menyebar, terjadi distensi abdomen akibat ileus
paralitik dan kondisi memburuk.
KOMPLIKASI
Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses apendiks
Infeksi luka post operatif terutama pada operasi open
apendektomi yang memungkinkan terjadinya
kontaminasi dinding abdomen terhadap bagian
apendiks yang mengalami inflamasi selama prosedur
(Yagmurlu,et al, 2006).
Intraabdominal abses
Obstruksi intestinal
Septicemia
Peritonitis
Pylephlebitis, a septic thrombophlebitis of the portal
vein
Enterocutaneous fistulae
Fever
PEMERIKSAAN PENUNJANG
b) Terapi bedah :
Appendicitis tanpa komplikasi, appendiktomi segera dilakukan
setelah keseimbangan cairan dan gangguan sistemik penting. Bisa
dengan open appendectomy, laparaskopi, atau midline laparatomy.
c)Terapi antibiotik,
Terapi antibiotic ini diberikan tetapi anti intravena harus diberikan
selama 5 7 hari jika appendicitis telah mengalami perforasi.
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Aktivitas / istirahat
Gejala : Malaise
Sirkulasi
Tanda: Takikardi
Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awal awitan, Diare,
penurunan bising usus atau bahkan peristaltik
dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri
lepas, kekakuan.
Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia , mual, muntah
Nyeri / kenyamanan
INTERVENSI
NIC :
Monitor suhu sesering mungkin
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor tekanan darah, nadi dan RR
Monitor penurunan tingkat kesadaran
Monitor WBC, Hb, dan Hct
Monitor intake dan output
Berikan anti piretik:
Kelola Antibiotik:..
Selimuti pasien
Berikan cairan intravena
Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
Tingkatkan sirkulasi udara
Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Catat adanya fluktuasi tekanan darah
Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membran mukosa)
Risiko defisit volume cairan berhubungan dengan
muntah, mual, pembatasan makanan dan cairan,
kadang-kadang diare
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Resiko Defisit Volume Cairan
Berhubungan dengan:
Kehilangan volume cairan secara aktif
DS :
Haus
DO:
Penurunan turgor kulit/lidah
nadi
Pengisian vena menurun
HMT meningkat
Kelemahan
Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan perforasi atau
ruptur appendiks, peritonitis, pembentukan abses
Faktor-faktor risiko :
Kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan
Peningkatan paparan lingkungan patogen
Pertahan primer tidak adekuat (kerusakan kulit, trauma
jaringan, gangguan peristaltik)
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC :
Immune Status
Knowledge : Infection control
Risk control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil:
Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
Jumlah leukosit dalam batas normal
Menunjukkan perilaku hidup sehat
Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal
INTERVENSI
NIC :
Pertahankan teknik aseptif
Dorong istirahat
INTERVENSI
NIC :
Sleep Enhancement
Determinasi efek-efek medikasi terhadap pola tidur
Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat
Fasilitasi untuk mempertahankan aktivitas sebelum tidur (membaca)
Ciptakan lingkungan yang nyaman
Kolaburasi pemberian obat tidur
DAFTAR PUSTAKA
Baretto,et al. (2010). Indian Journal of Medical Sciences, Vol. 64. Acute Perforated Appendicitis:
An Analysis Of Risk Factors To Guide Surgical Decision Making. <
http://content.ebscohost.com/pdf 1821/ pdf/2010/IJM/01Feb10/4949718.pdf >
Chen,YG et al. (2011). BMC Gastroenterology vol 11 (35). Perforated acute appendicitis resulting
from appendiceal villous adenoma presenting with small bowel obstruction: a case report
<http://www.biomedcentral.com/1471-230X/11/35>
Corwin, Elizabeth. ( 2001). Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC
Guyton & Hall. (2006). Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi: 9. Jakarta: EGC.
Levin, T. (2007). Pediatric Radiologi Journal vol 37. Nonoperative management of perforated
Penfold et al (2008). International Journal of Health Geographics vol 7:56. Geographic disparities
septuagenarian. www.annalsafrmed.org
Yagmurlu,A et al (2006). Surgical Endoscopy vol (20). Laparoscopic appendectomy for perforated