You are on page 1of 57

PERJANJIAN

INTERNASIONAL DAN
PERSOALAN AKTUAL
Perkembangan-Perkembangan dan Isu-Isu Baru HHI
(Perjanjian Internasional dan Persoalan Aktual)

Perkembangan dalam Protokol Tambahan 1977

Protokol Tambahan III/ 2003 : Lambang Ketiga

Conventional Weapon

Senjata Pemusnah Massal

Kodifikasi Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan

Internasionalisasi Konflik Bersenjata Internal

Keterlibatan Perusahaan Militer & Keamanan Swasta

War on Terror dalam HHI


Protokol Tambahan atas KJ 1949 Tahun 1977
Pembedaan obyek sipil dan sasaran militer
Civil Defence (HANSIP)
Komisi Internasional Pencari Fakta
 Untuk mencari fakta-fakta yang menjamin pelaksanaan HHI apabila
terdapat suatu tindakan PELANGGARAN BERAT thd Konvensi dan
Protokol
Pasal 52 KJ I, Pasal 53 KJ II, Pasal 132 KJ III, Pasal 149 KJ IV
 INQUIRI
“Atas permintaan pihak yang bertikai, maka suatu penyelidikan harus dilakukan
dengan kesepakatan mengenai....”
“ Apabila tidak terdapat persetujuan mengenai prosedur penelidikan, maka pihak
harus menyetujui untuk memilih wasit...”
“Sekali pelanggaran telah dilakukan maka para pihak harus menyelesaikan...”

Adanya persetujuan dari pihak yang bertikai  IMPLEMENTASI SULIT


KOMPETENSI
 Pelanggaran berat / pelanggaran serius thd
Konvensi & Protokol
 Bertindak sbg badan penyelidik bukan badan
peradilan
 Memfasilitasi melalui jasa baik utk perbaikan
dan penghormatan HHI
 Memberikan rekomendasi tp tdk memutus
 Tdk berwenang mengumumkan mslh hukum
dan mengevaluasi laporan
 Hanya utk konflik internasional
PEMBEDAAN OBYEK SIPIL DAN
SASARAN MILITER
 Pasal 48 Protokol Tambahan I 
Pembedaan Obyek sipil dan militer
 Pasal 51
(1)  Pengertian Civilian Object
(2)  Pengertian military object
 Sifat (Nature)
 Lokasi (location)
 Tujuan (purpose)
 Keuntungan militer yg pasti
CIVIL DEFENCE
 Pasal 60 Protokol
 Org yg melak tugas2 kemanusiaan
yg ditujukan utk melindungi pend sipil
thd bencana alam dan akibat
pertempuran, berupaya utk
memulihkan segera ke keadaan
semula serta melakukan hal2 yg
dianggap perlu utk kelangsungan
hidup pend sipil
CIVIL DEFENCE
 TUGAS
 Melak peringatan
 Melakukan evakuasi
 Membangun tempat2 perlindungan
 Melakukan pertolongan
 Melakukan pelayanan kesehatan
 Pemadaman kebakaran
 Mendeteksi dan menandai tempat2
berbahaya
 Melak keg pelengkap lain tp tdk terbatas pd
perencanaan dan organisasi
CIVIL DEFENCE
 Bab IV protokol  Perlindungan
Khusus (special protection)
Perkembangan Hukum Perang Laut

Perkembangan Pengaturan:

Hasil dari konferensi perdamaian I


Konvensi ke III Den Haag 1899
(The First Hague Peace Conference)

Konferensi Perdamaian Aturan Hukum perang di laut


ke II Den Haag 1907 berkembang lebih lengkap

Convention For The Adaptation To


Maritime Warfare Of The Principles Of
The Genewa Convention Of 22 Agust 1864.

Konferensi Kelautan
(Naval Conference) di Declaration concerning the laws
London 1909 of naval war
Konferensi Kelautan
(Naval Conference) di
London 1909

Oxford Manual of Naval


Warfare 1913

Treaty for the limitation Terlampir:


and reduction of naval
armament
Proces-verbal relating to the rules of
submarine warfare set forth in part IV the
treaty of London of 22 April 1930

San Remo Manual on


Juni 1994
International Law
Applicable to Armed
Conflict at Sea Explanation
Tujuan dibentuk
San Remo Manual
Untuk membentuk suatu pernyataan kembali yang mutakhir
(contemporary restatement) mengenai hukum internasional yang
diterapkan pada sengketa bersenjata di laut.

Faktor dibentuknya
San Remo Manual

Perkembangan teknologi baru di bidang metode dan sarana berperang

Hukum yang diterapkan pada sengketa bersenjata di darat telah


diperbarui dengan protocol-protokol tambahan tahun 1977

Perkembangan penting yang terjadi sejak awal abad 19 di bidang hukum


internasional, yaitu terbentuknya Konvensi PBB yang baru tentang
Hukum Laut pada tahun 1982 ( UN Convention on the Law of the Sea)
Protokol Tambahan III/ 2005 :
Lambang Ketiga

 Bukan tentang penerimaan Lambang yang


telah digunakan oleh suatu negara tertentu.
 Tidak merubah aturan tentang terbatasnya
pihak-pihak yang boleh menggunakan
lambang palang merah atau bulan sabit
merah ataupun kristal merah.
 Tidak merubah prinsip kesatuan yang harus
dipatuhi oleh Perhimpunan Nasional Palang
Merah atau Bulan Sabit Merah di suatu
negara.
CONVENTIONAL WEAPONS :
SALW
Small Arms and Light Weapons (SALW)
• Small arms : secara umum dipahami sebagai senjata api
portable (dapat dibawa-bawa) dan amunisinya yang
didesain untuk penggunaan individual oleh militer.
Termasuk dalam hal ini adalah pistol; rifle dan carbine;
senjata serbu; dan senjata mesin ringan.

• Light weapons : dirancang untuk digunakan oleh sebuah


tim kecil atau crew infantry . Termasuk man-portable
firearms dan amunisinya; light artillery guns; roket;
guided missile yang digunakan terhadap tank, pesawat
atau fortification; heavy machine-guns), pelontar granat
(hand-held under-barrel and mounted grenade launcher),
MANPADS, portable anti-tank dan rocket launcher
systems, mortir di bawah kaliber 100 mm.
CONVENTIONAL WEAPONS:
SALW
SALW (Sambungan)
• “Programme of Action to Prevent, Combat, and Eradicate
the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons, in All
Its Aspects”
Disahkan pada UN Conference on the Illicit Traffic in
SALW in All Its Aspects, 2001

• Program Aksi meminta negara-negara anggota PBB untuk


membuat legislasi, aturan, regulasi, dan mekanisme yang
mengatur pencegahan, pemberantasan, dan
penghapusan perdagangan gelap SALW dalam semua
aspeknya.

• Isu mengemuka : keberatan negara-negara tertentu


terhadap pembatasan kepemilikan sipil dan pelarangan
transfer SALW kepada non-state actor
CONVENTIONAL WEAPONS (SALW)

Indonesia dan SALW

• Menyusun laporan tahunan mengenai ekspor dan impor di bawah


ketentuan UN Register on Conventional Arms (UNROCA)

• Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur kepemilikan,


perijinan, dan pelarangan kepemilikan senjata api (UU No. 8 tahun
1948; UU No. 12 tahun 1951; UU No. 20 tahun 1960; serta UU No. 2
tahun 2002)

• Masing-masing Angkatan Bersenjata (AL/AU/AD) dan Polri telah


memiliki standar baku dalam stockpile management. Namun belum
ada UU yang mengatur secara komprehensif mengenai aspek-aspek
registrasi, marking and tracing, transfer, maupun brokering dalam
pengadaannya.

• Diperlukan program aksi nasional dan perlunya suatu Undang-Undang


mengenai SALW yang komprehensif, yang mengatur semua aspek
terkait SALW seperti penyimpanan, registrasi, marking and tracing,
brokering, dan transfer.
CONVENTIONAL WEAPONS (APL)

APL (Anti Personnel-Landmines)

• Convention on the Prohibition of the Use,


Stockpiling, Production and Transfer of Anti-
Personnel Mines and Their Destruction (Ottawa
Convention) : 1 Maret 1999, Negara pihak : 156

• APL : ranjau yang diciptakan dan dirancang


sedemikian rupa sehingga dapat meledak
karena adanya kehadiran, kedekatan atau
sentuhan oleh seseorang, yang akan
melumpuhkan, melukai atau membunuh satu
orang atau lebih.
CONVENTIONAL WEAPONS : APL

Indonesia dan APL (Sambungan)

• Pemerintah RI meratifikasi Ottawa Convention melalui


UU No 20 tahun 2006

• Indonesia bukan mine-affected countries –


humanitarian background

• Komitmen terhadap tujuan pokok Konvensi :


mengakhiri penderitaan dan korban akibat penggunaan
Ranjau Darat Anti-Personil terutama rakyat sipiI yang
tidak berdosa.

• Mendukung pertimbangan bahwa penggunaan Ranjau


Darat Anti-Personil telah menghambat usaha-usaha
pembangunan ekonomi, rekonstruksi, dan menghalangi
kelancaran kembalinya para pengungsi pasca konflik.
CONVENTIONAL WEAPONS : CCM

Cluster Munitions

• Senjata dalam bentuk projektil/submunitions yang


dikumpulkan dalam sebuah bom dan dijatuhkan dari
pesawat yang biasanya digunakan untuk menghancurkan
landasan terbang, tank atau pasukan.

• Convention on Cluster Munitions (Mei 2008)


Penandatangan: 98 negara ; Ratifikasi : 14 negara
Melarang penggunaan, produksi, transfer dan
kepemilikkan CM. Juga mewajibkan pemberian bantuan
kepada para korban sipil akibat penggunaan CM.
Setiap negara diwajibkan untuk mengancurkan
stockpiles dalam jangka waktu 16 tahun

20
Cluster Munitions Convention (2008)
( Konvensi Tentang Bom Tandan )

• penggunaan cluster munitions


• Pemindahan cluster munitions
• Penghancuran persediaan
CONVENTIONAL WEAPONS : CCM

Indonesia dan Cluster Munition Convention :

• Telah menandatangani CCM Desember 2008

• Memandang penggunaan CM tidak sesuai dengan nilai-nlai


kemanusiaan dan menyebabkan penderitaan kepada rakyat
sipil

• Mendukung aspek humanitarian dan disarmament dari CCM,


namun juga memandang perlu adanya alternatif bagi
strategi pertahanan dan militer

• Masih dalam proses sosialisasi kepada seluruh instansi dan


masyarakat luas.
22
Conventional Weapons : CCCW

Convention on Certain Conventional Weapons

• The Convention on Prohibitions or Restrictions on the


Use of Certain Conventional Weapons Which May Be
Deemed to Be Excessively Injurious or to Have
Indiscriminate Effects (Convention on Certain
Conventional Weapons/CCW)
• Mengatur : non detectable fragments; landmines (but not
total prohibition); incendiary weapons; blinding laser
weapons; explosive remnants of war
• States parties: 109, Indonesia bukan negara pihak

23
Tantangan yang dihadapi Pengaturan
Conventional Weapons

1. Sulit menyepakati definisi senjata


konvensional
2. Terkait langsung dengan alat utama
sistem pertahanan
3. Terkait bisnis internasional
4. Biasanya dilakukan di “luar” kerangka
multilateral (less legitimate?)

24
Regime Internasional mengenai
Senjata Pemusnah Massal/WMD
• Senjata Nuklir
- Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT): 5 Maret
1970
- Comprehensive Nuclear Test-Ban-Treaty (CTBT):

• Senjata Biologi
Convention on the Prohibition of the
Development, Production and Stockpiling of
Bacteriological (Biological) and Toxin Weapons
and on their Destruction (BTWC): 26 Maret 1975

• Senjata Kimia
Convention on the Prohibition of the
Development, Production, Stockpiling and Use of
Chemical Weapons and on their Destruction
(CWC): 29 April 1997
NON-PROLIFERATION TREATY/NPT

• An internationally-negotiated and -agreed treaty


to limit the spread of nuclear weapons

• Entry into force 1970; 188 negara pihak; 4 non-


pihak (India, Israel, Pakistan, and North Korea)

• Tiga pilar: nuclear disarmament, non-proliferation,


the inalienable right to peaceful uses of nuclear
energy (pengawasan dilakukan oleh IAEA)
INDONESIA DAN NPT
• Indonesia meratifikasi NPT lewat UU No 8 tahun
1978

• Indonesia is the Koordinator “NAM Working Group on


Disarmament”

• Indonesia menjadi Chairman Sidang Prepcom NPT


tahun 2004 menjelang Review Conference tahun
2005

• Indonesia mematuhi seluruh ketentuan NPT

• Pending matter : Ratifikasi Comprehensive Nuclear


Test Ban Treaty/CTBT

30
INDONESIA DAN NPT (Sambungan)

• UU No 8/1978 mengenai ratifikasi NPT


• UU No 10/1997 tentang Ketenaganukliran
• Keppres No 49/1986 mengenai ratifikasi
Convention on Physical Protection of Nuclear
Material
• Keppres No 81/1993 mengenai ratifikasi
Convention on Early notification of a Nuclear
Accident
• Keppres No 82/1993 mengenai ratifikasi
Convention on Assistance in the Case of a
Nuclear Accident or Radiological Emergency
• Keppres No 106/2001 mengenai ratifikasi
Convention on Nuclear Safety
CHEMICAL WEAPONS CONVENTION

• Melarang produksi, penimbunan dan penggunaan


senjata kimia.
• Entry into force pada tanggal 29 April 1997
• Administrasi dilakukan oleh Organization for the
Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) yang
merupakan organisasi independen dan tidak
berada di bawah naungan PBB.
• 2 negara telah menandatangani tapi belum
ratifikasi (Myanmar dan Israel); 5 negara belum
menandatangani (Angola, Korea Utara, Mesir,
Somalia dan Syria).

32
INDONESIA DAN CHEMICAL WEAPONS
CONVENTION

• UU No 6 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi


Senjata Kimia

• UU No 9 tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan


Kimia dan Larangan Penggunaan Bahan Kimia
sebagai Senjata Kimia

• Indonesia menekankan pentingnya


keseimbangan 3 pillar : destruction of chemical
weapons; verifiable non-proliferation dan
international cooperation and assistance.
BIOLOGICAL WEAPONS CONVENTION

• The Convention on the Prohibition of the


Development, Production and Stockpiling of
Bacteriological (Biological) and Toxin Weapons and
on their Destruction mulai berlaku (entry into
force) pada tanggal 26 Maret 1975.

• Negara non-pihak : 13 negara belum ratifikasi;19


negara yang belum menandatangani

• Belum dilengkapi dengan sistem verifikasi bagi


pengawasan kepatuhan Negara-Negara Pihak
terhadap ketentuan-ketentuan yang terkandung
didalamnya.
INDONESIA DAN BIOLOGICAL WEAPONS
CONVENTION

• Keppres No 58 tahun 1991 – ratifikasi Konvensi


Senjata Biologi

• Indonesia Menekankan pentingnya semua negara


pihak segera menyelesaikan mekanisme
verifikasi

• Indonesia mendukung upaya penguatan BWC,


baik dengan membuat deklarasi CBM,
berpartisipasi aktif di program intersessional
(pertemuan negara pihak dan pertemuan ahli),
kerjasama internasional dan universalisasi BWC.
35
TANTANGAN REJIM SENJATA PEMUSNAH
MASSAL

• Universalisasi

• Diskriminatif dalam kasus-kasus tertentu (NPT,


CWC)

• Belum semua memiliki mekanisme Verifikasi


(BWC)

• Hanya mengatur negara (states) dan tidak


mencakup aktor non-negara (non-state actors),
khususnya teroris.

• Kredibilitas (Kasus Korea Utara, Iran,


meningkatnya kembali rivalitas US-Russia, dll)
Kodifikasi Hukum Humaniter
Internasional Kebiasaan

161 aturan yang dikenal :


• 13 hanya diberlakukan pada konflik
bersenjata internasional (KBI)
• 2 hanya diberlakukan pada konflik
bersenjata non internasional
• 3 mempunyai perbedaan formulasi
pada KBI & KBNI
• 146 aturan diberlakukan pada
applicable in dua situasi KBI & KBNI
• 8 aturan yang prakteknya tidak
menentukan.

Bukan pengganti Konvensi / Protokol & tidak ada overlap.


Internasionalisasi Konflik
Bersenjata Internal

Tidak selalu menjadikan Konflik Bersenjata Internal


atau SBNI (Sengketa Bersenjata Non Internasional)
berubah menjadi dikategorikan sebagai SBI ( Senketa
Bersenjata Internasional).

Membedakan SBI dengan SBNI tetap relevan untuk


menentukan rejim HHI yang berlaku, terutama untuk
menentukan ada atau tidaknya status tawanan perang.
"Internasionalisasi" Konflik Bersenjata Internal, I

Negara A Internal Pemberontak

l
Dukung

rna
I nte

Konflik internal yang diintervensi


Negara B
oleh angkata bersenjata asing,
sedikitnya oleh 1 negara
"Internasionalised" konflik bersenjata internal, II

Negara A Internal Pemberontak

In

Dukung
te
rn
as
io
na
l

Negara C
"Internasionalisasi" Konflik Bersenjata Internal, III

Negara A Internal Pemberontak

r nal
In
te nte
I
Dukung

Dukung
rn
as
al io
e rn na
In t l

Negara B Internasional Negara C


Kebiasan Hukum
Internasional

Kebiasan Hukum
Konflik Internasional
Bersenja
ta
xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Gangguan
Keamanan
Internal (analogi)
Keterlibatan Perusahaan Militer
& Keamanan Swasta

 perusahaan atau korporasi yang menyediakan


jasa dan keahlian yang berhubungan dengan
bidang militer atau bidang sejenisnya.[1]
• Dikenal juga sebagai korporasi militer swasta,
firma militer swasta, penyedia jasa militer, dan
secara luas sebagai industri militer swasta.
• Jasa-jasa yang ditawarkan perusahaan militer
swasta antara lain adalah jasa logistik,
pelatihan militer, pertahanan, serta jasa
keamanan.
Keterlibatan Perusahaan Militer
& Keamanan Swasta

• Anggota PMKS atau Private Military & Security


Company (PMSC) yang menyertai atau membantu
pasukan militer/perang tidak harus menjalankan tugas
seperti kombatan.
• Anggota PMSC yang menjadi Tenaga Kontraktor suatu
Angkatan Perang tidak sama statusnya dengan Tentara
Bayaran.
• Anggota PMSC yang menyertai pasukan tanpa menjadi
kombatan bukanlah obyek militer walaupun berisiko
terkena serangan.
• Guideline baru bagi Negara untuk
mengimplementasikan HHI : Montreux Document.
Perbedaan
Orang yang Menyertai Tentara Bayaran
Angkatan Perang

-Pekerjaan yang ditugaskan -Melaksanakan tugas


tidak harus tugas bertempur bertempur seperti tentara
- Memperoleh otorisasi dari - Tidak diberi otorisasi
Angkatan Perang dengan kartu melainkan hanya dijanjikan
identitas. pembayaran.
- Bisa WN atau bukan WN dari -Bukan WN&bukan
Negara Pengontrak. penduduk Negara yang
- Berhak atas status Tawanan berkonflik
Perang & bukan kriminal - Tidak berhak atas status
selama tidak menyalahi tugas tawanan perang & adalah
dan tidak melanggar hukum. kriminal.
Montreux Document on pertinent
international legal obligations and good
practices for States related to operations of
PMSCs during armed conflict
Memuat kewajiban internasional dan praktek-praktek yang baik
berkenaan PMSCs bagi :
• Negara Pengontrak ( Contracting States),
• Negara Tempat Beroperasi ( Territorial States),
• Negara Tempat Pendaftaran / Manajemen Utama (Home States),
• Negara lain,
• PMSCs dan anggotanya, &
• Para Atasan anggota PMSCs, yaitu :
- pejabat pemerintah, baik komandan militer atau atasan sipil,
atau
- direktur atau manajer PMSCs.
Montreux Document on Private Military
Security Companies

– Diadopsi oleh 17 Negara


sebagai suatu dokumen yang
tidak mengikat.
– Mengumpulkan prinsip2 HHI
yang relevan dengan PMSC
– Menegaskan bahwa
penggunaan PMSC tidak
dapat melepaskan Negara
dari kewajiban HHI.
– Tidak melegitimasi ataupun
mendeligitimasi PMSC.
Beberapa aturan HHI yang ditegaskan kembali
dalam Montreux Document

Negara tidak boleh membiarkan PMSC untuk melaksanakan


kegiatan yang menurut HHI harus ditugaskan kepada otoritas atau
badan negara, seperti a.l tugas pengurusan kamp tawanan perang
maupun tempat internir.

Negara harus melakukan tindakan legislasi atau lainnya untuk


mencegah, menyelidiki dan menghukum perbuatan bertentangan
dengan hukum yang dilakukan oleh PMSC dan anggotanya.

Status PMSC ditentukan oleh sifat dan fungsinya.

Tanggung jawab atasan tidak semata ditentukan oleh Kontrak.


Aturan Internasional berkenaan PMSCs

Negara perlu memperhatikan kewajibannya yang berasal


dari cabang hukum internasional lainnya, termasuk aturan
PBB, dan hukum internasional berkenaan dengan
perdagangan dan pengadaan barang pemerintah.

Negara sebaiknya juga mengimplementasikan aturan-aturan


internasional yang telah mereka sepakati, termasuk aturan
tentang anti korupsi, anti kejahatan terorganisir dan
konvensi-konvesi tentang senjata api.
Praktek- Praktek Yang Baik Berkenaan Dengan PMSCs

Negara perlu menentukan bentuk-bentuk kegiatan yang boleh


dilaksanakan/ditawarkan oleh PMSCs dengan mempertimbangkan
apakah hal tersebut dapat menyebabkan anggota PMSC terlibat
dalam direct participation in hostilities (partispasi langsung dalam
pertempuran).

Kriteria yang digunakan untuk menilai kelayakan PMSCs termasuk


reputasi dan kemampuannya berkenaan dengan :
-Aturan tentang penggunaan kekuatan dan senjata,
-HHI dan HAM,
- masalah agama, gender, budaya dan menghormati penduduk lokal,
- penanganan pengaduan,
- tindakan melawan penyuapan, korupsi dan kejahatan lainnya.
Akan selalu ada dan terjadi

Perubahan paradigma perang


Diakomodir oleh Konvensi Jenewa
Ex: Perang saudara, CAR 1949 dan Protokol Tambahan 1977
conflict

Apakah termasuk kategori perang atau


Adanya paradigma baru
konflik bersenjata..?
Munculnya war on terror,
Apakah teroris tmsk kelompok
yang dideklarasikan pertama
bersenjata?
oleh AS

Belum
jelas
Paradigma konflik sebelumnya Paradigma konflik yang baru

Peristiwa dan tempat Adanya perluasan dimensi ruang


 mereka bertemu dimedan  wilayahnya tidak dapat ditentukan
pertempuran secara langsung dengan pasti dalam operasi
perangnya
Waktu Perubahan dalam unsur waktu
 adanya permulaan dan pengakhiran  terjadi bersamaan dalam waktu
dalam pertempuran yang cepat, mundur dari
pertempuran
Pelaku jelas Perubahan identitas belligerent
 tentara, penduduk sipil  pengaburan apakah termasuk
kategori kombatan atau penduduk
sipil
Penyerengan jelas Perluasan target
angkatan bersenjata melawan  mencampurkan target sipil dan
angkatan bersenjata militer
Apakah war on terror termasuk dalam konflik bersenjata menurut hokum
humaniter Internasional?
Terorisme menjadi isu internasional setelah Presiden Amerika Serikat
secara resmi mendeklarasikan perang terhadap terorisme (war on terror)
sebagai tindak lanjut tertabraknya menara kembar World Trade Center di
New York.

Definisi Terorisme

Secara umum
Terorisme mengacu pada pembunuhan dengan sengaja dan gegabah pada
penduduk sipil atau melakukan pengrusakan dalam skala luas terhadap
property tertentu, dengan maksud untuk menyebarkan ketakutan ke seluruh
penduduk dan menyampaikan pesan politik kepada pihak ketiga, biasanya
pemerintah
Kategori konflik dalam HHI
Konflik bersenjata internasional

Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977


Pasal 2 keempat konvensi Between state

War on terror…????

Konflik bersenjata non


internasional
Pasal 3 ke-4 Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977

Pasal 1.1 Protokol Tambahan II tahun 1977 tersebut mensyaratkan adanya


kontrol dari negara peserta
Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa dalam penerapannya tidak mensyaratkan
dibawah pengawasan/wilayah negara. Namun demikian, hukum humaniter tidak
dapat diterapkan untuk setiap peristiwa yang tidak memuat kriteria:

Identifikasi dari para pihak (ratione personae)

Identifikasi atas wilayah (ratione loci)

Hubungan antara peristiwa dengan konflik (ratione materiae)

Pemulaan dan pengakhiran konflik bersenjata (ratione temporis)

Pasal 3 ke-4 Konvensi Jenewa 1949 dan


War on Terror..???
Protokol Tambahan II tahun 1977

You might also like