You are on page 1of 20

KESADARAAN DAN FUNGSI KOORDINASI

SKILL’S LAB FK-UISU


KESADARAN (KUANTITATIF)
1. Compos mentis (kesadaran normal).
• Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
• Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien, keberadaan
pasien saat ini dan mengapa dia ada disitu serta menanyakan
tahun, bulan dan hari penanggalan.
• Interpretasi : dikatakan compos mentis jika pasien menyadari
seluruh asupan dari panca indera (aware atau awas) dan
bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik
dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau
dalam keadaan awas dan waspada dimana pasien dapat
menerangkan identitas dirinya, keberadaan saat pemeriksaan
dilakukan, dan waktu saat dilkukan pemeriksaan dengan baik
dan benar.
2. Obtundasi
(kesadaran yang tumpul).
• Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau
berbaring, pemeriksa berada di sisi kanan
pasien.
• Pemeriksa menanyakan identitas pribadi
pasien, keberadaan pasien saat ini dan
mengapa dia ada disitu serta menanyakan
tahun, bulan dan hari penanggalan.
• Interpretasi : dikatakan obtundasi jika pasien
tidak begitu waspada, perhatian untuk
sekeliling berkurang dan cenderung
mengantuk tanpa memikirkan apa-apa.
3. Binggung atau Confused.
• Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
• Pemeriksa memperkenalkan diri lalu menanyakan identitas
pribadi pasien, keberadaan pasien saat ini dan mengapa dia
ada disitu, menanyakan kembali siapakah pemeriksa serta
menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan.
• Interpretasi : dikatakan binggung atau confused jika pasien
menunjukkan kebinggungan dalam waktu dan pengenalan
tempat/orang (disorientasi waktu, ruang dan orang).
4. Delirium.
• Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
• Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien,
keberadaan pasien saat ini dan mengapa dia ada disitu
serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan.
• Interpretasi : dikatakan delirium jika pasien menunjukkan
kekacauan secara mental karena mengalami ilusi dan
halusinasi, bereaksi sesuai dengan kekacauan pikirannya.
5. Apatia.
• Posisikan pasien dalam keadaan duduk atau berbaring,
pemeriksa berada di sisi kanan pasien.
• Pemeriksa menanyakan identitas pribadi pasien,
keberadaan pasien saat ini dan mengapa dia ada disitu
serta menanyakan tahun, bulan dan hari penanggalan.
• Interpretasi : dikatakan apatia jika pasien kurang waspada,
tidak tidur atau mengantuk namun tidak mau
memperhatikan, menghiraukan dirinya dan sekelilingnya.
Pasien tidak bicara dan pandangannya hampa
kualitatif
1. Somnole, drowsiness, clouding of
consciousness, letargia atau mengantuk
(derajat 1).
• Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa
berada di sisi kanan pasien.
• Pemeriksa memberikan stimuli baik motorik maupun verbal
kepada pasien.
• Interpretasi : dikatakan somnolen jika pasien memberikan
respon terhadap stimuli yang dilakukan oleh pemeriksa
namun tampak cenderung menutup mata (terlena lagi),
sedikit binggung, pasien dapat bergerak (seperti gelisah
motor) tetapi juga bisa tidur tenang tanpa banyak bergerak
dan tidak mendengkur atau mengeram serta orientasi
terhadap sekitarnya menurun.
2. Stupor atau sopor (derajat 2).
• Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa
berada di sisi kanan pasien.
• Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ),
dengan rangsangan nyeri, taktil dan visual kuat kepada
pasien.
• Interpretasi : dikatakan stupor atau sopor jika pasien
memberikan respon terhadap stimuli yang dilakukan
oleh pemeriksa namun jawaban verbal yang diberikan
terbatas pada satu atau dua kata ataupun terbatas
pada bahasa isyarat mengelengkan kepala menyatakan
’tidak’ dan anggukan kepala menyatakan ’iya’ dan mata
pasien tertutup.
3. Semikoma atau soporokoma (derajat 3).
• Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa
berada di sisi kanan pasien.
• Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ),
dengan rangsangan nyeri (menusuk anggota gerak
pasien), taktil dan visual kuat kepada pasien.
• Interpretasi : dikatakan semikoma atau soporokoma jika
pasien tidak memberikan respon verbal terhadap
stimuli yang dilakukan oleh pemeriksa tetapi reaksi
terhadap perangsangan kasar (jawaban motorik: hanya
berupa gerakan primitif) masih ada walaupun hanya
bersifat adaptif atau menghindari rangsangan nyari.
4. Koma (derajat 4).
• Posisikan pasien dalam keadaan berbaring, pemeriksa
berada di sisi kanan pasien.
• Pemeriksa memberikan stimuli verbal (auditorik keras ),
dengan rangsangan nyeri (menusuk anggota gerak
pasien), taktil dan visual kuat kepada pasien.
• Interpretasi : dikatakan koma jika pasien tidak
memberikan respon terhadap stimuli apa pun, baik
dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi
motorik (merupakan penurunan kesadaran yang paling
rendah).
Kuantitatif (skala koma Glasgow)
Reaksi Membuka Mata (tanggapan psiko-
motorik).
• Pemeriksa memperhatikan gerakan membuka mata
spontan pasien, membuka mata saat diberikan stimuli
verbal (perintah membuka mata karena dipanggil), dan
membuka mata saat diberi rangsangan nyeri (menusuk
anggota gerak pasien).
• Interpretasi :
Membuka mata secara spontan = 4
Membuka mata mengikuti perintah pangilan = 3
Membuka mata terhadap rangsang nyeri = 2
Tidak ada reaksi terhadap rangsangan nyeri = 1
2. Reaksi Verbal/Bicara.
• Pemeriksa melakukan komunikasi dengan pasien (mengajak pasien
berbicara) kemudian pemeriksa memperhatikan tanggapan verbal
pasien apakah ucapan pasien berorientasi (pasien sadar akan diri
dan sekelilingnya, mengapa ia berada di tempat itu, tahu tahun,
bulan dan hari penanggalan), kacau (disorientasi), ucapan tidak
senonoh (misal : mengeluarkan kata-kata kutukan, berteriak dan
tidak menghiraukan jalan percakapan), dan ucapan yang tidak
dapat dimengerti (hanya berupa suara mengeram dan merintih).
• Interpretasi :
Tanggapan verbal berorientasi baik = 5
Tanggapan verbal disorientasi/binggung = 4
Tanggapan verbal tidak sesuai/satu kata saja = 3
Tanggapan verbal tidak dimengerti/suara saja = 2
Tidak ada suara sama sekali = 1
3. Reaksi Motorik.
• Mintalah pasien untuk melakukan gerakan (atas
perintah) kemudian perhatikan dan nilai apakah pasien
dapat melakukan gerakan atas tersebut; pemeriksa
memberikan rangsangan pada tangan pasien kemudian
perhatikan dan nilai apakah tangan yang dirangsang
berfleksi pada sendi pergelangan tangan; berfleksi pada
sendi bahu, sendi siku, dan sendi pergelangan tangan
secara serempak (tanggapan motorik fleksor);
pemeriksa mengaduksikan lengan pasien sambil
berotasi ke dalam pada sendi bahu yang sedang dalam
keadaan lurus dan lengan bawah berpronasi secara
berlebihan (tanggapan motorik ekstensor) .
• Interpretasi :
Gerakan mengikuti perintah/bertujuan = 6
Gerakan menepis rangsang nyeri = 5
Gerakan menghindari nyeri = 4
Gerakan fleksi dekortikasi = 3
Gerakan ekstensi deserebrasi = 2
Tidak ada gerakan sama sekali = 1
FUNGSI KOORDINASI
Fungsi koordinasi bermanfaat
untuk menilai adanya gangguan pada
serebelum, sereberal, dan sistem
vestibulum sentral dan perifer. Gejala
yang muncul dapat berupa ataksi.
Prosedur Pemeriksaan Fungsi Koordinasi
1. Tes Romberg
– Mintalah pasien untuk berdiri tegak dengan kedua kakinya secara berdampingan, dan
sikap tangan berada di sisi samping tubuh, kepala dan badan tegak (biarkan pasien
berdiri seperti ini dengan mata terbuka dan tertutup masing-masing selama 10-30 detik)
– Beritahukan kepada pasien bahwa pemeriksa siap menangkapnya apabila pasien
terjatuh terjatuh (pastikan pemeriksa siap).
– Jika pasien jatuh duluan dengan mata terbuka, pemeriksa tidak dapat meneruskan tes.
– Namun jika tidak, mintalah pasien untuk menutup kedua matanya. üAmatilah pasien
saat berdiri dengan mata terbuka dan tertutup.
– Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka dan berdiri dengan mata tertutup, ini
berarti Tes Romberg Negatif – normal
– Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka, tetapi jatuh dengan mata tertutup, ini
berarti Tes Romberg positif – kelainan sensasi posisi sendi.
– Bila pasien tidak dapat berdiri dengan mata terbuka dan kedua kaki secara
berdampingan, ini berarti terjadi ketidakseimbangan yang berat – umumnya disebabkan
oleh: sindrom sereberal, sindrom vestibular sentral dan perifer.
– Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka tetapi sempoyongan ke belakang dan ke
depan dengan mata tertutup, ini berarti kemungkinan sindrom serebelum.
– Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat berdiri sendiri dan Tes
Romberg tidak dapat dikatakan memberikan nilai positif pada gangguan serebelum.
2. Tes Romberg Dipertajam
– Mintalah pasien untuk berdiri tegak dengan posisi tumit kaki kanan berada
dan menyentuh ujung ibu jari kaki kiri, dan sikap tangan berada di sisi
samping tubuh, kepala dan badan tegak (biarkan pasien berdiri seperti ini
dengan mata terbuka dan tertutup masing-masing selama 10-30 detik)
– Beritahukan kepada pasien bahwa pemeriksa siap menangkapnya apabila
pasien terjatuh terjatuh (pastikan pemeriksa siap).
– Jika pasien jatuh duluan dengan mata terbuka, pemeriksa tidak dapat
meneruskan tes.
– Namun jika tidak, mintalah pasien untuk menutup kedua matanya.
üAmatilah pasien saat berdiri dengan mata terbuka dan tertutup.
– Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka dan berdiri dengan mata
tertutup, ini berarti Tes Romberg Negatif – normal
– Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka, tetapi jatuh dengan mata
tertutup, ini berarti Tes Romberg positif – kelainan sensasi posisi sendi.
– Bila pasien tidak dapat berdiri dengan mata terbuka dan kedua kaki secara
berdampingan, ini berarti terjadi ketidakseimbangan yang berat – umumnya
disebabkan oleh: sindrom sereberal, sindrom vestibular sentral dan perifer.
– Bila pasien dapat berdiri dengan mata terbuka tetapi sempoyongan ke
belakang dan ke depan dengan mata tertutup, ini berarti kemungkinan
sindrom serebelum.
– Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang tidak dapat berdiri sendiri dan
Tes Romberg tidak dapat dikatakan memberikan nilai positif pada gangguan
serebelum.
– Lakukan kembali tes tersebut secara bergantian.
3. Tes Tumit Lutut
– Mintalah kepada pasien untuk berbaring telentang.
– Mintalah pasien untuk mengangkat salah satu tungkainya hingga meletakkan
tumitnya di atas lutut tungkai yang lain (sebaiknya pemeriksa harus
memperagakan terlebih dahulu kepada pasien).
– Mintalah agar pasien menggerakkan tumitnya ke bawah dari proksimal menuju
distal di sepanjang permukaan ventral tungkai bawah yang lancip (sebaiknya
pemeriksa harus memperagakan terlebih dahulu kepada pasien). Kesalahan
umum: membiarkan pasien menggeserkan telapak kakinya di sepanjang
tungkai bawah.
– Mintalah pasien untuk mengetukkan tumit salah satu kakinya ke lutut kaki yang
lain (seolah-olah sedang mendengarkan musik yang cepat).
– Mintalah pasien untuk duduk dari posisi berbaring tanpa menggunakan
tangannya dengan sikap tumit salah satu kaki berada di lutut kaki lainnya, serta
amati apakah pasien jatuh ke satu sisi.
– Jika pasien dapat melakukan semua gerakan tes tersebut dengan mata terbuka
maka instruksikan untuk melakukan gerakan tersebut dengan kedua mata
tertutup.
– Tes tumit lutut dikatakan positif – Normal apabila dapat melakukan semua
gerakan tes tersebut, dan sebaliknya dikatakan negatif apabila tidak dapat
melakukan semua gerakan tersebut.
– Lakukan kembali tes tersebut secara bergantian.
4. Tes Telunjuk Hidung
– Mintalah pasien untuk duduk atau berbaring dan posisi
tangan berada di sisi samping tubuh.
– Mintalah kepada pasien untuk membuka kedua matanya
kemudian menyentuh hidungnya dengan jari telunjuk kanan
dan kiri secara bergantian, cepat, dan akurat.
– Jika pasien dapat melakukannya dengan mata terbuka maka
instruksikan untuk melakukan gerakan tersebut dengan kedua
mata tertutup.
– Amati pasien selama melakukan tes tersebut. Bila pasien
dapat melakukannya dikatakan positif – Normal. Akan tetapi
bila pasien tidak dapat menyentuh hidung dengan jari
telunjuknya secara akurat ataupun dengan gerakan sangat
lambat maka dikatakan negatif.

You might also like