You are on page 1of 17

Oleh: Rahmayuni Fitrianti

30101206722

Pembimbing : dr. Aditya Wicaksana, Sp.BS

RST. DR. Sodjono Magelang


Identitas Jurnal


Judul : Kraniotomi atau Kraniektomi Dekompresif untuk Hematoma Subdural Akut: Pilihan
Pembedahan dan Hasilnya secara Klinis
Penulis :Young Sub Kwon, MD1,2, Kook Hee Yang, MD, PhD1, and Yun Ho Lee, MD1
1Department of Neurosurgery, National Health Insurance Service Ilsan Hospital, Goyang, Korea

2Department of Neurosurgery, School of Medicine, Kangwon National University, Chuncheon, Korea

Penerbit : Korean J Neurotrauma 2016;12(1):22-27


Abstrak


Tujuan: Kraniotomi (CO) dan kraniektomi dekompresif (DC) adalah dua pilihan pembedahan utama
untuk hematoma subdural akut (ASDH). Namun, pilihan modalitas pembedahan yang optimal masih
belum jelas dan keputusan dapat berbeda berdasar pengalaman tiap dokter bedah. Untuk memperjelas
hal ini, kami menganalisis temuan pra operatif dan hasil akhir pembedahan pasien dengan ASDH yang
ditangani dengan CO atau DC.
Metode: Mulai Januari 2010 hingga Desember 2014, data dari 46 pasien dengan ASDH yang menjalani
CO atau DC ditinjau secara retrospektif. Hasil akhir demografis, klinis, pencitraan, dan klinisnya
dianalisis dan dibandingkan dengan statistik.
.


Hasil: Dua puluh (43%) pasien menjalani CO dan 26 (57%) pasien menerima DC. Pada kelompok DC,
Glasgow Coma Scale pra operatif lebih rendah (p = 0,034), dan lebih banyak pasien yang menunjukkan
pupil non-reaktif (p = 0,004). Hasil computed tomography pada kelompok DC menunjukkan ada lebih
banyak perdarahan subarakhnoid (p = 0,003). Skala Rankin termodifikasi enam bulan menunjukkan
adanya hasil yang menguntungkan pada 60% kelompok CO dan 23% kelompok DC (p = 0,004). DC
dilakukan pada pasien yang keadaan pra operatifnya lebih jelek (p = 0,017). Pasien dengan beberapa
macam keadaan pra operatif yang tidak bagus (<6) menunjukkan hasil akhir yang baik setelah
dilakukan CO (p <0,001).
Kesimpulan: Dalam beberapa kasus dengan beberapa temuan klinis yang jelek, CO juga dapat menjadi
pilihan pembedahan yang efektif untuk ASDH. Meskipun DC tetap menjadi standar modalitas
pembedahan untuk pasien dengan keadaan klinis yang buruk, CO dapat menjadi alternatif, mengingat
adanya komplikasi yang mungkin terjadi pada DC.
KATA KUNCI: Hematoma, subdural, akut Kraniotomi Kraniektomi Dekompresif Hasil
tatalaksana
Pendahuluan

1/3 pasien dengan cedera otak traumatik berat Hematoma subdural akut (ASDH)
Dua modalitas bedah yang paling sering dilakukan untuk manajemen ASDH Kraniotomi
(CO) dan kraniektomi dekompresif (DC).
Prosedur CO mengambil tulang tengkorak dan hematoma subdural, diikuti dengan
penempatan kembali tulang tengkorak tadi.
DC juga mengambil tulang tengkorak dan hematoma, tapi tulang dibiarkan tetap tidak ditutup
untuk memfasilitasi ekspansi dari edema jaringan otak yang mungkin terjadi dengan atau
tanpa disertai expansile duroplasty.
Keuntungan teoritis DC dipertanyakan dan modalitas pembedahan yang optimal untuk ASDH
masih menunggu untuk dipastikan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hasil akhir pembedahan CO dan DC pada
evakuasi ASDH dengan membandingkan gambaran klinis pra operatif, computed tomography
(CT), dan komplikasi pasca operatif, yang dapat membantu dalam pemilihan modalitas
pembedahan yang optimal.
Bahan dan Metode


46 kasus ASDH yang ditangani dengan pembedahan CO atau DC di rumah sakit kami secara
retrospektif dari Januari 2010 hingga Desember 2014.
Data demografis dan medis pra operatif yang diperiksa : usia, jenis kelamin, dan adanya penyakit
medis yang menyebabkan koagulopati atau penggunaan antiplatelet, waktu dari trauma ke operasi
atau waktu dari kerusakan klinis ke operasi, Glasgow Coma Scale (GCS) pra operatif, refleks cahaya
pupil, dan adanya cedera ekstrakranial mayor.
CT scan pra operatif mengukur midline shift, melihat adanya perdarahan intraserebral (ICH) atau
perdarahan petekial, hilangnya sisterna basalis dan ventrikel ketiga, serta adanya perdarahan
subarakhnoid di sisterna basalis.
Semua pasien menjalani operasi evakuasi ASDH dengan CO frontotemporoparietal dengan ukuran 10
12 cm atau lebih.
Eksklusi :Kasus di mana evakuasi ASDH bukan merupakan tujuan utama dari operasi (evakuasi ICH
traumatik besar, dekompresi pembengkakan otak) dan operasi selain CO frontotemporoparietal


Midline shift pasca operatif Pengukuran pembengkakan di atas flap tulang dilakukan pada pasien yang
menjalani DC dengan CT scan yang diambil 3 sampai 7 hari setelah operasi ketika pembengkakan otak
maksimal mudah diamati. Garis imajiner pada flap tulang yang tidak ada ditarik dan jaringan otak di atas
garis imajiner ini diukur (Gambar 2). Rekam medis dan CT scan ditinjau pada pasien yang menjalani
kranioplasti.
Hasil akhir pasca operatif Skala Rankin termodifikasi (mRS) 6 bulan setelah operasi awal. Skor mRS 1-3:
Baik dan skor mRS 4-6: Buruk
Gambaran klinis pra operatif Jelek : usia > 70 tahun, penggunaan antikoagulan atau antiplatelet, waktu
menuju operasi> 4 jam, GCS sebelum operasi <8, satu atau kedua pupil non reaktif, dan adanya komorbid
cedera ekstrakranial mayor. Temuan CT pra operatif yang menunjukkan ICH atau perdarahan petekial,
hilangnya sisterna basalis atau ventrikel 3, dan adanya perdarahan subarakhnoid.
Data dianalisis Statistical Package for Social Sciences (SPSS)(SPSS ver 21.; IBM Corp, Armonk, NY, USA).
Unpaired Students t-test atau uji Mann-Whitney digunakan untuk variabel kontinyu, dan uji chi-square atau uji
Fisher digunakan untuk variabel kategorik. Nilai probabilitas kurang dari 0,05 dianggap sebagai signifikan
secara statistik.


HASIL


Diskusi


Berbagai modalitas pembedahan seperti trepanasi burr hole sederhana, CO, dan DC digunakan untuk
evakuasi ASDH.
Dalam panduan Brain Trauma Foundation yang diterbitkan pada 2006, mereka merekomendasikan
bahwa ASDH dengan ketebalan lebih dari 10 mm, atau midline shift lebih dari 5 mm pada CT scan
harus ditangani dengan pembedahan.
Tingkat mortalitas ASDH berkisar antara 55% hingga 79% meskipun dilakukan intervensi
pembedahan modalitas apa pun.
Ransohoff et al. melaporkan bahwa tingkat pemulihan pada ASDH yang ditangani dengan
hemikraniektomi diikuti dengan pengambilan hematoma adalah sebesar 40%. Pada akhir laporan ini,
DC disebut sebagai modalitas pembedahan pilihan terbaik untuk ASDH, dan melakukan DC untuk
ASDH tampak menarik
Girotto et al. menyatakan bahwa teknik DC dengan ukuran adekuat, pembedahan secepatnya, dan
GCS 6 hingga 8 akan berkontribusi terhadap hasil akhir yang lebih baik secara signifikan dengan
mengurangi morbiditas dan mortalitas.
Meier dan Grwe menyatakan bahwa DC menguntungkan bagi hasil akhir keseluruhan pada pasien
dengan cedera otak traumatik. Alasan di balik pelaksanaan DC ini adalah mudahnya kontrol terhadap
pembengkakan otak dan hipertensi intrakranial hebat pasca operatif, tetapi masih sedikit yang


Analisis terhadap pembengkakan otak pasca operatif sangat sulit karena temuan CT atau pengukuran
tekanan intrakranial pasca operatif akan bervariasi tergantung pada penutupan atau pembukaan flap tulang.
Keadaan trauma yang berbeda antar pasien membuat uji acak mengenai CO dan DC tidak mungkin dan
tidak etis. Namun, ada beberapa penelitian retrospektif yang membandingkan hasil akhir CO dan DC.
Woertgen et al. membandingkan hasil akhir pembedahan dalam ASDH yang tidak berbeda secara
signifikan antara CO dan DC. Mereka menyimpulkan bahwa tanda herniasi saat pasien datang, dan
peningkatan usia memiliki pengaruh paling besar terhadap hasil akhir pasien. Maka, keadaan klinis pra
operatif mempengaruhi hasil akhir paling kuat dan DC tampaknya tidak memiliki keuntungan terapeutik
yang lebih besar dibanding dengan CO pada ASDH.
Penelitian terbaru oleh Chen et al. juga memiliki hasil serupa pada 102 pasien di mana kelompok DC
memiliki angka mortalitas lebih tinggi yang mungkin disebabkan karena keadaan klinis pra operatif yang
lebih buruk.
Penelitian oleh Li et al. menarik karena mereka mencoba mengurangi efek keadaan klinis pra operatif
menggunakan model prognostik CRASH-CT. Hasil akhir yang diprediksi dihitung pada 85 pasien secara
retrospektif. Hasil akhir yang baik diamati pada 45% pasien CO dan 42% pasien DC (p = 0.83), tetapi rasio
morbiditas terstandardisasi (hasil akhir buruk yang diamati/yang diharapkan) adalah 0.90 pada kelompok
CO dan 0.75 pada DC. .


Penelitian kami menunjukkan adanya hasil akhir yang lebih buruk pada kelompok DC dibanding
dengan kelompok CO (mRS buruk 77%, 20 dari 26 pasien pada kelompok DC vs 40%, 8 dari 20 pasien
pada kelompok CO; p = 0.004). Hasil ini mungkin muncul karena lebih banyaknya pasien dengan skor
GCS rendah (GCS <8), pupil tidak responsif, dan adanya lesi CT komorbid pada kelompok DC.
Hasil kami memiliki bias seleksi yang serupa dengan spesialis bedah saraf yang cenderung melakukan
DC saat keadaan klinis pasien pra operatif buruk. Untuk mengklarifikasi poin ini, kami menghitung
jumlah keadaan yang buruk pada tiap pasien yang dapat mempengaruhi munculnya hasil akhir yang
buruk. Secara rata-rata, kelompok DC memiliki keadaan buruk yang lebih banyak dibanding CO,
sehingga hasil akhir yang buruk pada kelompok DC dapat dijelaskan dengan baik


Satu temuan yang penting adalah bahwa pada pasien dengan beberapa keadaan buruk (<6), hasil
akhir yang baik (mRS kurang dari 3) dapat dicapai pada mayoritas pasien kelompok CO. Namun,
hasil serupa tidak tampak pada kelompok DC dengan beberapa keadaan buruk. Hal ini menyiratkan
bahwa perlu dilakukan stratifikasi lebih lanjut terhadap keadaan klinis yang buruk yang memiliki
dampak lebih besar terhadap hasil akhir. Meski demikian, tampaknya beberapa pasien dengan
beberapa keadaan buruk pra operatif mendapat keuntungan dari dilakukannya CO tanpa
membutuhkan pengambilan tulang.



Kemudian, berbagai komplikasi yang dapat terjadi pada DC membutuhkan kewaspadaan khusus dari
spesialis bedah saraf. Perdarahan subgaleal, herniasi melalui defek kranial, efusi subdural, sindroma trepanasi
(sinking skin flap syndrome), dan hidrosefalus merupakan komplikasi yang dilaporkan ada pada DC. Pada
penelitian kamu, 1 pasien menjalani reoperasi karena hematoma subgaleal dan 2 pasien mengalami sinking
skin flap syndrome berat di mana ada kesulitan dalam kranioplasti yang menyebabkan komplikasi ini. DC juga
memiliki kerugian berupa kebutuhan akan kranioplasti lanjutan, yang menambah resiko terjadinya
komplikasi. Gooch et al. melaporkan bahwa angka komplikasi segera pasca operasi dari kranioplasti setelah
DC adalah sebesar 34% yang meliputi infeksi, perburukan luka, perdarahan intrakranial, dan resorpsi tulang.
Kami juga mengamati adanya komplikasi kranioplasti pada pasien kami (4 dari 12; 2 hematoma epidural, 1
infeksi, 1 kebocoran cairan serebrospinalis) yang menghambat pemulihan pasien. Dalam konteks ini, mungkin
ada beberapa keuntungan yang dimiliki CO dalam mengevakuasi ASDH.
Namun, penelitian ini merupakan penelitian single center retrospektif dengan populasi pasien sedikit.
Keterbatasan akibat bias seleksi menghambat dibuatnya kesimpulan pasti mengenai peran CO atau DC pada
ASDH. Kami merasa penelitian lebih lanjut dengan populasi pasien lebih besar dan kriteria yang dipilih
dengan lebih cermat akan dibutuhkan untuk mengklarifikasi modalitas pembedahan optimal untuk pasien
dengan ASDH.
Kesimpulan


Pada kasus tertentu dengan beberapa keadaan klinis yang buruk, CO juga efektif sebagai modalitas
pembedahan pilihan untuk ASDH. Meskipun DC tetap menjadi standar modalitas pembedahan untuk
pasien dengan status klinis yang buruk, CO dapat menjadi pertimbangan alternatif mengingat adanya
kemungkinan komplikasi dengan dilakukannya DC. Penelitian prospektif terkontrol dengan populasi
pasien lebih besar diperlukan untuk mengklarifikasi poin ini.

You might also like