You are on page 1of 9

Tahapan Pengembangan Obat tradisional

menjadi Fitofarmaka
Uji toksisitas
Uji
Seleksi preklinik Uji
Farmakodinamik

-Hedi R. Dewoto-
Uji Klinik Standarisasi Departemen Farmakologi,
seherhana Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia,
Jakarta
1. Tahap Seleksi
Sebelum penelitian, dilakukan pemilihan jenis obat tradisional yang
akan diteliti dan dikembangkan. Kriteria yang menjadi prioritas adalah:

Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas


dalam angka kejadiannya berdasarkan pola penyakir
Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
Merupakan alternative jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS
dan kanker
2. Tahap Uji Preklinik
Dilakukan dengan cara in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat
toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Menurut pedoman pelaksanaan uji
klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM DepKes RI
hewan coba hanya satu spesies tikus/mencit. Menurut WHO menganjurkan
dua spesies.

a. Uji toksisitas
Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD, yaitu dosis
mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek
toksik pada organ, dan cara kematian.
uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan.
uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih.
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratanmutlak bagi setiap
obat tradisional agar masuk ke tahap ujiklinik. Uji toksisitas khusus
dilakukan secara selektif bila:

1.Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang


potensialmenimbulkan efek khusus seperti kanker, cacat bawaan.
2.Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuanusia
subur
3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkaitdengan
penyakit tertentu misalnya kanker.
4.Obat digunakan secara kronik
b. Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuanuntuk meneliti
efek farmakodinamik dan menelusurimekanisme kerja dalam
menimbulkan efek dari obat tradisionaltersebut. Penelitian dilakukan
secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat
tradisional yang diujidan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara
pemberiannyapada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in
vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan ke-
mungkinan efek pada manusia.
3. Standarisasi Sederhana
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas,
dan menentukan bentuk sedian yang sesuai. Bentuk sedian yang
berbeda akan mempengaruhi efeknya.
4. Uji Klinik
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional harus
dibuktikan khasiat dan keamananya melalui uji klinik. Uji klinik pada
manusia hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti aman dan
berkhasiat pada uji preklinik.

Uji klinik dibagi empat fase yaitu:

Fase I:dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk me-nguji keamanan


dan tolerabilitas obat tradisio-nalFase II awal:dilakukan
pada pasien dalam jumlah terbatas,tanpa pembanding
Fase II akhir:dilakukan pada pasien jumlah terbatas,
denganpembanding
Fase III:uji klinik definitif
Fase IV:pasca pemasaran,untuk mengamati efek sam-ping yang jarang
atau yang lambat timbulnya

Untuk obat tradisional yang suda lama beredar luas dan tidak
menunjukan efek samping yang merugikan, setelah uji preklinik dapat
dilakukan uji klinik dengan pembanding.
Untuk obat yang belum beredar luas harus melalui uji klinik
pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien
terhadap obat tradisional tersebut.
Alasan mengapa kurangnya uji klinik terhadap
obat tradisional
1.Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan ujiklinik
2.Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telahterbukti
berkhasiat dan aman pada uji preklinik
3.Perlunya standardisasi bahan yang diuji
4.Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuandosis
berdasarkan dosis empiris, selain itu kandungankimia tanaman
tergantung pada banyak faktor.
5.Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutamabagi produk
yang telah laku di pasaran

You might also like